Articles by "Akidah"
Showing posts with label Akidah. Show all posts
Dalwa Media Dakwah Online berbagi informasi islam,hukum islam,download aplikasi islam dll.
Pada prinsipnya setiap orang diperintahkan untuk berbuat baik. Karena setiap perbuatan akan diminta pertanggungan jawab di akhirat kelak. Sebuah kebaikan yang rutin atau wirid dalam arti yang luas, juga tidak akan lepas dari pemeriksaan (hisab). Apalagi perbuatan buruk atau perbuatan tidak baik, tentu hisab berlaku. Pemeriksaan juga berlaku untuk pendapatan dan belanja.

Dengan adanya pemeriksaan (hisab) di akhirat, masih juga banyak orang berani menerjang perbuatan yang dilarang. Apalagi kalau hisab ditiadakan? Banyak orang bisa jadi akan berbuat semaunya. Hanya kesepakatan, pengawasan, sanksi hukum positif, atau tingkat ketinggian peradaban yang bisa mencegah mereka. ini pun bersifat mungkin.

Habib Abdullah bin Husein bin Thohir Ba’alawi dalam Is’adur Rofiq-nya menyebutkan sejumlah orang yang bernasib baik tanpa hisab di akhirat,

فائدة: ورد في الأحاديث أن من ابتلى بذهاب بصره أو غيره من البلايا فصبر حتى يلقى الله، ومن مات بطريق مكة ذاهبا أو آيبا، وكل رحيم صبور، وطالب العلم، والمرأة المطيعة لزوجها، والبار بوالديه، والماشي في حاجة أخيه المسلم، ومن ربى صبيا يقول "لا إله إلا الله"، ومن مات ليلة الجمعة أو يومها، ومن بلي بمصيبة في بدنه أو ماله فصبر، ومن قرأ سورة القدر بعد وضوئه ثلاثا، ومن حفر بئرا بفلاة إيمانا واحتسابا، لا يحاسبون.

Pengumuman, tersebut di dalam banyak hadits bahwa orang-orang berikut ini insya Allah tidak akan dihisab di hari Qiyamat. Mereka adalah orang yang diuji dalam bentuk kehilangan penglihatan atau ujian lainnya lalu bersabar hingga wafat, orang yang wafat di tengah jalan baik menuju Mekkah maupun sepulangnya, setiap orang penyayang lagi penyabar, perempuan yang ta’at kepada suaminya, orang yang berbakti kepada orang tuanya, orang yang berjalan untuk membantu orang lain yang sedang memiliki hajat, orang yang mendidik anak kecil mengucap “La ilaha Illallah”, orang yang wafat siang atau malam Jum’at, orang yang kena musibah pada fisiknya atau hartanya lalu bersabar, orang yang membaca surat Al-Qodar sebanyak 3 kali usai berwudhu, dan orang yang membuat sumur di tanah lapang secara ikhlas untuk kepentingan umum.


Untuk itu, umat Islam selain keimanan dan kepatuhan pada rukun Islam perlu mendidik diri sendiri untuk bisa melakukan perbuatan-perbuatan baik seperti di atas. Kalau pun tetap dihisab karena kekurangan syarat di dalam perbuatan baik itu, maka setidaknya kita tetap berbuat baik. Kalau bernasib baik, wafat di siang atau malam Jum'at. Ini yang tidak bisa diusahakan. Ini bergantung semata pada nasib. Wallahu A’lam.
Dalwa Media Dakwah Online berbagi informasi islam,hukum islam,download aplikasi islam dll.
Allah SWT berfirman :

سُبْحَانَ الَّذِي أَسْرَى بِعَبْدِهِ لَيْلًا مِنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ إِلَى الْمَسْجِدِ الْأَقْصَى الَّذِي بَارَكْنَا حَوْلَهُ لِنُرِيَهُ مِنْ آيَاتِنَا إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ

“Maha suci Allah yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.” (QS Al Isra` : 1)

Mereka berkata

Dalam ayat di atas, Allah sama sekali tidak menyinggung masalah Mi`raj Nabi ke Sidratul Muntaha dan mencukupkan dengan kisah peristiwa Isra` dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha. Hal ini menimbulkan pertanyaan besar yang tak mudah untuk dijawab, “Apakah Mi`raj benar-benar terjadi?” Jika ya, mengapa peristiwa yang lebih mengesankan dari pada Isra ini tidak dicantumkan dalam ayat di atas.

Jika kita meneliti lebih dalam, kita akan menemukan banyak sekali keganjilan dalam riwayat-riwayat yang berkisah tentang Mi`raj. Seperti kisah Muhammad yang melihat Allah, atau melakukan proses Tawar-menawar jumlah Shalat atas nasihat Musa. Kisah-kisah seperti ini tidak diragukan lagi kedustaannya, sebab  mustahil Allah dapat dilihat oleh mata, dan mustahil Muhammad berani menawar apa yang telah diperintahkan Allah. Lagi pula perintah untuk mengerjakan shalat telah ada sebelum terjadinya Mi`raj. Ini tentu bertentangan dengan kisah Mi`raj yang menyatakan bahwa shalat baru diwajibkan ketika itu.

Kami Menjawab

Apakah Mi`raj benar-benar ada?
Menjadikan ayat di atas sebagai alasan untuk tidak mempercayai Mi`raj jelas merupakan tindakan yang terburu-buru. Dalam ayat di atas, Allah SWT memang hanya menyebut peristiwa Isra`. Tapi ini tidak berarti bahwa Mi`raj tidak terjadi. Banyak hadits-hadits shahih yang menceritakan masalah Mi`raj. Dalam ayat Al-Qur`an pun terdapat ayat yang menyiratkan tentang terjadinya Mi`raj, di antaranya ayat :

 “Dan sesungguhnya dia (Nabi Muhammad SAW) telah melihat Jibril itu (dalam rupanya yang asli) pada waktu yang lain di Sidratul Muntaha. Di dekat (Sidratul Muntaha) ada surga tempat tinggal. (Dia melihat Jibril) ketika Sidratul Muntaha diliputi oleh suatu selubung. Penglihatannya tidak berpaling dari yang dilihatnya itu dan tidak (pula) melampauinya. Sesungguhnya dia telah melihat sebahagian tanda-tanda (kekuasaan) Tuhannya yang paling besar.”(QS. An-Najm : 13-18)

Para ahli tafsir mengatakan bahwa penglihatan Rasulullah atas wujud asli Jibril yang disinggung ayat tersebut terjadi di Sidratul Muntaha ketika Nabi melakukan Mi`raj.(1)

Perhatikan potongan ayat di atas di dalam menceritakan penglihatan Rasulullah kepada Jibril  :

“(Dia melihat Jibril) ketika Sidratul Muntaha diliputi oleh suatu selubung.” (An Najm : 16)

Ini identik dengan cerita Rasulullah dalam hadits Muslim. Rasulullah bersabda ketika menceritakan Mi`raj :

ثُمَّ اِنْطَلَقَ بِي جِبْرِيْلُ حَتَّى نَأْتِيَ سِدْرَةَ اْلُمنْتَهَى فَغَشِيَهَا أَلْوَانُ لَا أَدْرِي مَاهِيَ

“Kemudian aku pergi dengan Jibril sehingga kami sampai ke Sidratul Muntaha yang diliputi oleh warna-warna yang tidak aku ketahui.” (HR Muslim) (2)

Hadits-hadits yang bercerita mengenai Mi`raj  sangat banyak dan memiliki banyak jalur pula (3). Seperti telah kita ketahui bahwa hadits merupakan sumber ajaran Islam kedua yang menafsiri dan melengkapi Al-Qur`an. Banyak ajaran Islam yang tidak disebutkan dalam Al-Qur`an tetapi disebutkan dalam hadits-hadits shahih. Mengabaikan hadits-hadits shahih yang telah diakui ulama adalah sama dengan mengabaikan perintah Allah SWT, karena dalam Al-Qur`an Allah berfirman :

“Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah.” (QS Al Hasyr : 7)

Oleh karena itu ulama ahlu sunnah sepakat mengenai terjadinya Mi`raj. Mereka hanya berbeda pendapat mengenai waktunya, apakah berbarengan dengan peristiwa Isra` atau terpisah. Tetapi jumhur ulama condong kepada pendapat pertama yang menyatakan bahwa Isra dan Mi`raj terjadi pada hari yang sama. (4)

Apakah Dalam Mi`raj Rasulullah melihat Allah SWT ?

Menurut pendapat yang benar, Rasulullah melakukan Isra dan Mi`raj dalam keadaan terjaga dengan ruh serta jasadnya bukan hanya dalam mimpi (5). Ini bukan sesuatu yang mustahil, karena setiap hari malaikat pun bisa naik dan turun dari langit dalam sekejap.

Lagi pula, jika peristiwa Isra dan Mi`raj hanyalah sebuah mimpi, maka tidak mungkin kaum kafir mendustakan Rasulullah atas mimpinya, sebab tidak ada yang tidak mungkin dalam mimpi sehingga perlu diingkari.

Ada pun mengenai masalah apakah Rasulullah saw melihat Allah, sejak masa sahabat hal ini memang telah menjadi perdebatan. Sayidah Aisyah menyatakan bahwa Rasulullah tidak melihat Allah SWT. Beliau pernah berkata :
مَنْ حَدَّثَكَ أَنَّ مُحَمَّدًا – صلى الله عليه وسلم – رَأَى رَبَّهُ فَقَدْ كَذَبَ . ثُمَّ قَرَأَتْ {لَا تُدْرِكُهُ الْأَبْصَارُ وَهُوَ يُدْرِكُ الْأَبْصَارَ وَهُوَ اللَّطِيفُ الْخَبِيرُ
“Siapa yang berkata padamu bahwa Muhammad saw melihat Tuhannya maka ia telah berdusta, lalu beliau membaca, “Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala yang kelihatan, dan Dialah Yang Maha Halus lagi Maha Mengetahui.” (HR Bukhari)(6)

Sedangkan Ibnu Abbas mengatakan bahwa Rasulullah melihat Allah SWT. Beliau juga meriwayatkan hadits yang menyatakan bahwa Rasulullah saw bersabda :
رَأَيْتُ رَبِّى تَبَارَكَ وَتَعَالَى
“Aku telah melihat Tuhanku yang Maha Suci dan Maha Tinggi.” (HR Ahmad) (7)

Sebagian ulama cenderung untuk mengikuti pendapat Ibnu Abbas karena memang dalam kaidah pengambilan dalil, pendapat yang menetapkan suatu perkara lebih dikedepankan dari pendapat yang meniadakannya. Dalam masalah ini, Ibnu Abbas menetapkan peristiwa melihatnya Rasulullah pada Allah, sebuah pernyataan yang tak mungkin diambil berdasarkan Ijtihad, sebab hal ini tidak bisa dijangkau akal. Sedangkan Sayidah Aisyah meniadakan penglihatan itu berdasarkan pemahamannya atas suatu ayat, bukan berdasarkan perkataan Rasulullah (8).

Maka tak heran jika banyak ulama yang mengedepankan pendapat Ibnu Abbas atas pendapat Sayidah Aisyah walau pun kedua pendapat ini sama-sama kuat.

Melihat Allah bukanlah hal yang mustahil. Ahlu Sunnah meyakini bahwa Allah dapat dilihat kelak di akhirat berdasarkan dalil :

“Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri. Kepada Tuhannyalah mereka melihat.” (QS Al Qiyamah : 22,23) (9)

Sebagian mereka juga berpendapat bahwa Allah dapat dilihat berdasarkan permintaan Musa untuk melihat-Nya di dunia yang  disebutkan dalam ayat :

“Dan tatkala Musa datang untuk (munajat dengan Kami) pada waktu yang telah Kami tentukan dan Tuhan telah berfirman (langsung) kepadanya, berkatalah Musa: “Ya Tuhanku, nampakkanlah (diri Engkau) kepadaku agar aku dapat melihat kepada Engkau”. Tuhan berfirman: “Kamu sekali-kali tidak sanggup melihat-Ku ….” (QS Al A`raf : 134)
Dalam ayat di atas Allah berfirman لَنْ تَرَانِي (Kamu sekali-kali tidak sanggup melihat-Ku) bukan لَنْ أُرَى (Aku tidak dapat dilihat). Ini berarti melihat Allah bukanlah hal mustahil. Lagi pula seorang Nabi tidak mungkin meminta sesuatu yang mustahil secara akal. Permintaan Musa untuk melihat Allah merupakan bukti bahwa Allah bisa dilihat, hanya saja Musa tidak diberi kekuatan untuk melihat-Nya (10).
Jika demikian, maka bukanlah suatu hal mustahil jika Rasulullah melihat Allah swt. Tentunya dengan penglihatan yang layak bagi keagungan Allah, tanpa menisbatkan arah, tempat dan tajsim. Di luar itu semua, masalah penglihatan ini bukan masalah yang prinsipil dalam aqidah. Kita tidak berdosa karena mempercayai salah satu dari keduanya. Oleh karena itu, tidak perlu terlalu dipermasalahkan.

Mengenai Keringanan Jumlah Shalat

Dalam hadits-hadits shahih diceritakan bahwa pada mulanya Allah mewajibkan Rasulullah dan umatnya untuk shalat 50 waktu. Kemudian atas anjuran Musa as, Rasulullah meminta keringanan kepada Allah beberapa kali sehingga shalat yang diwajibkan itu menjadi 5 waktu. Sebagian orang mempertanyakan hal ini, mengapa tidak sejak awal Allah memberi perintah untuk shalat lima waktu tetapi justru memerintahkan Rasulullah melakukan shalat 50 waktu. Padahal, pada akhirnya shalat yang difardhukan adalah lima waktu juga. Apakah Allah tidak tahu bahwa Rasulullah akan meminta keringanan ?

Sebenarnya jika Allah berkehendak, maka tak perlu ada Mi`raj untuk mewajibkan shalat lima waktu, dan tak perlu Rasulullah mendapat nasihat Musa bahwa perintah yang diembankan padanya terlalu berat untuk umatnya. Tetapi kehendak Allah tidak demikian. Allah lah yang menggerakkan Musa sehingga ia dapat berbicara untuk memberi saran kepada Muhammad. Bahkan pada hakikatnya Allah lah yang membolak-balikkan Muhammad agar ia dapat meminta keringanan bagi umatnya. Itu semua kehendak Allah dan kita tidak berhak untuk mempertanyakannya. Dalam Al-Quran Allah berfirman  :

 “Dia tidak ditanya tentang apa yang diperbuat-Nya dan merekalah yang akan ditanyai.” (QS Al Anbiya` 23)

Jika kita membuka pintu kenapa atas apa yang Dia kehendaki, maka tidak akan ada habis-habisnya pertanyaan kita. 
Kita juga bisa bertanya :

“Kenapa Rasulullah harus mengendarai buroq untuk melakukan Isra`?”

“Kenapa Allah tidak langsung menurunkan Adam ke bumi?” 

“Kenapa Allah tidak langsung menetapkan hukum keharaman minuman keras, tetapi dilakukan secara bertahap?“ 

“Kenapa Allah tidak langsung menjadikan Ka`bah sebagai kiblat, tetapi menjadikan Baitul Maqdis sebagai kiblat pertama?”

“Kenapa shalat harus lima waktu?” 

“Kenapa harus Muhammad yang menjadi Rasulullah? “  

Kenapa ..Kenapa…? 

Yang jelas semua yang dikehendaki Allah pastilah mengandung hikmah yang agung.

Peristiwa berulangnya Rasulullah menemui Allah untuk meminta keringanan bagi umatnya, menunjukkan dengan jelas kemurahan Allah dan sekaligus kasih sayang Rasulullah kepada umatnya. Dalam Al-Qur`an Rasulullah digambarkan sebagai figur penyayang. Allah SWT berfirman :

“Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin.” (QS At Taubah : 128)

Rasulullah rela berulang kali kembali ke hadirat Allah yang Maha Tinggi agar umatnya mendapat keringanan. Selain itu, bertemu dengan Allah merupakan puncak kedudukan yang bisa diraih seorang hamba. Dengan berulang kalinya Rasulullah kembali ke hadirat Allah, ini berarti berulang kali  pula Rasulullah mencapai puncak ini.

Sebagian ulama mengungkapkan rahasia lain di balik nasihat Musa agar Nabi kembali ke hadirat Allah beberapa kali. Nabi Musa yang ketika hidupnya tidak mendapatkan kesempatan untuk menyaksikan Allah, ketika melihat wajah Muhammad penuh dengan cahaya musyahadah setelah bertemu dengan Allah, merasa takjub dan ingin menyaksikan cahaya itu lebih cemerlang. Maka ia menasihati Nabi Saw untuk terus kembali kepada Allah agar cahayanya semakin nampak.  Meski dia tidak bisa melihat Allah, setidaknya dia bisa melihat orang yang pernah melihat Allah. Hal ini digambarkan secara tepat oleh Ibn Wafa :

وَالسِّرُّ فِي قَوْلِ مُوْسَى اِذْ يُرَدِّدُهُ # لِيَجْلِيَ النُّوْرُ فِيْهِ حَيْثُ يَشْهَدُهُ

“Rahasia di balik ucapan Musa ketika mengulang-ulangnya
agar nampak cahaya dalam dirinya ketika dia menyaksikannya.”

يَبْدُوْ سَنَاهُ عَلَى وَجْهِ الرَّسُوْلِ فَيَا # لِلهِ حُسْنٌ جَمَالٌ كَانَ يَشْهَدُهُ

“Nampaklah cahaya atas wajah Rasul
alangkah elok keindahan yang disaksikannya.” (11)

Pemberian saran Nabi Musa kepada Nabi Muhammad tidak bisa diartikan bahwa Musa lebih utama atau lebih cerdas dari Muhammad. Menerima saran dari seseorang yang memiliki pengalaman, bukan sebuah bentuk kerendahan dan bahkan merupakan keutamaan. Rasulullah sering bermusyawarah dengan sahabat-sahabatnya dan menerima saran-saran mereka, tetapi ini tidak berarti bahwa sahabat lebih utama dari Rasulullah.

Shalat sebelum Isra`

Memang benar kewajiban shalat lima waktu baru diterima oleh Rasulullah saw ketika Mi`raj. Tetapi ini bukan berarti sebelum peristiwa Isra Mi`raj tidak ada shalat sama sekali. Para ulama mengatakan bahwa sebelum malam Isra Mi`raj, kewajiban shalat itu sudah ada. Bahkan nabi-nabi sebelum Muhammad juga melakukan shalat. Nabi Ibrahim pernah berdoa :

“Ya Tuhanku, jadikanlah aku dan anak-cucuku orang-orang yang tetap mendirikan shalat. Ya Tuhan kami, perkenankanlah doaku.” (QS Ibrahim : 40)

Dalam ayat lain Nabi Isa berkata :

“Dan Dia menjadikan aku seorang yang diberkati di mana saja aku berada, dan Dia memerintahkan kepadaku (mendirikan) shalat dan (menunaikan) zakat selama aku hidup.” (QS Maryam : 31)

Masih banyak dalil-dalil yang menunjukkan bahwa shalat itu memang dikenal sebelum terjadinya Isra’. Kewajiban shalat itu memang sudah ada sebelum terjadinya Mi`raj. Hanya saja ketika itu shalat yang wajib bukanlah shalat lima waktu tetapi shalat dua kali sehari, yaitu dua rakaat sebelum terbitnya matahari dan dua rakaat sebelum terbenamnya matahari. Allah SWT berfirman :

“Maka bersabarlah kamu terhadap apa yang mereka katakan dan bertasbihlah sambil memuji Tuhanmu sebelum terbit matahari dan sebelum terbenamnya.” (QS Qaf : 39)

Al Imam Ibnu Katsir menerangkan bahwa yang dimaksud dengan tasbih di sini adalah shalat, dan ayat ini menjelaskan mengenai kewajiban shalat sebelum Isra. Khusus kepada Rasulullah, beliau diwajibkan untuk melakukan shalat malam(12) . 

Bahkan sebelum Mi`raj, Rasulullah melakukan shalat dua rakaat bersama para Nabi. Sebagian ulama mengatakan itu adalah shalat tahiyat masjid, sebagian lagi mengatakan itu salah satu shalat yang diwajibkan bagi beliau.(13)


Kini kita dapat mengerti bahwa shalat yang diwajibkan ketika Isra adalah shalat lima waktu yang kita kenal sampai sekarang. Shalat lima waktu adalah kekhususan umat Muhammad yang diwajibkan pada peristiwa Mi`raj. Sebelumnya para nabi memang melakukan shalat, tetapi bukan shalat lima waktu seperti yang kita kenal sekarang.

Referensi :

  (1)تفسير الجلالين (10/  296)
{ عِندَ سِدْرَةِ المنتهى } لما أسري به في السموات وهي شجرة نبق عن يمين العرش لا يتجاوزها أحد من الملائكة وغيرهم .

تفسير ابن كثير (7/  451(
وقوله: { وَلَقَدْ رَآهُ نزلَةً أُخْرَى عِنْدَ سِدْرَةِ الْمُنْتَهَى عِنْدَهَا جَنَّةُ الْمَأْوَى } ، هذه هي المرة الثانية التي رأى رسول الله صلى الله عليه وسلم فيها جبريل على صورته التي خلقه الله عليها، وكانت ليلة الإسراء.

(2)صحيح مسلم (1/  102)
433 – وَحَدَّثَنِى حَرْمَلَةُ بْنُ يَحْيَى التُّجِيبِىُّ أَخْبَرَنَا ابْنُ وَهْبٍ قَالَ أَخْبَرَنِى يُونُسُ عَنِ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ كَانَ أَبُو ذَرٍّ يُحَدِّثُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « فُرِجَ سَقْفُ بَيْتِى وَأَنَا بِمَكَّةَ فَنَزَلَ جِبْرِيلُ -صلى الله عليه وسلم- فَفَرَجَ صَدْرِى ثُمَّ غَسَلَهُ مِنْ مَاءِ زَمْزَمَ ثُمَّ جَاءَ بِطَسْتٍ مِنْ ذَهَبٍ مُمْتَلِئٍ حِكْمَةً وَإِيمَانًا فَأَفْرَغَهَا فِى صَدْرِى ثُمَّ أَطْبَقَهُ ثُمَّ أَخَذَ بِيَدِى فَعَرَجَ بِى إِلَى السَّمَاءِ فَلَمَّا جِئْنَا السَّمَاءَ الدُّنْيَا قَالَ جِبْرِيلُ – عَلَيْهِ السَّلاَمُ – لِخَازِنِ السَّمَاءِ الدُّنْيَا افْتَحْ. قَالَ مَنْ هَذَا قَالَ هَذَا جِبْرِيلُ. قَالَ هَلْ مَعَكَ أَحَدٌ قَالَ نَعَمْ مَعِىَ مُحَمَّدٌ -صلى الله عليه وسلم-. قَالَ فَأُرْسِلَ إِلَيْهِ قَالَ نَعَمْ فَفَتَحَ – قَالَ – فَلَمَّا عَلَوْنَا السَّمَاءَ الدُّنْيَا فَإِذَا رَجُلٌ عَنْ يَمِينِهِ أَسْوِدَةٌ وَعَنْ يَسَارِهِ أَسْوِدَةٌ – قَالَ – فَإِذَا نَظَرَ قِبَلَ يَمِينِهِ ضَحِكَ وَإِذَا نَظَرَ قِبَلَ شِمَالِهِ بَكَى – قَالَ – فَقَالَ مَرْحَبًا بِالنَّبِىِّ الصَّالِحِ وَالاِبْنِ الصَّالِحِ – قَالَ – قُلْتُ يَا جِبْرِيلُ مَنْ هَذَا قَالَ هَذَا آدَمُ -صلى الله عليه وسلم- وَهَذِهِ الأَسْوِدَةُ عَنْ يَمِينِهِ وَعَنْ شِمَالِهِ نَسَمُ بَنِيهِ فَأَهْلُ الْيَمِينِ أَهْلُ الْجَنَّةِ وَالأَسْوِدَةُ الَّتِى عَنْ شِمَالِهِ أَهْلُ النَّارِ فَإِذَا نَظَرَ قِبَلَ يَمِينِهِ ضَحِكَ وَإِذَا نَظَرَ قِبَلَ شِمَالِهِ بَكَى – قَالَ – ثُمَّ عَرَجَ بِى جِبْرِيلُ حَتَّى أَتَى السَّمَاءَ الثَّانِيَةَ . فَقَالَ لِخَازِنِهَا افْتَحْ – قَالَ – فَقَالَ لَهُ خَازِنُهَا مِثْلَ مَا قَالَ خَازِنُ السَّمَاءِ الدُّنْيَا فَفَتَحَ ». فَقَالَ أَنَسُ بْنُ مَالِكٍ فَذَكَرَ أَنَّهُ وَجَدَ فِى السَّمَوَاتِ آدَمَ وَإِدْرِيسَ وَعِيسَى وَمُوسَى وَإِبْرَاهِيمَ – صَلَوَاتُ اللَّهِ عَلَيْهِمْ أَجْمَعِينَ – وَلَمْ يُثْبِتْ كَيْفَ مَنَازِلُهُمْ غَيْرَ أَنَّهُ ذَكَرَ أَنَّهُ قَدْ وَجَدَ آدَمَ – عَلَيْهِ السَّلاَمُ – فِى السَّمَاءِ الدُّنْيَا وَإِبْرَاهِيمَ فِى السَّمَاءِ السَّادِسَةِ. قَالَ « فَلَمَّا مَرَّ جِبْرِيلُ وَرَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- بِإِدْرِيسَ – صَلَوَاتُ اللَّهِ عَلَيْهِ – قَالَ مَرْحَبًا بِالنَّبِىِّ الصَّالِحِ وَالأَخِ الصَّالِحِ – قَالَ – ثُمَّ مَرَّ فَقُلْتُ مَنْ هَذَا فَقَالَ هَذَا إِدْرِيسُ – قَالَ – ثُمَّ مَرَرْتُ بِمُوسَى – عَلَيْهِ السَّلاَمُ – فَقَالَ مَرْحَبًا بِالنَّبِىِّ الصَّالِحِ وَالأَخِ الصَّالِحِ – قَالَ – قُلْتُ مَنْ هَذَا قَالَ هَذَا مُوسَى – قَالَ – ثُمَّ مَرَرْتُ بِعِيسَى فَقَالَ مَرْحَبًا بِالنَّبِىِّ الصَّالِحِ وَالأَخِ الصَّالِحِ. قُلْتُ مَنْ هَذَا قَالَ عِيسَى ابْنُ مَرْيَمَ – قَالَ – ثُمَّ مَرَرْتُ بِإِبْرَاهِيمَ – عَلَيْهِ السَّلاَمُ – فَقَالَ مَرْحَبًا بِالنَّبِىِّ الصَّالِحِ وَالاِبْنِ الصَّالِحِ – قَالَ – قُلْتُ مَنْ هَذَا قَالَ هَذَا إِبْرَاهِيمُ ». قَالَ ابْنُ شِهَابٍ وَأَخْبَرَنِى ابْنُ حَزْمٍ أَنَّ ابْنَ عَبَّاسٍ وَأَبَا حَبَّةَ الأَنْصَارِىَّ كَانَا يَقُولاَنِ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « ثُمَّ عَرَجَ بِى حَتَّى ظَهَرْتُ لِمُسْتَوًى أَسْمَعُ فِيهِ صَرِيفَ الأَقْلاَمِ ». قَالَ ابْنُ حَزْمٍ وَ أَنَسُ بْنُ مَالِكٍ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « فَفَرَضَ اللَّهُ عَلَى أُمَّتِى خَمْسِينَ صَلاَةً – قَالَ – فَرَجَعْتُ بِذَلِكَ حَتَّى أَمُرَّ بِمُوسَى فَقَالَ مُوسَى عَلَيْهِ السَّلاَمُ مَاذَا فَرَضَ رَبُّكَ عَلَى أُمَّتِكَ – قَالَ – قُلْتُ فَرَضَ عَلَيْهِمْ خَمْسِينَ صَلاَةً. قَالَ لِى مُوسَى عَلَيْهِ السَّلاَمُ فَرَاجِعْ رَبَّكَ فَإِنَّ أُمَّتَكَ لاَ تُطِيقُ ذَلِكَ – قَالَ – فَرَاجَعْتُ رَبِّى فَوَضَعَ شَطْرَهَا – قَالَ – فَرَجَعْتُ إِلَى مُوسَى – عَلَيْهِ السَّلاَمُ – فَأَخْبَرْتُهُ قَالَ رَاجِعْ رَبَّكَ فَإِنَّ أُمَّتَكَ لاَ تُطِيقُ ذَلِكَ – قَالَ – فَرَاجَعْتُ رَبِّى فَقَالَ هِىَ خَمْسٌ وَهْىَ خَمْسُونَ لاَ يُبَدَّلُ الْقَوْلُ لَدَىَّ – قَالَ – فَرَجَعْتُ إِلَى مُوسَى فَقَالَ رَاجِعْ رَبَّكَ. فَقُلْتُ قَدِ اسْتَحْيَيْتُ مِنْ رَبِّى – قَالَ – ثُمَّ انْطَلَقَ بِى جِبْرِيلُ حَتَّى نَأْتِىَ سِدْرَةَ الْمُنْتَهَى فَغَشِيَهَا أَلْوَانٌ لاَ أَدْرِى مَا هِىَ  قَالَ – ثُمَّ أُدْخِلْتُ الْجَنَّةَ فَإِذَا فِيهَا جَنَابِذُ اللُّؤْلُؤِ وَإِذَا تُرَابُهَا الْمِسْكُ

 (3)جامع الأحاديث (14/  432)
14667- فرج سقف بيتى وأنا بمكة فنزل جبريل ففرج صدرى ثم غسله بماء زمزم ثم جاء بطست من ذهب ممتلئ حكمة وإيمانا فأفرغها فى صدرى ثم أطبقه ثم أخذ بيدى فعرج بى إلى السماء الدنيا فلما جئنا إلى السماء الدنيا قال جبريل لخازن السماء افتح قال من هذا قال هذا جبريل قال هل معك أحد قال نعم معى محمد قال فأرسل إليه قال نعم فافتح فلما علونا السماء الدنيا فإذا رجل عن يمينه أسودة وعن يساره أسودة فإذا نظر قبل يمينه ضحك وإذا نظر قبل شماله بكى فقال مرحبا بالنبى الصالح والابن الصالح قلت يا جبريل من هذا قال هذا آدم وهذه الأسودة عن يمينه وعن شماله نسم بنيه فأهل اليمين أهل الجنة والأسودة التى عن شماله أهل النار فإذا نظر قبل يمينه ضحك وإذا نظر قبل شماله بكى  ثم عرج بى جبريل حتى أتى السماء الثانية فقال لخازنها افتح فقال له خازنها مثل ما قال خازن السماء الدنيا ففتح فلما مررت بإدريس قال مرحبا بالنبى الصالح والأخ الصالح قلت من هذا قال هذا إدريس ثم مررت بموسى فقال مرحبا بالنبى الصالح والأخ الصالح فقلت من هذا قال موسى ثم مررت بعيسى فقال مرحبا بالنبى الصالح والأخ الصالح قلت من هذا قال عيسى ابن مريم ثم مررت بإبراهيم فقال مرحبا بالنبى الصالح والابن الصالح قلت من هذا قال هذا إبراهيم ثم عرج بى حتى ظهرت لمستوى أسمع فيه صريف الأقلام ففرض الله على أمتى خمسين صلاة فرجعت بذلك حتى مررت على موسى فقال موسى ماذا فرض ربك على أمتك قلت فرض عليهم خمسين صلاة قال لى موسى فراجع ربك فإن أمتك لا تطيق ذلك فراجعت ربى فوضع شطرها فرجعت إلى موسى فأخبرته فقال راجع ربك فإن أمتك لا تطيق ذلك فراجعت ربى فقال هى خمس وهى خمسون لا يبدل القول لدى فرجعت إلى موسى فقال راجع ربك فقلت قد استحييت من ربى ثم انطلق بى جبريل حتى انتهى بى إلى سدرة المنتهى فغشيها ألوان لا أدرى ما هى ثم أدخلت الجنة فإذا فيها جنابذ اللؤلؤ وإذا ترابها المسك (البخارى ، ومسلم ، وابن حبان عن أنس عن أبى ذر إلا قوله ثم عرج بى حتى ظهرت لمستوى أسمع فيه صريف الأقلام فإنه عن ابن عباس وأبى حبة البدرى . عبد الله بن أحمد فى زوائده ، وأبو يعلى ، والضياء عن أنس عن أبى بن كعب قال الحافظ ابن حجر : وهو وهم والصواب عن أبى ذر فسقطت لفظة ذر ثم صحف أبى بأُبى قاله أبو حاتم وغيره )أخرجه البخارى (3/1217 ، رقم 3164) ، ومسلم (1/148 ، رقم 163) ، وابن حبان (16/419 ، رقم 7406) . وأخرجه أيضًا : أبو عوانة (1/118 ، رقم 354) ، والنسائى فى الكبرى (1/140 ، رقم 314) ، وأبو يعلى (6/297 ، رقم 3616) ، وابن منده فى الإيمان (2/720 ، رقم 714) . حديث أبى بن كعب : أخرجه عبد الله بن أحمد فى زوائده (5/143 ، رقم 21326) قال الهيثمى (1/66) : رجاله رجال الصحيح . وأبو يعلى (6/295 ، رقم 3614) ، والضياء (3/332 ، رقم 1127 ، ورقم 1128) وقال : إسناده صحيح .

 (4) العقيدة الطحاوية (ص: 29(
والمعراج حق وقد أسرى بالنبي صلى الله عليه و سلم وعرج بشخصه في اليقظة إلى السماء ثم إلى حيث شاء الله من العلا وأكرمه الله بما شاء وأوحى إليه ما أوحى ( ما كذب الفؤاد ما رأى ) ف صلى الله عليه و سلم في الآخرة والأولى .

فتح الباري لابن حجر (11/  213)
، وَقَدْ اِخْتَلَفَ السَّلَف بِحَسَبِ اِخْتِلَاف الْأَخْبَار الْوَارِدَة فَمِنْهُمْ مَنْ ذَهَبَ إِلَى أَنَّ الْإِسْرَاء وَالْمِعْرَاج وَقَعَا فِي لَيْلَة وَاحِدَة فِي الْيَقَظَة بِجَسَدِ النَّبِيّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَرُوحه بَعْد الْمَبْعَث ، وَإِلَى هَذَا ذَهَبَ الْجُمْهُور مِنْ عُلَمَاء الْمُحَدِّثِينَ وَالْفُقَهَاء وَالْمُتَكَلِّمِينَ وَتَوَارَدَتْ عَلَيْهِ ظَوَاهِر الْأَخْبَار الصَّحِيحَة ، وَلَا يَنْبَغِي الْعُدُول عَنْ ذَلِكَ إِذْ لَيْسَ فِي الْعَقْل مَا يُحِيلهُ حَتَّى يَحْتَاج إِلَى تَأْوِيل ، نَعَمْ جَاءَ فِي بَعْض الْأَخْبَار مَا يُخَالِف بَعْض ذَلِكَ ، فَجَنَحَ لِأَجْلِ ذَلِكَ بَعْض أَهْل الْعِلْم مِنْهُمْ إِلَى أَنَّ ذَلِكَ كُلّه وَقَعَ مَرَّتَيْنِ مَرَّة فِي الْمَنَام تَوْطِئَة وَتَمْهِيدًا ، وَمَرَّة ثَانِيَة فِي الْيَقَظَة كَمَا وَقَعَ نَظِير ذَلِكَ فِي اِبْتِدَاء مَجِيء الْمَلَك بِالْوَحْيِ ، ……

 (5)مرقاة المفاتيح شرح مشكاة المصابيح (17/  73)
العروج هو الذهاب في صعود قال تعالى تعرج الملائكة والروح المعارج والمعراج بالكسر شبه السلم مفعال من العروج بمعنى الصعود فكأنه آلة له وقيل بل هو آلة وفرق بينه وبين الإسراء كما بينته في رسالتي المسماة بالمدراج للمعراج وإنما سميت ليلة المعراج لصعود النبي فيها إلى السماء وفي شرح السنة قال القاضي عياض اختلف الناس في الإسراء برسول الله فقيل إنما كان جميع ذلك في المنام والحق الذي عليه أكثر الناس ومعظم السلف وعامة المتأخرين من الفقهاء والمحدثين والمتكلمين أنه أسري بجسده فمن طالعها وبحث عنها فلا يعدل عن ظاهرها إلا بدليل ولا استحالة في حملها عليه فيحتاج إلى تأويل وقيل ذلك قبل أن يوحى إليه وهو غلط لم يوافق عليه فإن الإسراء أقل ما قيل فيه أنه كان بعد مبعثه بخمسة عشر شهرا..
تفسير ابن كثير (3/  33)
والحق أنه عليه السلام أسري به يقظة لا مناما من مكة إلى بيت المقدس راكبا البراق فلما انتهى إلى باب المسجد ربط الدابة عند الباب ودخله فصلى في قبلته تحية المسجد ركعتين ثم أتى بالمعراج وهو كالسلم ذو درج يرقى فيها فصعد فيه إلى السماء الدنيا ثم إلى بقية السموات السبع فتلقاه من كل سماء مقربوها وسلم على الأنبياء الذين في السموات بحسب منازلهم ودرجاتهم…

 (6) صحيح البخاري (6/  2687)
6945 – حدثنا محمد بن يوسف حدثنا سفيان عن إسماعيل عن الشعبي عن مسروق عن عائشة رضي الله عنها قالت  : من حدثك أن محمدا صلى الله عليه و سلم رأى ربه فقد كذب وهو يقول { لا تدركه الأبصار } . ومن حدثك أنه يعلم الغيب فقد كذب وهو يقول ( لا يعلم الغيب إلا الله )

 (7) مسند أحمد (6/  212 )
2686- حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ حَدَّثَنِى أَبِى حَدَّثَنَا عَفَّانُ حَدَّثَنَا عَبْدُ الصَّمَدِ بْنُ كَيْسَانَ حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ سَلَمَةَ عَنْ قَتَادَةَ عَنْ عِكْرِمَةَ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « رَأَيْتُ رَبِّى تَبَارَكَ وَتَعَالَى »

 (8)تفسير الخازن (6/  1(
قال الشيخ محيي الدين : وأما صاحب التحرير فإنه اختار إثبات الرؤية . قال : والحجج في المسألة وإن كانت كثيرة ولكن لا تتمسك إلا بالأقوى منها وهو حديث ابن عباس : « أتعجبون أن تكون الخلة لإبراهيم والكلام لموسى والرؤية لمحمد صلى الله عليه وسلم وعليهم أجمعين » وعن عكرمة قال : سئل ابن عباس هل رأى محمد صلى الله عليه وسلم ربه؟ قال : نعم . وقد روي بإسناد لا بأس به عن شعبة عن قتادة عن أنس قال : رأى محمد ربه عز وجل وكان الحسن يحلف لقد رأى محمد صلى الله عليه وسلم ربه عز وجل . والأصل في المسألة حديث ابن عباس حبر هذه الأمة وعالمها والمرجوع إليه في المعضلات وقد راجعه ابن عمر في هذه المسألة وراسله هل رأى محمد صلى الله عليه وسلم ربه عز وجل فأخبره أنه رآه ولا يقدح في هذا حديث عائشة لأن عائشة لم تخبر أنها سمعت النبي صلى الله عليه وسلم يقول : لم أر ربي وإنما ذكرت ما ذكرت متأولة لقول الله تعالى { وما كان لبشر أن يكلمه الله إلا وحياً أو من وراء حجاب أو يرسل رسولاً } ولقوله { لا تدركه الأبصار }والصحابي إذا قال قولاً وخالفه غيره منهم لم يكن قوله حجة وإذا قد صحت الروايات عن ابن عباس أنه تكلم في هذه المسألة بإثبات الرؤية وجب المصير إلى إثباتها لأنها ليست مما يدرك بالعقل ويؤخذ بالظن وإنما يتلقى بالسمع ولا يتسجيز أحد أن يظن بابن عباس أنه تكلم في هذه المسألة بالظن والاجتهاد وقد قال معمر بن راشد حين ذكر اختلاف عائشة وابن عباس ما عائشة عندنا بأعلم من ابن عباس ثم إن ابن عباس أثبت ما نفاه غيره والمثبت مقدم على النفي هذا كلام صاحب التحرير في إثبات الرؤية

 الشفا بتعريف حقوق المصطفى (1/  195)
(فصل) وأما رؤيته صلى الله عليه وسلم لربه جل وعز فاختلف السلف فيها فأنكرته عائشة رضى الله عنها * حدثنا أبو الحسين سراج ابن عبد الملك الحافظ بقراءتي عليه قال حدثنى أبى وأبو عبد الله بن عتاب الفقيه قالا حدثنا القاضى يونس بن مغيث حدثنا أبو الفضل الصقيلى حدثنا ثابت بن قاسم بن ثابت عن أبيه وجده قالا حدثنا عبد الله بن على حدثنا محمود بن آدم حدثنا وكيع عن ابن أبى خالد عن عامر عن مسروق أنه قال لعائشة رضى الله عنها يا أم المؤمنين هل رأى محمد ربه فقالت لقد قف شعرى مما قلت ثلاث من حدثك بهن فقد كذب من حدثك أن محمدا رأى ربه فقد كذب ثم قرأت (لا تدركه الأبصار) الآية وذكر الحديث وقال جماعة بقول عائشة رضى الله عنها وهو المشهور عن ابن مسعود ومثله عن أبى هريرة أنه قال إنما   (1/  196) رأى جبريل واختلف عنه. وقال بإنكار هذا وامتناع رؤيته في الدنيا جماعة من المحدثين والفقهاء والمتكلمين  وعن ابن عباس رضى الله عنهما أنه رآه بعينه وروى عطاء عنه أنه رآه بقلبه وعن أبى العالية عنه رآه بفؤاده مرتين وذكر ابن إسحاق أن ابن عمر أرسل إلى ابن عباس رضى الله عنهما يسأله هل رأى محمد ربه فقال نعم والأشهر عنه أنه رأى ربه بعينه روى ذلك عنه من طرق وقال إن الله تعالى اختص موسى بالكلام وإبراهيم بالخلة ومحمدا بالرؤية وحجته قوله تعالى (ما كذب الفؤاد ما رأى أفتمارونه على ما يرى ولقد رآه نزلة أخرى) قال الماوردى قيل إن الله تعالى قسم كلامه ورؤيته بين موسى ومحمد صلى الله عليهما وسلم فرآه محمد مرتين وكلمه موسى مرتين *
وحكى أبو الفتح الرازي وأبو الليث السمرقندى الحكاية عن كعب وروى عبد الله بن الحارث قال اجتمع ابن عباس وكعب فقال ابن عباس أما نحن بنو هاشم فنقول إن محمدا قد رأى ربه مرتين فكبر كعب حتى جاوبته الجبال وقال إن الله قسم رؤيته وكلامه بين محمد وموسى فكلمه موسى ورآه محمد بقلبه وروى شريك عن أبى ذر رضى الله عنه في تفسير الآية قال رأى النبي صلى الله عليه وسلم ربه * وحكى السمرقندى عن  محمد بن كعب القرظى وربيع بن انس أن النبي صلى الله عليه وسلم سئل هل رأيت ربك قال رأيته بفؤادي ولم أره بعينى وروى مالك ابن يخامر عن معاذ عن النبي صلى الله عليه وسلم قال رأيت ربى وذكر كلمة فقال يا محمد فيم يختصم الملأ الأعلى الحديث * وحكى عبد الرزاق أن الحسن كان يحلف بالله لقد رأى محمد ربه وحكاه أبو عمر الطلمنكى عن عكرمة * وحكى بعض المتكلمين هذا المذهب عن ابن مسعود * وحكى ابن إسحاق أن مروان سأل أبا هريرة هل رأى محمد ربه فقال نعم * وحكى النقاش عن أحمد بن حنبل أنه قال أنا أقول بحديث ابن عباس بعينه: رآه رآه حتى انقطع نفسه يعنى نفس أحمد وقال أبو عمر قال أحمد بن حنبل رآه بقلبه وجبن عن القول برؤيته في الدنيا بالأبصار وقال سعيد بن جبير لا أقول رآه ولا لم يره وقد اختلف في تأويل الآية عن ابن عباس وعكرمة والحسن وابن مسعود فحكى عن ابن عباس وعكرمة رآه بقلبه وعن الحسن وابن مسعود رأى جبريل وحكى عبد الله بن أحمد بن حنبل عن أبيه أنه قال رآه وعن ابن عطاء في قوله تعالى (ألم نشرح لك صدرك) قال شرح صدره للرؤية وشرح صدر موسى للكلام وقال أبو الحسن على بن إسماعيل الأشعري رضى الله عنه وجماعة من أصحابه أنه رأى الله تعالى ببصره وعيسى رأسه وقال كل آية أوتيها نبى من الأنبياء عليهم السلام فقد أوتى مثلها نبينا صلى الله عليه وسلم وخص من بينهم بتفضيل الرؤية ووقف بعض مشايخنا في هذا وقال ليس عليه دليل واضح ولكنه جائز أن يكون.

 (9)تفسير البغوي (3/  173)
 ذَلِكُمُ اللَّهُ رَبُّكُمْ لا إِلَهَ إِلا هُوَ خَالِقُ كُلِّ شَيْءٍ فَاعْبُدُوهُ } فأطيعوه، { وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ وَكِيلٌ } بالحفظ له وبالتدبير فيه، { لا تُدْرِكُهُ الأبْصَارُ وَهُوَ يُدْرِكُ الأبْصَارَ } الآية، يتمسك أهل الاعتزال بظاهر هذه الآية في نفي رؤية الله عز وجل عيانا. ومذهب أهل السنة: إثبات رؤية الله عز وجل عيانا جاء به القرآن والسنة، قال الله تعالى: “وجوه يومئذ ناضرة إلى ربها ناظرة”،(القيامة، 23)، وقال: “كلا إنهم عن ربهم يومئذ لمحجوبون”

 (10)الشفا بتعريف حقوق المصطفى (1/  198)
قال القاضى أبو الفضل وفقه الله والحق الذى لا امتراء فيه أن رؤيته تعالى في الدنيا جائزة عقلا وليس في العقل ما يحيلها والدليل على جوازها في الدنيا سؤال موسى عليه السلام لها ومحال أن يجهل نبى ما يجوز على الله وما لا يجوز عليه بل لم يسأل إلا جائزا غير مستحيل ولكن وقوعه ومشاهداته من الغيب الذى لا يعلمه إلا من علمه الله فقال له الله تعالى (لن تراني) أي لن تطيق ولا تحتمل رؤيتي ثم ضرب له مثلا مما هو أقوى من بنية موسى وأثبت وهو الجبل وكل هذا ليس فيه ما يحيل رؤيته في الدنيا بل فيه جوازها على الجملة وليس في الشرع دليل قاطع على استحالتها ولا امتناعها إذ كل موجود فرؤيته جائزة غير مستحيلة ولا حجة لمن استدل على منعها بقوله تعالى (لا تدركه الأبصار) لاختلاف التأويلات في الآية ......

 (11)تفسير الصاوي (ج 2 – ص 419)
والحكمة في أن موسى اختص بالمراجعة دون غيره من الأنبياء أن أمته كلفت من الصلوات بما لم يكلف به غيرها فثقلت عليهم فرفق موسى بأمة محمد صلى الله عليه وسلم لكونه طلب أن يكون منها, وأيضا فقد طلب موسى الرؤية فلم ينلها ومحمد نالها من غير طلب, فأحب مراجعته وتردده ليزداد من نور الرؤية فينقبس موسى من تلك الانوار ليكون رائيا من رأى , قال إبن الفارض :
أبق لي مقلة لعلي يوما *** قبل موتي أرى بها من رآك
وفي هذا المعنى قال ابن الوفا :
والسر في قول موسى إذ ردده *** لينجلي النور فيها حيث يشهده
يبدو سناه على وجه الرسول فينا *** لله حسن جمال كان يشهده

 (12)تفسير ابن كثير (7/  409)
وقوله: { فَاصْبِرْ عَلَى مَا يَقُولُونَ } يعني: المكذبين، اصبر عليهم واهجرهم هجرًا جميلا { وَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ قَبْلَ طُلُوعِ الشَّمْسِ وَقَبْلَ الْغُرُوبِ ، وكانت الصلاة المفروضة قبل الإسراء ثنتين قبل طلوع الشمس في وقت الفجر، وقبل الغروب في وقت العصر، وقيام الليل كان واجبًا على النبي صلى الله عليه وسلموعلى أمته حولا ثم نسخ في حق الأمة وجوبه. ثم بعد ذلك نسخ الله ذلك كله ليلة الإسراء بخمس صلوات، ولكن منهن (2) صلاة الصبح والعصر، فهما قبل طلوع الشمس وقبل الغروب. وقد قال الإمام أحمد: حدثنا وكيع، حدثنا إسماعيل بن أبي خالد، عن قيس بن أبي حازم (3) ، عن جرير بن عبد الله قال: كنا جلوسا عند النبي صلى الله عليه وسلم فنظر إلى القمر ليلة البدر فقال: “أما إنكم ستعرضون على ربكم فترونه كما ترون هذا القمر، لا تضامون فيه، فإن استطعتم ألا تغلبوا على صلاة قبل طلوع الشمس وقبل غروبها، فافعلوا” ثم قرأ: { وَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ قَبْلَ طُلُوعِ الشَّمْسِ وَقَبْلَ الْغُرُوبِ }

فتح الباري لابن حجر (2/  45)
ذَهَبَ جَمَاعَة إِلَى أَنَّهُ لَمْ يَكُنْ قَبْل الْإِسْرَاء صَلَاة مَفْرُوضَة إِلَّا مَا كَانَ وَقَعَ الْأَمْر بِهِ مِنْ صَلَاة اللَّيْل مِنْ غَيْر تَحْدِيد ، وَذَهَبَ الْحَرْبِيُّ إِلَى أَنَّ الصَّلَاة كَانَتْ مَفْرُوضَة رَكْعَتَيْنِ بِالْغَدَاةِ وَرَكْعَتَيْنِ بِالْعَشِيِّ ، وَذَكَرَ الشَّافِعِيّ عَنْ بَعْض أَهْل الْعِلْم أَنَّ صَلَاة اللَّيْل كَانَتْ مَفْرُوضَة ثُمَّ نُسِخَتْ بِقَوْلِهِ تَعَالَى ( فَاقْرَءُوا مَا تَيَسَّرَ مِنْهُ ) فَصَارَ الْفَرْض قِيَام بَعْض اللَّيْل ، ثُمَّ نُسِخَ ذَلِكَ بِالصَّلَوَاتِ الْخَمْس . وَاسْتَنْكَرَ مُحَمَّدُ بْنُ نَصْرٍ الْمَرْوَزِيُّ ذَلِكَ وَقَالَ : الْآيَة تَدُلّ عَلَى أَنَّ قَوْله تَعَالَى ( فَاقْرَءُوا مَا تَيَسَّرَ مِنْهُ ) إِنَّمَا نَزَلَ بِالْمَدِينَةِ لِقَوْلِهِ تَعَالَى فِيهَا ( وَآخَرُونَ يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ ) وَالْقِتَال إِنَّمَا وَقَعَ بِالْمَدِينَةِ لَا بِمَكَّة ، وَالْإِسْرَاء كَانَ بِمَكَّة قَبْل ذَلِكَ ، ا ه . وَمَا اِسْتَدَلَّ بِهِ غَيْر وَاضِح ؛ لِأَنَّ قَوْله تَعَالَى ( عَلِمَ أَنْ سَيَكُونُ ) ظَاهِر فِي الِاسْتِقْبَال ، فَكَأَنَّهُ سُبْحَانه وَتَعَالَى اِمْتَنَّ عَلَيْهِمْ بِتَعْجِيلِ التَّخْفِيف قَبْل وُجُود الْمَشَقَّة الَّتِي عَلِمَ أَنَّهَا سَتَقَعُ لَهُمْ ، وَاللَّهُ أَعْلَم .

فتح الباري لابن حجر (2/  45)
ذَهَبَ جَمَاعَة إِلَى أَنَّهُ لَمْ يَكُنْ قَبْل الْإِسْرَاء صَلَاة مَفْرُوضَة إِلَّا مَا كَانَ وَقَعَ الْأَمْر بِهِ مِنْ صَلَاة اللَّيْل مِنْ غَيْر تَحْدِيد ، وَذَهَبَ الْحَرْبِيُّ إِلَى أَنَّ الصَّلَاة كَانَتْ مَفْرُوضَة رَكْعَتَيْنِ بِالْغَدَاةِ وَرَكْعَتَيْنِ بِالْعَشِيِّ ، وَذَكَرَ الشَّافِعِيّ عَنْ بَعْض أَهْل الْعِلْم أَنَّ صَلَاة اللَّيْل كَانَتْ مَفْرُوضَة ثُمَّ نُسِخَتْ بِقَوْلِهِ تَعَالَى ( فَاقْرَءُوا مَا تَيَسَّرَ مِنْهُ ) فَصَارَ الْفَرْض قِيَام بَعْض اللَّيْل ، ثُمَّ نُسِخَ ذَلِكَ بِالصَّلَوَاتِ الْخَمْس . وَاسْتَنْكَرَ مُحَمَّدُ بْنُ نَصْرٍ الْمَرْوَزِيُّ ذَلِكَ وَقَالَ : الْآيَة تَدُلّ عَلَى أَنَّ قَوْله تَعَالَى ( فَاقْرَءُوا مَا تَيَسَّرَ مِنْهُ ) إِنَّمَا نَزَلَ بِالْمَدِينَةِ لِقَوْلِهِ تَعَالَى فِيهَا ( وَآخَرُونَ يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ ) وَالْقِتَال إِنَّمَا وَقَعَ بِالْمَدِينَةِ لَا بِمَكَّة ، وَالْإِسْرَاء كَانَ بِمَكَّة قَبْل ذَلِكَ ، ا ه . وَمَا اِسْتَدَلَّ بِهِ غَيْر وَاضِح ؛ لِأَنَّ قَوْله تَعَالَى ( عَلِمَ أَنْ سَيَكُونُ ) ظَاهِر فِي الِاسْتِقْبَال ، فَكَأَنَّهُ سُبْحَانه وَتَعَالَى اِمْتَنَّ عَلَيْهِمْ بِتَعْجِيلِ التَّخْفِيف قَبْل وُجُود الْمَشَقَّة الَّتِي عَلِمَ أَنَّهَا سَتَقَعُ لَهُمْ ، وَاللَّهُ أَعْلَم .

  (13)تفسير ابن كثير (3/  33)
والحق أنه عليه السلام أسري به يقظة لا مناما من مكة إلى بيت المقدس راكبا البراق فلما انتهى إلى باب المسجد ربط الدابة عند الباب ودخله فصلى في قبلته تحية المسجد ركعتين ثم أتى بالمعراج وهو كالسلم ذو درج يرقى فيها فصعد فيه إلى السماء

 حاشية البجيرمي على الخطيب (3/  339)
كَانَتْ شَهْرًا فِي السَّنَةِ فِي غَارِ حِرَاءَ بِالْمَدِّ يَتَفَكَّرُ فِي آلَاءِ اللَّهِ تَعَالَى وَيُكْرِمُ مَنْ يَمُرُّ عَلَيْهِ مِنْ الضِّيفَانِ ، ثُمَّ بَعْدَ الْبَعْثَةِ كَانَ عَلَيْهِ رَكْعَتَانِ بِالْغَدَاةِ وَرَكْعَتَانِ بِالْعَشِيِّ كَمَا قِيلَ : وَلَمْ يَثْبُتْ مَا كَانَ يَقْرَؤُهُ فِيهِمَا وَالرَّكْعَتَانِ اللَّتَانِ صَلَّاهُمَا بِالْأَنْبِيَاءِ فِي بَيْتِ الْمَقْدِسِ كَانَتَا مِمَّا عَلَيْهِ وَلَمْ يَثْبُتْ مَا قَرَأَهُ فِيهِمَا ، ثُمَّ رَأَيْت فِي نُزْهَةِ الْقُرَّاءِ أَنَّهُ قَرَأَ فِيهِمَا سُورَةَ الْإِخْلَاصِ . ا هـ .بِرْمَاوِيٌّ