Berkat
tempaan sang ayah dan guru gurunya, ia kini dikenal sebagai seorang
ulama muda yang produktif, pendidik yang bijak, sekaligus tempat banyak
orang bertanya masalah masalah fiqih, khususnya fiqhun nisa’, fiqih wanita.
Sejak lama banyak orang mendengar nama besar Pondok Pesantren Darul-Lughah wad-Da’wah, Bangil, Jawa Timur yang populer dengan sebutan Pesantren Dalwa. Pondok pesantren dengan ribuan santri itu didirikan oleh seorang tokoh ulama besar, Al-Habib Hasan bin Ahmad Baharun. Kini Habib Hasan Baharun sudah tiada. Namun sebelum wafat, lewat pendidikan yang terbaik ia telah menyiapkan putra-putranya agar dapat menggantikannya setelah ia tiada.
Putra Habib Hasan yang bernama Habib Zen
bin Hasan Baharun kini memimpin Pondok Putra. Putra lainnya, Habib Segaf
bin Hasan Baharun, menjadi pengasuh Pondok Putri, dibawah kepemimpinan
ibunda Habib Segaf sendiri. Sementara putra yang lainnya lagi, Habib Ali
dan Habib Husen, diamanahkan untuk mengurus Pondok I’dadi, jenjang
persiapan dasar memasuki pendidikan dasar untuk memasuki pendidikan
pesantren tingkat selanjutnya. Jumlah santri pun semakin meningkat dari
waktu ke waktu.
Selain ketiga putranya di atas, Habib
Hasan Baharun juga memiliki beberapa anak lagi yang saat ini semuanya
bergerak di dunia dakwah, meneruskan perjuangan sang ayah.
Habib Segaf, selain dikenal sebagai
pengasuh Pondok Putri, juga seorang ulama muda yang produktif. Tercatat,
sudah tujuh judul buku hasil karyanya telah diterbitkan. Saat ini ia
tengah menyusun empat buku barunya. Seluruh buku hasil karya Habib
Segaf, yang telah lama menekuni ilmu fiqih, berbicara tentang masalah
fiqih sehari hari. Lewat gaya bahasa yang ringan dan mudah dicerna, buku
buku hasil karyanya cukup diminati para pembaca.
Diantara karyanya itu, ternyata yang
paling populer adalah buku buku yang terkait dengan masalah fiqih
kewanitaan. Mungkin karena itu pula hingga saat ini ia kerap menjadi
tempat bertanya banyak orang dalam masalah tersebut. Dalam satu pekan,
tidak kurang dari 30 SMS masuk ke ponsel pribadinya. Belum lagi yang
bertanya secara langsung atau via e-mail. Dan hampir seluruh mereka yang bertanya adalah kaum wanita.
Selain seorang ulama, yang berarti adalah
pewaris Nabi, ketika melayani umat ia selalu sigap dalam menjawab
pertanyaan. Bahkan ia berniat akan membuka blog sendiri di internet
sebagai media konsultasi antara publik dan dirinya pada masalah masalah
fiqih kewanitaan.
Keberkahan Orangtua
Habib Segaf adalah putra kedua pasangan Allâh yarham (semoga
Allah mengasihi) Al-Habib Hasan bin Ahmad Baharun dan Syarifah Khadijah
binti Muhammad Al-Hinduan. Habib Segaf yang lahir pada tanggal 7
Juni
1974 di kota Malang ini, mempunyai istri bernama Syarifah Fauziah binti
Abdullah bin Yahya yang dinikahinya pada tahun 1998, dan saat ini telah
dikaruniai empat orang anak laki laki, yaitu Muhammad Alwi, Ahmad Hasan,
Muhammad Umar, dan Muhammad Husein.
Habib Segaf menuntut ilmu secara intensif
sejak masih sangat kecil. Saat ia tengah duduk di bangku Sekolah Dasar
kelas 2 di SD Islamiyah Bangil, ayahnya memindahkannya ke Pondok yang
baru dirintisnya itu. Waktu itu Habib Segaf baru berusia tujuh tahun,
santri yang paling kecil, dan termasuk santri Habib Hasan Baharun
generasi pertama.
Semenjak itu, ia harus hidup berpisah
dengan orangtua, kecuali pada hari libur mingguan, yaitu setiap hari
jum’at. Itupun terbatas sekali waktunya, dari pagi hari hingga waktu
sholat Jum’at. Setelah itu ia harus masuk ke lingkungan pondok pesantren
lagi, berkutat dengan pelajaran ilmu ilmu agama.
Sekalipun pondok itu adalah pondok milik
ayahnya, jangan harap Habib Segaf, dan anak anak Habib Hasan lainnya,
mendapatkan perlakuan istimewa. Tidak sedikitpun ada kebijakan, baik
resmi maupun tidak, yang memperlakukan keluarga Habib Hasan menjadi
berbeda dengan santri santri lainnya. Semua peraturan dan tugas tugas
yang ditetapkan di pondok, dari mulai piket kamar, membersihkan kamar
mandi, sampai pekerjaan pekerjaan ketertiban pondok lainnya, berlaku
pula bagi Habib Segaf.
Sikap disiplin yang ditanamkan sang ayah
tidak cukup sampai disitu. Terkadang, jika ada santri lain yang membantu
pekerjaan piket yang ditugaskan kepada Habib Segaf, sang ayah akan
sangat marah, baik kepada Habib Segaf sendiri maupun kepada santri yang
membantunya itu. Ia juga akan marah bila dalam hal hal keseharian di
pondok ada yang mengistimewakan Habib Segaf ataupun putra putra Habib
Hasan lainnya.
Habib Hasan dengan tegas memberi hukuman
bila ada santri yang melanggar aturan. Bahkan jika Habib Segaf sendiri
yang kebetulan melakukan pelanggaran, hukumannya lebih keras.
Sesungguhnya, itu semua dikarenakan Habib Hasan berharap agar para
santri, terlebih lagi putra putranya sendiri, dapat semaksimal mungkin
memanfaatkan waktu usia produktif yang masih mereka miliki.
Dalam kaitan itu, Habib Hasan mengatakan,
“Sebagaimana para orangtua santri itu memiliki harapan besar terhadap
anak anak mereka, harapan saya lebih besar lagi kepada anak anak saya.
Sebab anak anak saya inilah yang kelak menggantikan saya.”
Disiplin keras yang diterapkan
orangtuanya inilah yang menjadi kunci keberhasilan pendidikan dirinya
dan juga saudara saudaranya yang lain. Saat ini pun, mereka semua
mengikuti langkah orangtua mereka dalam berdakwah dan menyebarluaskan
ilmu ilmu agama, terutama lewat media pondok pesantren yang ditinggalkan
sang ayah.
Disamping berkat didikan sang ayah,
keberhasilannya juga tak terlepas dari peran ibunda, Syarifah Khadijah
binti Muhammad Al-Hinduan. Diantara teladan yang dicontohkan sang ibu
adalah kebiasaan dalam membaca Al-Quran. Hampir setiap tengah malam
Syarifah Khadijah Al-Hinduan selalu bangun dari mulai sekitar pukul dua
dini hari untuk menunaikan sholat Tahajjud, kemudian ia membaca Al-Quran
hingga terbit fajar.
Setelah sholat shubuh, ia kembali membaca
kitab suci itu. Tidak cukup dengan hanya membaca Al-Quran, berbagai
wirid pun dibacanya. Pembacaan wirid dan tilawah Al-Quran itu baru
selesai dikerjakannya pada pukul delapan pagi. Sehingga, hampir dalam
setiap tiga hari ibunda Habib Segaf mengkhatamkan Al-Quran. Selesai
berdzikir, ia melanjutkannya dengan mengajar di Pondok Putri. Aktivitas
harian Syarifah Khadijah Al-Hinduan itu telah menjadi teladan bagi Habib
Segaf dan saudara-saudaranya.
Menuntut Ilmu di Tanah Suci
Al-Allamah Alhabib Salim bin Abdullah Asy-Syathiri |
Setelah selesai menjalani pendidikan di pondok hingga tingkatan aliyah
diniyah dan muadalahnya, Habib Segaf diperbantukan untuk ikut mengajar
di pondok pesantren ayahnya. Ketika itu, di usia 17 tahun, ia sudah
menulis karya pertamanya, buku yang berjudul Problematika Haid & Permasalahan Wanita.
Saat mengetahui besarnya minat dan
semangat belajar Habib Segaf, terutama dalam ilmu fiqih, Habib Hasan
memberangkatkannya ke kota Madinah untuk melanjutkan pendidikan. Di kota
itu, ia masuk ke lembaga Rubath Al-Madinah, yang diasuh Al-Allamah Al-Habib Zain bin Ibrahim bin Smith.
Habib Zain bin Smith |
Di kota suci itu ia juga menyempatkan
diri menimba ilmu kepada seorang ulama besar lainnya, yaitu Al-Allamah
Al-Habib Muhammad bin Abdullah Al-Hadar, yang tidak lain adalah mertua
Habib Zain bin Smith. Saat Al-Allamah Alhabib Salim bin Abdullah Asy-Syathiri datang ke Madinah, yang terkadang tinggal hingga beberapa bulan lamanya, Habib Segaf juga sempat belajar kepadanya.
Selama empat tahun bermukim di kota Madinah, Habib Segaf juga berguru kep
ada Al-Allamah As-Sayyid Muhammad bin Alwi Al-Maliki
bila ia berkesempatan pergi ke kota Mekkah. Ia sendiri bila berada di
kota Mekkah selalu tinggal dikediaman Sayyid Muhammad Al-Maliki.
Begitupun bilâ Sayyid Muhammad Al-Maliki berada di kota Madinah, ia
segera dihubungi via telepon agar datang ke tempat dimana Sayyid
Muhammad Al-Maliki berada.
Gigitan Al-Maliki
Sayyid Muhammad bin Alwi Al-Maliki memang memiliki kedekatan tersendiri
dengan Habib Hasan Baharun, ayah Habib Segaf, sampai-sampai ia
menganggap anak anak Habib Hasan Baharun seperti anaknya sendiri.
Sehingga semua kebutuhan sehari hari Habib Segaf dan saudara saudaranya
ditanggung olehnya.
Bersama Sayyid Muhammad Al-Maliki, Habib
Segaf mendapat banyak pelajaran berharga dan penuh kesan hingga saat
ini. Di antara yang ditanamkan oleh Al-Maliki kepadanya adalah sikap
percaya diri saat tampil dimuka orang banyak. Terkadang pada sejumlah
pertemuan yang dihadiri para tamu besar Al-Maliki, seperti menteri dari
negara negara Arab, Al-Maliki menyuruhnya untuk menjadi imâm, sementara
Al-Maliki sendiri dan sejumlah tamu besar yang hadir menjadi makmumnya.
Suatu waktu, dikala menunaikan ibadah
haji, dalam suatu majelis besar yang dihadiri sekitar lima ribu orang,
ia datang terlambat. Tiba tiba Al-Maliki mengambil mikrofon dan menyebut
namanya seraya menyampaikan salam kepadanya. Hal hal seperti itu
dirasakan Habib Segaf sebagai dorongan mental yang luarbiasa hingga
membesarkan hatinya dan membuat dirinya menjadi tidak minder untuk
berhadapan dengan siapapun.
Saat Habib Segaf menemui Sayyid Muhammad
Al-Maliki untuk berpamitan pulang ke tanah air, Al-Maliki memanggilnya
seraya mengembangkan tangannya seperti orang yang hendak memeluknya.
Maka segera ia menghampiri Al-Maliki dan memeluknya. Setelah saling
berdekatan, tiba tiba Al-Maliki mengigit bibirnya hingga mengeluarkan
darah. Atas kejadian itu, sang ayah, Habib Hasan Baharun, mengatakan,
“Dengan gigitan itu, insyâ Allâh, Abuya (panggilan akrab Al-Maliki-Red) akan memberikan sir-nya kepadamu, dan insyâ Allâh kamu akan menjadi seorang ahli khutbah.”
“Dengan gigitan itu, insyâ Allâh, Abuya (panggilan akrab Al-Maliki-Red) akan memberikan sir-nya kepadamu, dan insyâ Allâh kamu akan menjadi seorang ahli khutbah.”
Benar saja, diantara putra putra Habib
Hasan yang tengah mengasuh pondok peninggalannya saat ini, Habib Segaf
lah yang paling sering didaulat untuk berceramah pada tiap kali
diselenggarakannya acara acara keagamaan.
Mujahadah yang Terbesar
Habib Zain bin Smith, guru tempat Habib
Segaf menimba ilmu selama empat tahun di Madinah, pernah memberikan
pesan kepadanya, “Setelah kamu pulang nanti, tetaplah belajar kepada
para guru. Jangan pernah kamu merasa cukup dengan ilmu yang kamu miliki.
Karena yang namanya orang alim, semakin bertambah alim semakin merasa
kurang ilmunya.”
Selain pesan dari sang guru, ia juga
selalu teringat akan pesan ayahnya, “Selalulah belajar dari pengalaman
orang lain, karena pengalaman itu sangat berharga dan mahal harganya.”
Sepulang dari menuntut ilmu di Tanah
Suci, Habib Segaf meeneruskan pendidikan formal, hingga tahun 2006 ia
berhasil meraih gelar sarjana.
Semangat yang ada pada dirinya dalam
mengembangkan wawasan ilmu keagamaannya terus terjaga hingga sekarang.
Saat ini, ia tengah berada dalam jenjang pendidikan pascasarjana untuk
mengambil gelar S2 jurusan syariah.
Ditengah tengah kesibukannya mengasuh
Pondok Dalwa Putri, bilâ tidak berbenturan waktunya dengan jadwal
mengajar, ia aktif pula berceramah disekitar wilayah Jawa Timur ataupun
diluar Jawa Timur, terutama saat pesantren sedang libur. Ia juga menjadi
khatib tetap di Masjid Jami’ Bangil sekaligus mengasuh majelis
pengajian rutin di masjid tersebut. Beberapa majelis asuhannya juga
terdapat di daerah sekitar pondok pesantren.
Habib Segaf memang seorang pengajar yang
lebih mendahulukan santri santrinya, yang telah dititipkan orangtua
mereka kepadanya, dibanding hal hal lain. Menurutnya, jika telah
berhasil menyelesaikan pelajaran di pondok dengan baik dan sudah pulang
kembali ke rumah, merekalah yang menjadi ujung tombak dakwah ditempat
mereka masing masing.
Belajar dan mengajar adalah mujahadah
yang khas dalam diri Habib Segaf, yang akan terus dijalani hingga akhir
hayatnya. Ia kembali teringat pesan gurunya, Habib Zain bin Smith,
“Selama kamu masih hidup, selama itu pula kamu harus tetap bermujahadah.
Sampai kelak akhirnya kamu menghadapi mujahadah yang terbesar, yaitu
meraih husnul khatimah.”
Kini, semua yang telah didapat dari para
guru, juga dari kedua orangtuanya, diterapkan pula terhadap anak
anaknya. Dalam rumah tangga, ia menerapkan pola yang dicontohkan oleh
Habib Hasan Baharun, yaitu pola pendidikan berada diantara sifat keras
dan lembut. Ia ingat, dulu ayahnya sering menghardik bahkan memukul
dirinya. Tapi setelah dipukul, ia diiberi uang. Ternyata efek dari pola
pendidikan semacam itu secara psikologis telah menimbulkan rasa takut
sekaligus cinta kepada sang ayah.
Demikianlah sekilas perjalanan panjang
seorang ulama muda nan produktif ini. Bagi Habib Segaf, semua apa yang
telah dicapai dirinya dan saudara saudaranya saat ini, tak terlepas dari
disiplin keras yang ditanamkan sang ayah dan teladan terbaik yang
dicontohkan sang ibu. Sebagaimana yang dituturkannya kepada alKisah, Habib Segaf berharap bahwa ia dapat meniru teladan kedua orang tuanya, dalam hal ibadah maupun dalam hal mendidik anak anaknya.
Komentar:
0 comments: