Berkat tempaan sang ayah dan guru gurunya, ia kini dikenal sebagai seorang ulama muda yang produktif, pendidik yang bijak, sekaligus tempat banyak orang bertanya masalah masalah fiqih, khususnya fiqhun nisa’, fiqih wanita. Sejak lama banyak orang mendengar nama besar Pondok Pesantren Darul-Lughah wad-Da’wah, Bangil, Jawa Timur yang populer dengan sebutan Pesantren Dalwa. Pondok pesantren dengan ribuan santri itu didirikan oleh seorang tokoh ulama besar, Al-Habib Hasan bin Ahmad Baharun. Kini Habib Hasan Baharun sudah tiada. Namun sebelum wafat, lewat pendidikan yang terbaik ia telah menyiapkan putra-putranya agar dapat menggantikannya setelah ia tiada. Putra Habib Hasan yang bernama Habib Zen bin Hasan Baharun kini memimpin Pondok Putra. Putra lainnya, Habib Segaf bin Hasan Baharun, menjadi pengasuh Pondok Putri, dibawah kepemimpinan ibunda Habib Segaf sendiri. Sementara putra yang lainnya lagi, Habib Ali dan Habib Husen, diamanahkan untuk mengurus Pondok I’dadi, jenjang persiapan dasar memasuki pendidikan dasar untuk memasuki pendidikan pesantren tingkat selanjutnya. Jumlah santri pun semakin meningkat dari waktu ke waktu. Selain ketiga putranya di atas, Habib Hasan Baharun juga memiliki beberapa anak lagi yang saat ini semuanya bergerak di dunia dakwah, meneruskan perjuangan sang ayah. Habib Segaf, selain dikenal sebagai pengasuh Pondok Putri, juga seorang ulama muda yang produktif. Tercatat, sudah tujuh judul buku hasil karyanya telah diterbitkan. Saat ini ia tengah menyusun empat buku barunya. Seluruh buku hasil karya Habib Segaf, yang telah lama menekuni ilmu fiqih, berbicara tentang masalah fiqih sehari hari. Lewat gaya bahasa yang ringan dan mudah dicerna, buku buku hasil karyanya cukup diminati para pembaca. Diantara karyanya itu, ternyata yang paling populer adalah buku buku yang terkait dengan masalah fiqih kewanitaan. Mungkin karena itu pula hingga saat ini ia kerap menjadi tempat bertanya banyak orang dalam masalah tersebut. Dalam satu pekan, tidak kurang dari 30 SMS masuk ke ponsel pribadinya. Belum lagi yang bertanya secara langsung atau via e-mail. Dan hampir seluruh mereka yang bertanya adalah kaum wanita. Selain seorang ulama, yang berarti adalah pewaris Nabi, ketika melayani umat ia selalu sigap dalam menjawab pertanyaan. Bahkan ia berniat akan membuka blog sendiri di internet sebagai media konsultasi antara publik dan dirinya pada masalah masalah fiqih kewanitaan. Keberkahan Orangtua Habib Segaf adalah putra kedua pasangan Allâh yarham (semoga Allah mengasihi) Al-Habib Hasan bin Ahmad Baharun dan Syarifah Khadijah binti Muhammad Al-Hinduan. Habib Segaf yang lahir pada tanggal 7 Juni 1974 di kota Malang ini, mempunyai istri bernama Syarifah Fauziah binti Abdullah bin Yahya yang dinikahinya pada tahun 1998, dan saat ini telah dikaruniai empat orang anak laki laki, yaitu Muhammad Alwi, Ahmad Hasan, Muhammad Umar, dan Muhammad Husein. Habib Segaf menuntut ilmu secara intensif sejak masih sangat kecil. Saat ia tengah duduk di bangku Sekolah Dasar kelas 2 di SD Islamiyah Bangil, ayahnya memindahkannya ke Pondok yang baru dirintisnya itu. Waktu itu Habib Segaf baru berusia tujuh tahun, santri yang paling kecil, dan termasuk santri Habib Hasan Baharun generasi pertama. Semenjak itu, ia harus hidup berpisah dengan orangtua, kecuali pada hari libur mingguan, yaitu setiap hari jum’at. Itupun terbatas sekali waktunya, dari pagi hari hingga waktu sholat Jum’at. Setelah itu ia harus masuk ke lingkungan pondok pesantren lagi, berkutat dengan pelajaran ilmu ilmu agama. Sekalipun pondok itu adalah pondok milik ayahnya, jangan harap Habib Segaf, dan anak anak Habib Hasan lainnya, mendapatkan perlakuan istimewa. Tidak sedikitpun ada kebijakan, baik resmi maupun tidak, yang memperlakukan keluarga Habib Hasan menjadi berbeda dengan santri santri lainnya. Semua peraturan dan tugas tugas yang ditetapkan di pondok, dari mulai piket kamar, membersihkan kamar mandi, sampai pekerjaan pekerjaan ketertiban pondok lainnya, berlaku pula bagi Habib Segaf. Sikap disiplin yang ditanamkan sang ayah tidak cukup sampai disitu. Terkadang, jika ada santri lain yang membantu pekerjaan piket yang ditugaskan kepada Habib Segaf, sang ayah akan sangat marah, baik kepada Habib Segaf sendiri maupun kepada santri yang membantunya itu. Ia juga akan marah bila dalam hal hal keseharian di pondok ada yang mengistimewakan Habib Segaf ataupun putra putra Habib Hasan lainnya. Habib Hasan dengan tegas memberi hukuman bila ada santri yang melanggar aturan. Bahkan jika Habib Segaf sendiri yang kebetulan melakukan pelanggaran, hukumannya lebih keras. Sesungguhnya, itu semua dikarenakan Habib Hasan berharap agar para santri, terlebih lagi putra putranya sendiri, dapat semaksimal mungkin memanfaatkan waktu usia produktif yang masih mereka miliki. Dalam kaitan itu, Habib Hasan mengatakan, “Sebagaimana para orangtua santri itu memiliki harapan besar terhadap anak anak mereka, harapan saya lebih besar lagi kepada anak anak saya. Sebab anak anak saya inilah yang kelak menggantikan saya.” Disiplin keras yang diterapkan orangtuanya inilah yang menjadi kunci keberhasilan pendidikan dirinya dan juga saudara saudaranya yang lain. Saat ini pun, mereka semua mengikuti langkah orangtua mereka dalam berdakwah dan menyebarluaskan ilmu ilmu agama, terutama lewat media pondok pesantren yang ditinggalkan sang ayah. Disamping berkat didikan sang ayah, keberhasilannya juga tak terlepas dari peran ibunda, Syarifah Khadijah binti Muhammad Al-Hinduan. Diantara teladan yang dicontohkan sang ibu adalah kebiasaan dalam membaca Al-Quran. Hampir setiap tengah malam Syarifah Khadijah Al-Hinduan selalu bangun dari mulai sekitar pukul dua dini hari untuk menunaikan sholat Tahajjud, kemudian ia membaca Al-Quran hingga terbit fajar. Setelah sholat shubuh, ia kembali membaca kitab suci itu. Tidak cukup dengan hanya membaca Al-Quran, berbagai wirid pun dibacanya. Pembacaan wirid dan tilawah Al-Quran itu baru selesai dikerjakannya pada pukul delapan pagi. Sehingga, hampir dalam setiap tiga hari ibunda Habib Segaf mengkhatamkan Al-Quran. Selesai berdzikir, ia melanjutkannya dengan mengajar di Pondok Putri. Aktivitas harian Syarifah Khadijah Al-Hinduan itu telah menjadi teladan bagi Habib Segaf dan saudara-saudaranya. Menuntut Ilmu di Tanah Suci Al-Allamah Alhabib Salim bin Abdullah Asy-Syathiri Setelah selesai menjalani pendidikan di pondok hingga tingkatan aliyah diniyah dan muadalahnya, Habib Segaf diperbantukan untuk ikut mengajar di pondok pesantren ayahnya. Ketika itu, di usia 17 tahun, ia sudah menulis karya pertamanya, buku yang berjudul Problematika Haid & Permasalahan Wanita. Saat mengetahui besarnya minat dan semangat belajar Habib Segaf, terutama dalam ilmu fiqih, Habib Hasan memberangkatkannya ke kota Madinah untuk melanjutkan pendidikan. Di kota itu, ia masuk ke lembaga Rubath Al-Madinah, yang diasuh Al-Allamah Al-Habib Zain bin Ibrahim bin Smith. Habib Zain bin Smith Di kota suci itu ia juga menyempatkan diri menimba ilmu kepada seorang ulama besar lainnya, yaitu Al-Allamah Al-Habib Muhammad bin Abdullah Al-Hadar, yang tidak lain adalah mertua Habib Zain bin Smith. Saat Al-Allamah Alhabib Salim bin Abdullah Asy-Syathiri datang ke Madinah, yang terkadang tinggal hingga beberapa bulan lamanya, Habib Segaf juga sempat belajar kepadanya. Selama empat tahun bermukim di kota Madinah, Habib Segaf juga berguru kep ada Al-Allamah As-Sayyid Muhammad bin Alwi Al-Maliki bila ia berkesempatan pergi ke kota Mekkah. Ia sendiri bila berada di kota Mekkah selalu tinggal dikediaman Sayyid Muhammad Al-Maliki. Begitupun bilâ Sayyid Muhammad Al-Maliki berada di kota Madinah, ia segera dihubungi via telepon agar datang ke tempat dimana Sayyid Muhammad Al-Maliki berada. Gigitan Al-Maliki Sayyid Muhammad bin Alwi Al-Maliki memang memiliki kedekatan tersendiri dengan Habib Hasan Baharun, ayah Habib Segaf, sampai-sampai ia menganggap anak anak Habib Hasan Baharun seperti anaknya sendiri. Sehingga semua kebutuhan sehari hari Habib Segaf dan saudara saudaranya ditanggung olehnya. Bersama Sayyid Muhammad Al-Maliki, Habib Segaf mendapat banyak pelajaran berharga dan penuh kesan hingga saat ini. Di antara yang ditanamkan oleh Al-Maliki kepadanya adalah sikap percaya diri saat tampil dimuka orang banyak. Terkadang pada sejumlah pertemuan yang dihadiri para tamu besar Al-Maliki, seperti menteri dari negara negara Arab, Al-Maliki menyuruhnya untuk menjadi imâm, sementara Al-Maliki sendiri dan sejumlah tamu besar yang hadir menjadi makmumnya. Suatu waktu, dikala menunaikan ibadah haji, dalam suatu majelis besar yang dihadiri sekitar lima ribu orang, ia datang terlambat. Tiba tiba Al-Maliki mengambil mikrofon dan menyebut namanya seraya menyampaikan salam kepadanya. Hal hal seperti itu dirasakan Habib Segaf sebagai dorongan mental yang luarbiasa hingga membesarkan hatinya dan membuat dirinya menjadi tidak minder untuk berhadapan dengan siapapun. Saat Habib Segaf menemui Sayyid Muhammad Al-Maliki untuk berpamitan pulang ke tanah air, Al-Maliki memanggilnya seraya mengembangkan tangannya seperti orang yang hendak memeluknya. Maka segera ia menghampiri Al-Maliki dan memeluknya. Setelah saling berdekatan, tiba tiba Al-Maliki mengigit bibirnya hingga mengeluarkan darah. Atas kejadian itu, sang ayah, Habib Hasan Baharun, mengatakan, “Dengan gigitan itu, insyâ Allâh, Abuya (panggilan akrab Al-Maliki-Red) akan memberikan sir-nya kepadamu, dan insyâ Allâh kamu akan menjadi seorang ahli khutbah.” Benar saja, diantara putra putra Habib Hasan yang tengah mengasuh pondok peninggalannya saat ini, Habib Segaf lah yang paling sering didaulat untuk berceramah pada tiap kali diselenggarakannya acara acara keagamaan. Mujahadah yang Terbesar Habib Zain bin Smith, guru tempat Habib Segaf menimba ilmu selama empat tahun di Madinah, pernah memberikan pesan kepadanya, “Setelah kamu pulang nanti, tetaplah belajar kepada para guru. Jangan pernah kamu merasa cukup dengan ilmu yang kamu miliki. Karena yang namanya orang alim, semakin bertambah alim semakin merasa kurang ilmunya.” Selain pesan dari sang guru, ia juga selalu teringat akan pesan ayahnya, “Selalulah belajar dari pengalaman orang lain, karena pengalaman itu sangat berharga dan mahal harganya.” Sepulang dari menuntut ilmu di Tanah Suci, Habib Segaf meeneruskan pendidikan formal, hingga tahun 2006 ia berhasil meraih gelar sarjana. Semangat yang ada pada dirinya dalam mengembangkan wawasan ilmu keagamaannya terus terjaga hingga sekarang. Saat ini, ia tengah berada dalam jenjang pendidikan pascasarjana untuk mengambil gelar S2 jurusan syariah. Ditengah tengah kesibukannya mengasuh Pondok Dalwa Putri, bilâ tidak berbenturan waktunya dengan jadwal mengajar, ia aktif pula berceramah disekitar wilayah Jawa Timur ataupun diluar Jawa Timur, terutama saat pesantren sedang libur. Ia juga menjadi khatib tetap di Masjid Jami’ Bangil sekaligus mengasuh majelis pengajian rutin di masjid tersebut. Beberapa majelis asuhannya juga terdapat di daerah sekitar pondok pesantren. Habib Segaf memang seorang pengajar yang lebih mendahulukan santri santrinya, yang telah dititipkan orangtua mereka kepadanya, dibanding hal hal lain. Menurutnya, jika telah berhasil menyelesaikan pelajaran di pondok dengan baik dan sudah pulang kembali ke rumah, merekalah yang menjadi ujung tombak dakwah ditempat mereka masing masing. Belajar dan mengajar adalah mujahadah yang khas dalam diri Habib Segaf, yang akan terus dijalani hingga akhir hayatnya. Ia kembali teringat pesan gurunya, Habib Zain bin Smith, “Selama kamu masih hidup, selama itu pula kamu harus tetap bermujahadah. Sampai kelak akhirnya kamu menghadapi mujahadah yang terbesar, yaitu meraih husnul khatimah.” Kini, semua yang telah didapat dari para guru, juga dari kedua orangtuanya, diterapkan pula terhadap anak anaknya. Dalam rumah tangga, ia menerapkan pola yang dicontohkan oleh Habib Hasan Baharun, yaitu pola pendidikan berada diantara sifat keras dan lembut. Ia ingat, dulu ayahnya sering menghardik bahkan memukul dirinya. Tapi setelah dipukul, ia diiberi uang. Ternyata efek dari pola pendidikan semacam itu secara psikologis telah menimbulkan rasa takut sekaligus cinta kepada sang ayah. Demikianlah sekilas perjalanan panjang seorang ulama muda nan produktif ini. Bagi Habib Segaf, semua apa yang telah dicapai dirinya dan saudara saudaranya saat ini, tak terlepas dari disiplin keras yang ditanamkan sang ayah dan teladan terbaik yang dicontohkan sang ibu. Sebagaimana yang dituturkannya kepada alKisah, Habib Segaf berharap bahwa ia dapat meniru teladan kedua orang tuanya, dalam hal ibadah maupun dalam hal mendidik anak anaknya. *** Sumber: Majalah alKisah desember 2008

http://dalwa-dakwah.blogspot.com/2015/03/profil-habib-segaf-bin-hasan-baharun.html

Berkat tempaan sang ayah dan guru gurunya, ia kini dikenal sebagai seorang ulama muda yang produktif, pendidik yang bijak, sekaligus tempat banyak orang bertanya masalah masalah fiqih, khususnya fiqhun nisa’, fiqih wanita.

Sejak lama banyak orang mendengar nama besar Pondok Pesantren Darul-Lughah wad-Da’wah, Bangil, Jawa Timur yang populer dengan sebutan Pesantren Dalwa. Pondok pesantren dengan ribuan santri itu didirikan oleh seorang tokoh ulama besar, Al-Habib Hasan bin Ahmad Baharun. Kini Habib Hasan Baharun sudah tiada. Namun sebelum wafat, lewat pendidikan yang terbaik ia telah menyiapkan putra-putranya agar dapat menggantikannya setelah ia tiada.
http://dalwa-dakwah.blogspot.com/2015/03/profil-habib-segaf-bin-hasan-baharun.html

Putra Habib Hasan yang bernama Habib Zen bin Hasan Baharun kini memimpin Pondok Putra. Putra lainnya, Habib Segaf bin Hasan Baharun, menjadi pengasuh Pondok Putri, dibawah kepemimpinan ibunda Habib Segaf sendiri. Sementara putra yang lainnya lagi, Habib Ali dan Habib Husen, diamanahkan untuk mengurus Pondok I’dadi, jenjang persiapan dasar memasuki pendidikan dasar untuk memasuki pendidikan pesantren tingkat selanjutnya. Jumlah santri pun semakin meningkat dari waktu ke waktu.

Selain ketiga putranya di atas, Habib Hasan Baharun juga memiliki beberapa anak lagi yang saat ini semuanya bergerak di dunia dakwah, meneruskan perjuangan sang ayah.

Habib Segaf, selain dikenal sebagai pengasuh Pondok Putri, juga seorang ulama muda yang produktif. Tercatat, sudah tujuh judul buku hasil karyanya telah diterbitkan. Saat ini ia tengah menyusun empat buku barunya. Seluruh buku hasil karya Habib Segaf, yang telah lama menekuni ilmu fiqih, berbicara tentang masalah fiqih sehari hari. Lewat gaya bahasa yang ringan dan mudah dicerna, buku buku hasil karyanya cukup diminati para http://dalwa-dakwah.blogspot.com/2015/03/profil-habib-segaf-bin-hasan-baharun.htmlpembaca.
Diantara karyanya itu, ternyata yang paling populer adalah buku buku yang terkait dengan masalah fiqih

kewanitaan. Mungkin karena itu pula hingga saat ini ia kerap menjadi tempat bertanya banyak orang dalam masalah tersebut. Dalam satu pekan, tidak kurang dari 30 SMS masuk ke ponsel pribadinya. Belum lagi yang bertanya secara langsung atau via e-mail. Dan hampir seluruh mereka yang bertanya adalah kaum wanita.

Selain seorang ulama, yang berarti adalah pewaris Nabi, ketika melayani umat ia selalu sigap dalam menjawab pertanyaan. Bahkan ia berniat akan membuka blog sendiri di internet sebagai media konsultasi antara publik dan dirinya pada masalah masalah fiqih kewanitaan.

Keberkahan Orangtua


http://dalwa-dakwah.blogspot.com/2015/03/profil-habib-segaf-bin-hasan-baharun.htmlHabib Segaf adalah putra kedua pasangan Allâh yarham (semoga Allah mengasihi) Al-Habib Hasan bin Ahmad Baharun dan Syarifah Khadijah binti Muhammad Al-Hinduan. Habib Segaf yang lahir pada tanggal 7
Juni 1974 di kota Malang ini, mempunyai istri bernama Syarifah Fauziah binti Abdullah bin Yahya yang dinikahinya pada tahun 1998, dan saat ini telah dikaruniai empat orang anak laki laki, yaitu Muhammad Alwi, Ahmad Hasan, Muhammad Umar, dan Muhammad Husein.

Habib Segaf menuntut ilmu secara intensif sejak masih sangat kecil. Saat ia tengah duduk di bangku Sekolah Dasar kelas 2 di SD Islamiyah Bangil, ayahnya memindahkannya ke Pondok yang baru dirintisnya itu. Waktu itu Habib Segaf baru berusia tujuh tahun, santri yang paling kecil, dan termasuk santri Habib Hasan Baharun generasi pertama.

Semenjak itu, ia harus hidup berpisah dengan orangtua, kecuali pada hari libur mingguan, yaitu setiap hari jum’at. Itupun terbatas sekali waktunya, dari pagi hari hingga waktu sholat Jum’at. Setelah itu ia harus masuk ke lingkungan pondok pesantren lagi, berkutat dengan pelajaran ilmu ilmu agama.

Sekalipun pondok itu adalah pondok milik ayahnya, jangan harap Habib Segaf, dan anak anak Habib Hasan lainnya, mendapatkan perlakuan istimewa. Tidak sedikitpun ada kebijakan, baik resmi maupun tidak, yang memperlakukan keluarga Habib Hasan menjadi berbeda dengan santri santri lainnya. Semua peraturan dan tugas tugas yang ditetapkan di pondok, dari mulai piket kamar, membersihkan kamar mandi, sampai pekerjaan pekerjaan ketertiban pondok lainnya, berlaku pula bagi Habib Segaf.

Sikap disiplin yang ditanamkan sang ayah tidak cukup sampai disitu. Terkadang, jika ada santri lain yang membantu pekerjaan piket yang ditugaskan kepada Habib Segaf, sang ayah akan sangat marah, baik kepada Habib Segaf sendiri maupun kepada santri yang membantunya itu. Ia juga akan marah bila dalam hal hal keseharian di pondok ada yang mengistimewakan Habib Segaf ataupun putra putra Habib Hasan lainnya.

Habib Hasan dengan tegas memberi hukuman bila ada santri yang melanggar aturan. Bahkan jika Habib Segaf sendiri yang kebetulan melakukan pelanggaran, hukumannya lebih keras. Sesungguhnya, itu semua dikarenakan Habib Hasan berharap agar para santri, terlebih lagi putra putranya sendiri, dapat semaksimal mungkin memanfaatkan waktu usia produktif yang masih mereka miliki.

Dalam kaitan itu, Habib Hasan mengatakan, “Sebagaimana para orangtua santri itu memiliki harapan besar terhadap anak anak mereka, harapan saya lebih besar lagi kepada anak anak saya. Sebab anak anak saya inilah yang kelak menggantikan saya.”

Disiplin keras yang diterapkan orangtuanya inilah yang menjadi kunci keberhasilan pendidikan dirinya dan juga saudara saudaranya yang lain. Saat ini pun, mereka semua mengikuti langkah orangtua mereka dalam berdakwah dan menyebarluaskan ilmu ilmu agama, terutama lewat media pondok pesantren yang ditinggalkan sang ayah.

Disamping berkat didikan sang ayah, keberhasilannya juga tak terlepas dari peran ibunda, Syarifah Khadijah binti Muhammad Al-Hinduan. Diantara teladan yang dicontohkan sang ibu adalah kebiasaan dalam membaca Al-Quran. Hampir setiap tengah malam Syarifah Khadijah Al-Hinduan selalu bangun dari mulai sekitar pukul dua dini hari untuk menunaikan sholat Tahajjud, kemudian ia membaca Al-Quran hingga terbit fajar.

Setelah sholat shubuh, ia kembali membaca kitab suci itu. Tidak cukup dengan hanya membaca Al-Quran, berbagai wirid pun dibacanya. Pembacaan wirid dan tilawah Al-Quran itu baru selesai dikerjakannya pada pukul delapan pagi. Sehingga, hampir dalam setiap tiga hari ibunda Habib Segaf mengkhatamkan Al-Quran. Selesai berdzikir, ia melanjutkannya dengan mengajar di Pondok Putri. Aktivitas harian Syarifah Khadijah Al-Hinduan itu telah menjadi teladan bagi Habib Segaf dan saudara-saudaranya.

Menuntut Ilmu di Tanah Suci
Al-Allamah Alhabib Salim bin Abdullah Asy-Syathiri
Setelah selesai menjalani pendidikan di pondok hingga tingkatan aliyah diniyah dan muadalahnya, Habib Segaf diperbantukan untuk ikut mengajar di pondok pesantren ayahnya. Ketika itu, di usia 17 tahun, ia sudah menulis karya pertamanya, buku yang berjudul Problematika Haid & Permasalahan Wanita.
Saat mengetahui besarnya minat dan semangat belajar Habib Segaf, terutama dalam ilmu fiqih, Habib Hasan memberangkatkannya ke kota Madinah untuk melanjutkan pendidikan. Di kota itu, ia masuk ke lembaga Rubath Al-Madinah, yang diasuh Al-Allamah Al-Habib Zain bin Ibrahim bin Smith.
Habib Zain bin Smith
Di kota suci itu ia juga menyempatkan diri menimba ilmu kepada seorang ulama besar lainnya, yaitu Al-Allamah Al-Habib Muhammad bin Abdullah Al-Hadar, yang tidak lain adalah mertua Habib Zain bin Smith. Saat Al-Allamah Alhabib Salim bin Abdullah Asy-Syathiri datang ke Madinah, yang terkadang tinggal hingga beberapa bulan lamanya, Habib Segaf juga sempat belajar kepadanya.

Selama empat tahun bermukim di kota Madinah, Habib Segaf juga berguru kep
ada Al-Allamah As-Sayyid Muhammad bin Alwi Al-Maliki bila ia berkesempatan pergi ke kota Mekkah. Ia sendiri bila berada di kota Mekkah selalu tinggal dikediaman Sayyid Muhammad Al-Maliki. Begitupun bilâ Sayyid Muhammad Al-Maliki berada di kota Madinah, ia segera dihubungi via telepon agar datang ke tempat dimana Sayyid Muhammad Al-Maliki berada.

Gigitan Al-Maliki

Sayyid Muhammad bin Alwi Al-Maliki memang memiliki kedekatan tersendiri dengan Habib Hasan Baharun, ayah Habib Segaf, sampai-sampai ia menganggap anak anak Habib Hasan Baharun seperti anaknya sendiri. Sehingga semua kebutuhan sehari hari Habib Segaf dan saudara saudaranya ditanggung olehnya.

Bersama Sayyid Muhammad Al-Maliki, Habib Segaf mendapat banyak pelajaran berharga dan penuh kesan hingga saat ini. Di antara yang ditanamkan oleh Al-Maliki kepadanya adalah sikap percaya diri saat tampil dimuka orang banyak. Terkadang pada sejumlah pertemuan yang dihadiri para tamu besar Al-Maliki, seperti menteri dari negara negara Arab, Al-Maliki menyuruhnya untuk menjadi imâm, sementara Al-Maliki sendiri dan sejumlah tamu besar yang hadir menjadi makmumnya.
http://dalwa-dakwah.blogspot.com/2015/03/profil-habib-segaf-bin-hasan-baharun.html
Suatu waktu, dikala menunaikan ibadah haji, dalam suatu majelis besar yang dihadiri sekitar lima ribu orang, ia datang terlambat. Tiba tiba Al-Maliki mengambil mikrofon dan menyebut namanya seraya menyampaikan salam kepadanya. Hal hal seperti itu dirasakan Habib Segaf sebagai dorongan mental yang luarbiasa hingga membesarkan hatinya dan membuat dirinya menjadi tidak minder untuk berhadapan dengan siapapun.

Saat Habib Segaf menemui Sayyid Muhammad Al-Maliki untuk berpamitan pulang ke tanah air, Al-Maliki memanggilnya seraya mengembangkan tangannya seperti orang yang hendak memeluknya. Maka segera ia menghampiri Al-Maliki dan memeluknya. Setelah saling berdekatan, tiba tiba Al-Maliki mengigit bibirnya hingga mengeluarkan darah. Atas kejadian itu, sang ayah, Habib Hasan Baharun, mengatakan, 

 “Dengan gigitan itu, insyâ Allâh, Abuya (panggilan akrab Al-Maliki-Red) akan memberikan sir-nya kepadamu, dan insyâ Allâh kamu akan menjadi seorang ahli khutbah.”

Benar saja, diantara putra putra Habib Hasan yang tengah mengasuh pondok peninggalannya saat ini, Habib Segaf lah yang paling sering didaulat untuk berceramah pada tiap kali diselenggarakannya acara acara keagamaan.


Mujahadah yang Terbesar



Habib Zain bin Smith, guru tempat Habib Segaf menimba ilmu selama empat tahun di Madinah, pernah memberikan pesan kepadanya, “Setelah kamu pulang nanti, tetaplah belajar kepada para guru. Jangan pernah kamu merasa cukup dengan ilmu yang kamu miliki. Karena yang namanya orang alim, semakin bertambah alim semakin merasa kurang ilmunya.”


Selain pesan dari sang guru, ia juga selalu teringat akan pesan ayahnya, “Selalulah belajar dari pengalaman orang lain, karena pengalaman itu sangat berharga dan mahal harganya.”

Sepulang dari menuntut ilmu di Tanah Suci, Habib Segaf meeneruskan pendidikan formal, hingga tahun 2006 ia berhasil meraih gelar sarjana.
Semangat yang ada pada dirinya dalam mengembangkan wawasan ilmu keagamaannya terus terjaga hingga sekarang. Saat ini, ia tengah berada dalam jenjang pendidikan pascasarjana untuk mengambil gelar S2 jurusan syariah.

Ditengah tengah kesibukannya mengasuh Pondok Dalwa Putri, bilâ tidak berbenturan waktunya dengan jadwal mengajar, ia aktif pula berceramah disekitar wilayah Jawa Timur ataupun diluar Jawa Timur, terutama saat pesantren sedang libur. Ia juga menjadi khatib tetap di Masjid Jami’ Bangil sekaligus mengasuh majelis pengajian rutin di masjid tersebut. Beberapa majelis asuhannya juga terdapat di daerah sekitar pondok pesantren.

Habib Segaf memang seorang pengajar yang lebih mendahulukan santri santrinya, yang telah dititipkan orangtua mereka kepadanya, dibanding hal hal lain. Menurutnya, jika telah berhasil menyelesaikan pelajaran di pondok dengan baik dan sudah pulang kembali ke rumah, merekalah yang menjadi ujung tombak dakwah ditempat mereka masing masing.
http://dalwa-dakwah.blogspot.com/2015/03/profil-habib-segaf-bin-hasan-baharun.html
Belajar dan mengajar adalah mujahadah yang khas dalam diri Habib Segaf, yang akan terus dijalani hingga akhir hayatnya. Ia kembali teringat pesan gurunya, Habib Zain bin Smith, “Selama kamu masih hidup, selama itu pula kamu harus tetap bermujahadah. Sampai kelak akhirnya kamu menghadapi mujahadah yang terbesar, yaitu meraih husnul khatimah.”
Kini, semua yang telah didapat dari para guru, juga dari kedua orangtuanya, diterapkan pula terhadap anak anaknya. Dalam rumah tangga, ia menerapkan pola yang dicontohkan oleh Habib Hasan Baharun, yaitu pola pendidikan berada diantara sifat keras dan lembut. Ia ingat, dulu ayahnya sering menghardik bahkan memukul dirinya. Tapi setelah dipukul, ia diiberi uang. Ternyata efek dari pola pendidikan semacam itu secara psikologis telah menimbulkan rasa takut sekaligus cinta kepada sang ayah.

Demikianlah sekilas perjalanan panjang seorang ulama muda nan produktif ini. Bagi Habib Segaf, semua apa yang telah dicapai dirinya dan saudara saudaranya saat ini, tak terlepas dari disiplin keras yang ditanamkan sang ayah dan teladan terbaik yang dicontohkan sang ibu. Sebagaimana yang dituturkannya kepada alKisah, Habib Segaf berharap bahwa ia dapat meniru teladan kedua orang tuanya, dalam hal ibadah maupun dalam hal mendidik anak anaknya.
***
Sumber: Majalah alKisah desember 2008

Baca : Biografi Habib Umar Bin Hafid 
Axact

Dalwa Dakwah

Dalwa Dakwah adalah situs yang dikelola oleh Santri Pondok Pesantren Darullughah Wadda’wah Bangil - Pasuruan. Dalwa Dakwah berusaha menyebarkan dakwah Islamiyyah Ahlu Sunah wal Jama'ah di jagad maya. .

Komentar:

0 comments: