Berikut ini beberapa contoh Bid’ah Hasanah. Di antaranya:
1. Shalat Sunnah dua raka’at sebelum dibunuh. Orang yang pertama kali melakukannya adalah Khubaib ibn ‘Adiyy al-Anshari; salah seorang sahabat Rasulullah. Tentang ini Abu Hurairah berkata:
1. Shalat Sunnah dua raka’at sebelum dibunuh. Orang yang pertama kali melakukannya adalah Khubaib ibn ‘Adiyy al-Anshari; salah seorang sahabat Rasulullah. Tentang ini Abu Hurairah berkata:
فَكَانَ خُبَيْبٌ أَوَّلَ مَنْ سَنَّ
الصَّلاَةَ عِنْدَ الْقَتْلِ (رواه البخاريّ(
“Khubaib adalah orang yang
pertama kali merintis shalat ketika akan dibunuh”. (HR. al-Bukhari dalam kitab
al-Maghazi, Ibn Abi Syaibah dalam kitab al-Mushannaf)
Lihatlah, bagaimana sahabat Abu Hurairah menggunakan kata “Sanna” untuk menunjukkan makna “merintis”, membuat sesuatu yang baru yang belaum ada sebelumnya. Jelas, makna “sanna” di sini bukan dalam pengertian berpegang teguh dengan sunnah, juga bukan dalam pengertian menghidupkan sunnah yang telah ditinggalkan orang.
Lihatlah, bagaimana sahabat Abu Hurairah menggunakan kata “Sanna” untuk menunjukkan makna “merintis”, membuat sesuatu yang baru yang belaum ada sebelumnya. Jelas, makna “sanna” di sini bukan dalam pengertian berpegang teguh dengan sunnah, juga bukan dalam pengertian menghidupkan sunnah yang telah ditinggalkan orang.
Salah seorang dari kalangan
tabi'in ternama, yaitu al-Imam Ibn Sirin, pernah ditanya tentang shalat dua
raka’at ketika seorang akan dibunuh, beliau menjawab:
صَلاَّهُمَا خُبَيْبٌ وَحُجْرٌ وَهُمَا فَاضِلاَنِ.
“Dua raka’at shalat sunnah
tersebut tersebut pernah dilakukan oleh Khubaib dan Hujr bin Adiyy, dan kedua
orang ini adalah orang-orang (sahabat Nabi) yang mulia”. (Diriwayatkan oleh Ibn Abd al-Barr dalam kitab al-Isti’ab)
(al-Isti’ab Fi Ma’rifah al-Ash-hab, j. 1, h. 358)
2. Penambahan Adzan Pertama
sebelum shalat Jum’at oleh sahabat Utsman bin ‘Affan. (HR. al-Bukhari dalam
Kitab Shahih al-Bukhari pada bagian Kitab al-Jum'ah).
3. Pembuatan titik-titik
dalam beberapa huruf al-Qur’an oleh Yahya ibn Ya’mur. Beliau adalah salah
seorang tabi'in yang mulia dan agung. Beliau seorang yang alim dan
bertaqwa. Perbuatan beliau ini disepakati oleh para ulama dari kalangan ahli
hadits dan lainnya.
Mereka semua menganggap
baik pembuatan titik-titik dalam beberapa huruf al-Qur’an tersebut. Padahal
ketika Rasulullah mendiktekan bacaan-bacaan al-Qur’an tersebut kepada para
penulis wahyu, mereka semua menuliskannya dengan tanpa titik-titik sedikitpun
pada huruf-hurufnya.
Demikian pula di masa
Khalifah ‘Utsman ibn ‘Affan, beliau menyalin dan menggandakan mush-haf menjadi
lima atau enam naskah, pada setiap salinan mush-haf-mush-haf tersebut tidak ada
satu-pun yang dibuatkan titik-titik pada sebagian huruf-hurufnya.
Namun demikian, sejak
setelah pemberian titik-titik oleh Yahya bin Ya'mur tersebut kemudian semua
umat Islam hingga kini selalu memakai titik dalam penulisan huruf-huruf
al-Qur’an.
Apakah mungkin hal ini
dikatakan sebagai bid’ah sesat dengan alasan Rasulullah tidak pernah
melakukannya?! Jika demikian halnya maka hendaklah mereka meninggalkan
mush-haf-mush-haf tersebut dan menghilangkan titik-titiknya seperti pada masa
‘Utsman.
Abu Bakar ibn Abu Dawud,
putra dari Imam Abu Dawud penulis kitab Sunan, dalam kitabnya al-Mashahif
berkata: “Orang yang pertama kali membuat titik-titik dalam Mush-haf
adalah Yahya bin Ya’mur”. Yahya bin Ya’mur adalah salah seorang ulama
tabi'in yang meriwayatkan (hadits) dari sahabat ‘Abdullah ibn ‘Umar dan
lainnya.
Demikian pula penulisan
nama-nama surat di permulaan setiap surat al-Qur’an, pemberian lingkaran di
akhir setiap ayat, penulisan juz di setiap permulaan juz, juga penulisan hizb,
Nishf (pertengahan Juz), Rubu' (setiap seperempat juz) dalam setiap juz dan
semacamnya, semua itu tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah dan para
sahabatnya.
Apakah dengan alasan
semacam ini kemudian semua itu adalah bid’ah yang diharamkan?!
4. Pembuatan Mihrab dalam
majid sebagai tempat shalat Imam, orang yang pertama kali membuat Mihrab
semacam ini adalah al-Khalifah ar-Rasyid ‘Umar ibn Abd al-'Aziz di Masjid
Nabawi.
Perbuatan al-Khalifah
ar-Rasyid ini kemudian diikuti oleh kebanyakan ummat Islam di seluruh dunia
ketika mereka membangun masjid.
Siapa berani mengatakan
bahwa itu adalah bid’ah sesat, sementara hampir seluruh masjid di zaman
sekarang memiliki mihrab?! Siapa yang tidak mengenal Khalifah ‘Umar ibn ‘Abd
al-‘Aziz sebagai al-Khalifah ar-Rasyid?!
5. Peringatan Maulid Nabi
adalah bid’ah hasanah sebagaimana ditegaskan oleh al-Hafizh Ibn Dihyah (abad 7
H), al-Hafizh al-'Iraqi (W 806 H), al-Hafizh Ibn Hajar al-'Asqalani (W 852 H),
al-Hafizh as-Suyuthi (W 911 H), al-Hafizh as-Sakhawi (W 902 H), Syekh Ibn Hajar
al-Haitami (W 974 H), al-Imam Nawawi (W 676 H), al-Imam al-‘Izz ibn 'Abd
as-Salam (W 660 H), Mantan Mufti Mesir; Syekh Muhammad Bakhit al-Muthi'i (W
1354 H), mantan Mufti Bairut Lebanon Syekh Mushthafa Naja (W 1351 H) dan masih
banyak lagi para ulama terkemuka lainnya.
6. Membaca shalawat atas
Rasulullah setelah adzan adalah bid’ah hasanah sebagaimana dijelaskan oleh
al-Hafizh as-Suyuthi dalam kitab Musamarah al-Awa-il, al-Hafizh as-Sakhawi
dalam kitab al-Qaul al-Badi’, al-Haththab al-Maliki dalam kitab Mawahib
al-Jalil, dan para ulama besar lainnya.
7. Menulis kalimat
“Shallallahu 'Alayhi Wa Sallam” setelah menulis nama Rasulullah termasuk bid’ah
hasanah. Karena Rasulullah dalam surat-surat yang beliau kirimkan kepada para
raja dan para penguasa di masa beliau hidup tidak pernah menulis kalimat
shalawat semacam itu.
Dalam surat-suratnya,
Rasulullah hanya menuliskan: “Min Muhammad Rasulillah Ila Fulan…”, artinya:
“Dari Muhammad Rasulullah kepada Si Fulan…”.
8. Beberapa Tarekat yang
dirintis oleh para wali Allah dan orang-orang saleh. Seperti tarekat
ar-Rifa'iyyah, al-Qadiriyyah, an-Naqsyabandiyyah dan lainnya yang kesemuanya
berjumlah sekitar 40 tarekat.
Pada asalnya,
tarekat-tarekat ini adalah bid’ah hasanah, namun kemudian sebagian pengikut
beberapa tarekat ada yang menyimpang dari ajaran dasarnya. Namun demikian hal
ini tidak lantas menodai tarekat pada peletakan atau tujuan awalnya.
Berikut ini beberapa contoh
Bid’ah Sayyi-ah. di antaranya sebagai berikut:
1. Bid’ah-bid’ah dalam masalah
pokok-pokok agama (Ushuluddin), di antaranya seperti:
A. Bid’ah Pengingkaran
terhadap ketentuan (Qadar) Allah. Yaitu keyakinan sesat yang mengatakan bahwa
Allah tidak mentaqdirkan dan tidak menciptakan suatu apapun dari segala
perbuatan ikhtiar hamba. Seluruh perbuatan manusia, -menurut keyakinan ini-,
terjadi dengan penciptaan manusia itu sendiri.
Sebagian dari mereka
meyakini bahwa Allah tidak menciptakan keburukan. Menurut mereka, Allah
hanya menciptakan kebaikan saja, sedangkan keburukan yang menciptakannya adalah
hamba sendiri. Mereka juga berkeyakinan bahwa pelaku dosa besar bukan seorang
mukmin, dan juga bukan seorang kafir, melainkan berada pada posisi di antara
dua posisi tersebut, tidak mukmin dan tidak kafir.
Mereka juga mengingkari syafa'at
Nabi. Golongan yang berkeyakinan seperti ini dinamakan dengan kaum Qadariyyah.
Orang yang pertama kali mengingkari Qadar Allah adalah Ma'bad al-Juhani di
Bashrah, sebagaimana hal ini telah diriwayatkan dalam Shahih Muslim dari Yahya
ibn Ya'mur.
B. Bid’ah Jahmiyyah. Kaum
Jahmiyyah juga dikenal dengan sebutan Jabriyyah, mereka adalah pengikut Jahm
ibn Shafwan. Mereka berkeyakinan bahwa seorang hamba itu majbur (dipaksa);
artinya setiap hamba tidak memiliki kehendak sama sekali ketika melakukan segala
perbuatannya. Menurut mereka, manusia bagaikan sehelai bulu atau kapas yang
terbang di udara sesuai arah angin, ke arah kanan dan ke arah kiri, ke arah
manapun, ia sama sekali tidak memiliki ikhtiar dan kehendak.
C. Bid’ah kaum Khawarij.
Mereka mengkafirkan orang-orang mukmin yang melakukan dosa besar.
D. Bid’ah sesat yang
mengharamkan dan mengkafirkan orang yang bertawassul dengan para nabi atau
dengan orang-orang saleh setelah para nabi atau orang-orang saleh tersebut
meninggal.
Atau pengkafiran terhadap
orang yang tawassul dengan para nabi atau orang-orang saleh di masa hidup
mereka namun orang yang bertawassul ini tidak berada di hadapan mereka.
Orang yang pertama kali
memunculkan bid’ah sesat ini adalah Ahmad ibn ‘Abd al-Halim ibn Taimiyah al-Harrani (W
728 H), yang kemudian diambil oleh Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhab dan para
pengikutnya yang dikenal dengan kelompok Wahhabiyyah.
2. Bid’ah-bid’ah 'Amaliyyah
yang buruk. Contohnya menulis huruf (ص) atau (صلعم) sebagai singkatan dari “Shallallahu
‘Alaihi Wa Sallam” setelah menuliskan nama Rasulullah. Termasuk dalam
bahasa Indonesia menjadi “SAW”.
Para ahli hadits telah
menegaskan dalam kitab-kitab Mushthalah al-Hadits bahwa menuliskan huruf “shad”
saja setelah penulisan nama Rasulullah adalah makruh. Artinya meskipun ini
bid’ah sayyi-ah, namun demikian mereka tidak sampai mengharamkannya.
Kemudian termasuk juga
bid’ah sayyi-ah adalah merubah-rubah nama Allah dengan membuang alif madd
(bacaan panjang) dari kata Allah atau membuang Ha' dari kata Allah.
Komentar:
0 comments: