Dalil-Dalil Bid’ah Hasanah
Al-Muhaddits al-‘Allamah as-Sayyid ‘Abdullah ibn ash-Shiddiq al-Ghumari al-Hasani dalam kitab Itqan ash-Shun’ah Fi Tahqiq Ma’na al-Bid’ah, menuliskan bahwa di antara dalil-dalil yang menunjukkan adanya bid’ah hasanah adalah sebagai berikut (Lihat Itqan ash-Shun’ah, h. 17-28):
1. Firman Allah dalam QS. al-Hadid: 27:
Al-Muhaddits al-‘Allamah as-Sayyid ‘Abdullah ibn ash-Shiddiq al-Ghumari al-Hasani dalam kitab Itqan ash-Shun’ah Fi Tahqiq Ma’na al-Bid’ah, menuliskan bahwa di antara dalil-dalil yang menunjukkan adanya bid’ah hasanah adalah sebagai berikut (Lihat Itqan ash-Shun’ah, h. 17-28):
1. Firman Allah dalam QS. al-Hadid: 27:
وَجَعَلْنَا فِي قُلُوبِ الَّذِينَ
اتَّبَعُوهُ رَأْفَةً وَرَحْمَةً وَرَهْبَانِيَّةً ابْتَدَعُوهَا مَا كَتَبْنَاهَا
عَلَيْهِمْ إِلَّا ابْتِغَاءَ رِضْوَانِ اللَّهِ (الحديد: 27(
“Dan Kami (Allah) jadikan dalam hati orang-orang yang mengikutinya (Nabi ‘Isa) rasa santun dan kasih sayang, dan mereka mengada-adakan rahbaniyyah, padahal Kami tidak mewajibkannya kepada mereka, tetapi (mereka sendirilah yang mengada-adakannya) untuk mencari keridhaan Allah” (Q.S. al-Hadid: 27)
Ayat ini adalah dalil tentang adanya bid’ah hasanah. Dalam ayat ini Allah memuji ummat Nabi Isa terdahulu, mereka adalah orang-orang muslim dan orang-orang mukmin berkeyakinan akan kerasulan Nabi Isa dan bahwa berkeyakinan bahwa hanya Allah yang berhak disembah.
Allah memuji mereka karena
mereka kaum yang santun dan penuh kasih sayang, juga karena mereka merintis
rahbaniyyah. Praktek Rahbaniyyah adalah perbuatan menjauhi syahwat duniawi,
hingga mereka meninggalkan nikah, karena ingin berkonsentrasi dalam beribadah
kepada Allah.
Dalam ayat di atas Allah
mengatakan “Ma Katabnaha ‘Alaihim”,
artinya:
“Kami (Allah) tidak
mewajibkan Rahbaniyyah tersebut atas mereka, melainkan mereka sendiri yang
membuat dan merintis Rahbaniyyah itu untuk tujuan mendekatkan diri kepada
Allah”.
Dalam ayat ini Allah memuji
mereka, karena mereka merintis perkara baru yang tidak ada nash-nya dalam
Injil, juga tidak diwajibkan bahkan tidak sama sekali tidak pernah dinyatakan
oleh Nabi ‘Isa al-Masih kepada mereka.
Melainkan mereka yang ingin
berupaya semaksimal mungkin untuk taat kepada Allah, dan berkonsentrasi penuh
untuk beribadah kepada-Nya dengan tidak menyibukkan diri dengan menikah,
menafkahi isteri dan keluarga. Mereka membangun rumah-rumah kecil dan sederhana
dari tanah atau semacamnya di tempat-tempat sepi dan jauh dari orang untuk
beribadah sepenuhnya kepada Allah.
2. Hadits sahabat Jarir ibn Abdillah al-Bajali, bahwa ia berkata: Rasulullah bersabda:
2. Hadits sahabat Jarir ibn Abdillah al-Bajali, bahwa ia berkata: Rasulullah bersabda:
مَنْ سَنَّ فِيْ الإِسْلاَمِ سُنَّةً
حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ
يَنْقُصَ مِنْ أُجُوْرِهِمْ شَىْءٌ، وَمَنْ سَنَّ فِيْ الإِسْلاَمِ سُنَّةً
سَيِّئَةً كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ
مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَىْءٌ (رواه مسلم(
“Barang siapa merintis
(memulai) dalam agama Islam sunnah (perbuatan) yang baik maka baginya pahala
dari perbuatannya tersebut, dan pahala dari orang yang melakukannya
(mengikutinya) setelahnya, tanpa berkurang sedikitpun dari pahala mereka. Dan
barang siapa merintis dalam Islam sunnah yang buruk maka baginya dosa dari
perbuatannya tersebut, dan dosa dari orang yang melakukannya (mengikutinya)
setelahnya tanpa berkurang dari dosa-dosa mereka sedikitpun”. (HR. Muslim)
Dalam hadits ini dengan sangat jelas Rasulullah mengatakan: “Barangsiapa merintis sunnah hasanah…”.
Dalam hadits ini dengan sangat jelas Rasulullah mengatakan: “Barangsiapa merintis sunnah hasanah…”.
Pernyataan Rasulullah ini
harus dibedakan dengan pengertian anjuran beliau untuk berpegangteguh dengan
sunnah (at-Tamassuk Bis-Sunnah) atau pengertian menghidupkan sunnah yang
ditinggalkan orang (Ihya’ as-Sunnah).
Karena tentang perintah
untuk berpegangteguh dengan sunnah atau menghidupkan sunnah ada hadits-hadits
tersendiri yang menjelaskan tentang itu. Sedangkan hadits riwayat Imam Muslim
ini berbicara tentang merintis sesuatu yang baru yang baik yang belum pernah
dilakukan sebelumnya. Karena secara bahasa makna “sanna” tidak lain adalah
merintis perkara baru, bukan menghidupkan perkara yang sudah ada atau berpegang
teguh dengannya.
3. Hadits ‘Aisyah, bahwa ia berkata: Rasulullah bersabda:
3. Hadits ‘Aisyah, bahwa ia berkata: Rasulullah bersabda:
مَنْ أَحْدَثَ فِيْ أَمْرِنَا هذَا
مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ (رواه البخاريّ ومسلم(
“Barang siapa yang
berbuat sesuatu yang baharu dalam syari'at ini yang tidak sesuai dengannya,
maka ia tertolak”. (HR. al-Bukhari dan
Muslim)
Hadits ini dengan sangat jelas menunjukkan tentang adanya bid’ah hasanah. Karena seandainya semua bid’ah pasti sesat tanpa terkecuali, niscaya Rasulullah akan mengatakan “Barangsiapa merintis hal baru dalam agama kita ini apapun itu, maka pasti tertolak”.
Hadits ini dengan sangat jelas menunjukkan tentang adanya bid’ah hasanah. Karena seandainya semua bid’ah pasti sesat tanpa terkecuali, niscaya Rasulullah akan mengatakan “Barangsiapa merintis hal baru dalam agama kita ini apapun itu, maka pasti tertolak”.
Namun Rasulullah mengatakan,
sebagaimana hadits di atas: “Barangsiapa merintis hal baru dalam agama kita ini
yang tidak sesuai dengannya, artinya yang bertentangan dengannya, maka perkara
tersebut pasti tertolak”.
Dengan demikian dapat
dipahami bahwa perkara yang baru itu ada dua bagian: Pertama, yang tidak
termasuk dalam ajaran agama, karena menyalahi kaedah-kaedah dan dalil-dalil
syara’, perkara baru semacam ini digolongkan sebagai bid’ah yang sesat. Kedua,
perkara baru yang sesuai dengan kaedah dan dalil-dalil syara’, perkara baru
semacam ini digolongkan sebagai perkara baru yang dibenarkan dan diterima,
ialah yang disebut dengan bid’ah hasanah.
4. Dalam sebuah hadits
shahih riwayat al-Imam al-Bukhari dalam kitab Shahih-nya disebutkan bahwa sahabat ‘Umar ibn al-Khaththab secara tegas
mengatakan tentang adanya bid’ah hasanah.
Ialah bahwa beliau
menamakan shalat berjama’ah dalam shalat tarawih di bulan Ramadlan sebagai
bid’ah hasanah. Beliau memuji praktek shalat tarawih berjama’ah ini, dan
mengatakan: “Ni’mal Bid’atu Hadzihi”. Artinya, sebaik-baiknya
bid’ah adalah shalat tarawih dengan berjama’ah.
Kemudian dalam hadits
Shahih lainnya yang diriwayatkan oleh Imam Muslim disebutkan bahwa sahabat
‘Umar ibn al-Khaththab ini menambah kalimat-kalimat dalam bacaan talbiyah terhadap
apa yang telah diajarkan oleh Rasulullah. Bacaan talbiyah beliau adalah:
لَبَّيْكَ اللّهُمَّ لَبَّيْكَ
وَسَعْدَيْكَ، وَالْخَيْرُ فِيْ يَدَيْكَ، وَالرَّغْبَاءُ إِلَيْكَ وَالْعَمَلُ
5. Dalam hadits riwayat Abu
Dawud disebutkan bahwa ‘Abdullah ibn ‘Umar ibn
al-Khaththab menambahkan kalimat Tasyahhud terhadap kalimat-kalimat Tasyahhud
yang telah diajarkan oleh Rasulullah. Dalam Tasayahhud-nya ‘Abdullah ibn ‘Umar
mengatakan:
أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ.
Tentang kaliamat tambahan
dalam Tasyahhud-nya ini, ‘Abdullah ibn ‘Umar berkata: “Wa Ana
Zidtuha...”, artinya: “Saya sendiri yang menambahkan kalimat “Wahdahu La
Syarika Lah”.
6. ‘Abdullah ibn ‘Umar menganggap bahwa shalat Dluha sebagai bid’ah, karena Rasulullah tidak pernah melakukannya. Tentang shalat Dluha ini beliau berkata:
6. ‘Abdullah ibn ‘Umar menganggap bahwa shalat Dluha sebagai bid’ah, karena Rasulullah tidak pernah melakukannya. Tentang shalat Dluha ini beliau berkata:
إِنَّهَا مُحْدَثَةٌ وَإِنَّهَا
لَمِنْ أَحْسَنِ مَا أَحْدَثُوْا (رواه سعيد بن منصور بإسناد صحيح(
“Sesungguhnya shalat
Dluha itu perkara baru, dan hal itu merupakan salah satu perkara terbaik dari
apa yang mereka rintis”. (HR. Sa’id ibn Manshur dengan sanad yang Shahih)
Dalam riwayat lain, tentang shalat Dluha ini sahabat ‘Abdullah ibn ‘Umar mengatakan:
Dalam riwayat lain, tentang shalat Dluha ini sahabat ‘Abdullah ibn ‘Umar mengatakan:
بِدْعَةٌ وَنِعْمَتْ البِدْعَةُ (رواه
ابن أبي شيبة(
“Shalat Dluha adalah
bid’ah, dan ia adalah sebaik-baiknya bid’ah”. (HR. Ibn Abi Syaibah)
Riwayat-riwayat ini dituturkan oleh al-Hafizh Ibn Hajar dalam Fath al-Bari dengan sanad yang shahih.
7. Dalam sebuah hadits shahih, al-Imam al-Bukhari meriwayatkan dari sahabat Rifa'ah ibn Rafi’, bahwa ia (Rifa’ah ibn Rafi’) berkata: “Suatu hari kami shalat berjama’ah di belakang Rasulullah. Ketika beliau mengangkat kepala setelah ruku’, beliau membaca: “Sami’allahu Lima Hamidah”. Tiba-tiba salah seorang makmum berkata:
Riwayat-riwayat ini dituturkan oleh al-Hafizh Ibn Hajar dalam Fath al-Bari dengan sanad yang shahih.
7. Dalam sebuah hadits shahih, al-Imam al-Bukhari meriwayatkan dari sahabat Rifa'ah ibn Rafi’, bahwa ia (Rifa’ah ibn Rafi’) berkata: “Suatu hari kami shalat berjama’ah di belakang Rasulullah. Ketika beliau mengangkat kepala setelah ruku’, beliau membaca: “Sami’allahu Lima Hamidah”. Tiba-tiba salah seorang makmum berkata:
رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ حَمْدًا كَثِيْرًا طَيِّبًا مُبَارَكًا
فِيْهِ
Setelah selesai shalat,
Rasulullah bertanya: “Siapakah tadi yang mengatakan kalimat-kalimat
itu?”. Orang yang yang dimaksud menjawab: “Saya Wahai Rasulullah...”. Lalu
Rasulullah berkata:
رَأَيْتُ بِضْعَةً وَثَلاَثِيْنَ
مَلَكًا يَبْتَدِرُوْنَهَا أَيُّهُمْ يَكْتُبُهَا أَوَّلَ
“Aku melihat lebih dari
tiga puluh Malaikat berlomba untuk menjadi yang pertama mencatatnya”.
Al-Hafizh Ibn Hajar dalam Fath al-Bari, mengatakan: “Hadits ini adalah dalil yang menunjukkan akan kebolehan menyusun bacaan dzikir di dalam shalat yang tidak ma’tsur, selama dzikir tersebut tidak menyalahi yang ma’tsur” (Fath al-Bari, j. 2, h. 287).
7. al-Imam an-Nawawi, dalam kitab Raudlah ath-Thalibin, tentang doa Qunut, beliau menuliskan sebagai berikut:
Al-Hafizh Ibn Hajar dalam Fath al-Bari, mengatakan: “Hadits ini adalah dalil yang menunjukkan akan kebolehan menyusun bacaan dzikir di dalam shalat yang tidak ma’tsur, selama dzikir tersebut tidak menyalahi yang ma’tsur” (Fath al-Bari, j. 2, h. 287).
7. al-Imam an-Nawawi, dalam kitab Raudlah ath-Thalibin, tentang doa Qunut, beliau menuliskan sebagai berikut:
هذَا هُوَ الْمَرْوِيُّ عَنِ النَّبِيِّ صَلّى اللهُ عَليهِ وَسَلّمَ
وَزَادَ الْعُلَمَاءُ فِيْهِ: "وَلاَ يَعِزُّ مَنْ عَادَيْتَ" قَبْلَ "تَبَارَكْتَ وَتَعَالَيْتَ" وَبَعْدَهُ: "فَلَكَ الْحَمْدُ
عَلَى مَا قَضَيْتَ، أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوْبُ إِلَيْكَ". قُلْتُ: قَالَ
أَصْحَابُنَا: لاَ بَأْسَ بِهذِهِ الزِّيَادَةِ. وَقَالَ أَبُوْ حَامِدٍ
وَالْبَنْدَنِيْجِيُّ وَءَاخَرُوْنَ: مُسْتَحَبَّةٌ.
“Inilah lafazh Qunut yang
diriwayatkan dari Rasulullah. Lalu para ulama menambahkan kalimat: “Wa La
Ya’izzu Man ‘Adaita” sebelum “Tabarakta Wa Ta’alaita”. Mereka juga menambahkan
setelahnya, kalimat “Fa Laka al-Hamdu ‘Ala Ma Qadlaita, Astaghfiruka Wa Atubu
Ilaika”. Saya (an-Nawawi) katakan: Ashab asy-Syafi’i mengatakan: “Tidak masalah
(boleh) dengan adanya tambahan ini”. Bahkan Abu Hamid, dan al-Bandanijiyy serta
beberapa Ashhab yang lain mengatakan bahwa bacaan tersebut adalah sunnah” (Raudlah ath-Thalibin, j. 1, h. 253-254).
Komentar:
0 comments: