A. Sejarah Awal dan Perkembangannya
Pondok Pesantren Raudlatul Ulum II didirikan pada tahun Peletakan batu pertama pembangunan pesantren ini dihadiri oleh para ulama dan beberapa unsur tokoh masyarakat. Dari para ulama antara lain adalah KH Yahya Syabrawi, KH Zainulloh Bukhori, KH Fudloli Bukhori, KH Abu Abbas Bukhori dan KH Ismail Bukhori. Sedangkan dari kalangan masyarakat hadir H Mahmuji, sebagai seorang waqifdari lahan pesantren yang akan dibangun. Ia menyumbangkan tanah untuk kepentingan pembangunan gedung pesantren seluas 1 hektar yang terletak sebelah timur Masjid Jamik desa Putukrejo.
Pembangunan gedung pesantren yang perdana ini menghabiskan waktu kurang lebih sekitar empat bulan. Saat peletakan pertama itulah nama pesantren ini diberikan langsung oleh kiai Yahya Syabrawi. ”Pondok ini, kamu beri nama Raudlatul Ulum II !”, demikian pesan pengasuh pertama pondok pesantren Raudlatul Ulum I Ganjaran itu kepada KH Qosim Bukhori sebagai pendiri dan pengasuh pertama, sebagaimana diceritakan oleh kiai Qosim Bukhori sendiri. “Saya ketika itu, sementara memang tidak berfikir tentang nama,” kata beliau.
Pada masa pembangunan ini, pondok pesantren yang juga dikenal dengan sebutan nama RU II itu telah memiliki jumlah santri yang cukup lumayan banyak, yaitu kurang lebih 60 santri. Karena memang, sebelum pembangunan gedung pesantren dimulai, kiai Qosim Bukhori telah menerima santri sekitar 45 orang yang berasal dari desa Putukrejo sendiri untuk dididik oleh beliau. Pendidikan awal yang kemudian menjadi cikal bakal berdirinya pondok pesantren RU II tersebut ditempatkan di rumah pertama beliau yang berada di sebelah utara gedung sekolah. Pengajaran yang ditangani langsung oleh beliau sendiri itu hanya meliputi pengajian Alqur’an dan dasar-dasar fikih.
Grafik santri yang terus menanjak, memaksa kiai Qosim Bukhori harus mengadakan rehabilitasi gedung pesantren RU II pada tahun 1984. Karena perkembangan jumlah santri pada tahun itu terus bertambah, membuat kamar hunian tidak lagi dapat menampung anak santri yang mencapai angka 150 orang. Tercatat sebagai salah satu santri pada angkatan ini adalah kiai Shiddiq dari Nelopo Bantur. Sedangkan rehabilitasi gedung pesantren tersebut dihadiri oleh Sayid Alwi Al-Idrus (seorang tokoh dari kalangan habaib dari kota Malang) dan para ulama dan tokoh masyarakat.
Beridiri dan perkembangan pesantren ini tentu saja direstui oleh segenap tokoh masyarakat desa Putukrejo, terutama Bapak H Mahmuji, sebagai seorang waqif dan penyandang dana pertama pembangunan gedung pesantren RU II. Pada tahun 2003, mantan Kepala Desa Putukrejo tersebut menambah waqof-nya kepada pesantren RU II berupa tanah persawahan seluas 2 hektar.
Semenjak tersedianya pesantren ini, KH Qosim Bukhori dalam hal pendidikan dibantu oleh Bapak Mudhoffar Cholipah M.Ag, seorang guru di madrasah Raudlatul Ulum Ganjaran. Bentuk pendidikan pada masa-masa awal itu hanya berupa pengajian bandongan kitab kuning yang baca oleh kiai Qosim Bukhori sendiri dan Bapak Mudhoffar. Menurut Bapak Mudhoffar, kiai Qosim Bukhori ketika itu membaca kitab Alfiyah, kitab yang berisi seribu nadzoman dalam masalah nahwu dan shorof, Fath al-Mu’in, sebuah kitab standar pesantren tentang fiqh ubudiyah dan muamalah. Sementara Bapak Mudhoffar sendiri ketika itu membaca kitab Al-Jurumiyah, sebuah risalah kecil pegangan santri pemula untuk mengenal ilmu nahwu.”Bahkan ketika itu saya sempat pamit pada KH Qoffal Syabrawi untuk mengajarkan kitab kecil Al-Jurumiyah kepada teman-taman santri di pondoknya kiai Qosim Bukhori. Kiai Qoffal itu memberi nasihat kepada saya bahwa harus hati-hati mengajarkan kitab Jurumiyah. Kitab semacam itu tidak mudah. Itulah kalau kiai zaman dahulu saking hati-hatinya, kitab yang selama ini kita anggap kecil tidak boleh dipandang remeh,” kisah Bapak kelahiran desa Putukrejo yang kini menetap di desa Panggungrejo itu.
Menerima Santri Putri
Untuk menerima santri putri di pesantren RU II ini diakui memang agak terpaut jauh dibanding santri putra. Karena pada saat itu, ibu Nyai Zainab masih belum mau menerima santri putri, meski pada kenyataanya sudah ada wali santri yang ingin menitipkan anak putrinya kepada ibu Nyai. Alasan yang dikemukakan oleh ibu Nyai bahwa beliau merasa belum mampu menjaga santri putri. Jadi biar cukup santri putra saja. Walaupun sudah didesak oleh semua pihak dilingkungan pesantren RU II, termasuk oleh para guru, tetapi ibu Nyai tetap bergeming. Menurut Bapak Ali Abd Aziz, ibu Nyai akhirnya luluh juga lantaran ketika itu kiai Qosim Bukhori mengatakan, “kamu akan menanggung dosa, karena menolak orang tua yang ingin anaknya belajar agama.” Sejak saat itulah ibu Nyai mau menerima santri putri untuk dididik ilmu agama.
Pada awalnya santri putri yang berminat mondok masih terhitung beberapa orang. Oleh karena jumlah santri putri hanya sedikit, maka oleh kiai Qosim Bukhori ditempatkan di kamar yang berada di ndalem beliau yang lama bagian belakang dekat ruang dapur, meskipun sebetulnya dibelakang ruang dapur itu ada bangunan gudang untuk tempat penyimpanan gula milik abah Mahmuji. Sedangkan disebelah barat ruang dapur itu terdapat tempat garasi mobil dan kamar mandi. Menurut Ning Ulfa, salah satu putri kiai Qosim Bukhori, pada suatu hari datang Habib Mohammad dari desa Ganjaran atau yang lebih dikenal dengan panggilan Habib Mo’ ke ndalem kiai Qosim Bukhori. Orang yang sering berkelakuan nyeleneh dan dianggap wali oleh masyarakat itu kemudian mengambil air dengan menggunakan timba dari kamar mandi dekat ruang daour tersebut dan menyiramkan ke seluruh ruang garasi dan gudang dibelakang dapur itu. “Hal ini mungkin isyarat dari Habib Mo’ bahwa dikemudian hari kelak di tempat yang disiram itu akan menjadi suci,” cerita Ning Ulfa. Betul saja, ruangan yang asalnya garasi mobil akhirnya menjadi musholla putri dan gudang di belakang ruang dapur kemudian menjelma kamar-kamar tempat hunian para santri putri.
Rintangan dan Ketabahan
Sebagaimana lazimnya sejarah sebuah pondok pesantren di tanah air ini yang mesti menemui berbagai macam rintangan dan tantangan diawal berdirinya, pesantren RU II juga tak luput dari beragam cobaan dan ujian, baik yang bersifat teror mental maupun fisik.
Cobaan yang mendera kiai Qosim mulai dirasakan ketika mendirikan pesantren dan mengajarkan kitab kuning kepada beberapa santrinya. Mula-mula keberadaan kiai Qosim ini sering dicemo’oh oleh sebagian masyarakat sekitar pesantren dan bahkan oleh segelintir orang yang dianggap tokoh masyarakat. Menurut merekan ini, terlalu kemajon kiai Qosim yang kemudian mendirikan pesantren padahal di mata mereka keberadaan beliau di desa Putukrejo dinilai pendatang baru. Menurut kisah para santri senior di pesantren RU II, sering ada pengajian di musholla atau bahkan di masjid yang isinya bukan materi kitab yang dibaca, melainkan kalimat-kalimat yang cendrung memojokkan kiai Qosim Bukhori.
Bukan itu saja bentuk rintangan yang dialami oleh beliau, menurut
cerita ibu Nyai Zainab, pernah pada suatu hari kiai Qosim Bukhori menerima surat yang isinya mempersoalkan tentang keberadaan beliau yang menurut penilaian penulis surat itu sebagai orang baru di desa Putukrejo jangan banyak bertingkah dengan mendirikan sebuah pesantren. Untungnya, lanjut ibu Nyai, surat itu tidak langsung diterima oleh kiai Qosim, tetapi ibu Nyai sendiri yang menerima dan membukanya. Maka spontan surat itu di sobek di depan orang yang mengantarkannya dan ibu Nyai berkata :”Katakan pada penulis surat ini, kalau mau menyampaikan apa-apa jangan lewat surat begini, tapi datang saja sendiri ke sini !” Herannya, menurut ibu Nyai Zainab, meski sudah disampaikan ada surat isinya demikian, raut wajah kiai Qosim Bukhori tidak tanpa ada perubahan apa-apa dan beliau hanya bilang, “ya, nggak apa-apa. Lha wonghanya begitu saja.”
Masih kisah dari ibu Nyai, pernah suatu waktu kiai yang memiliki 5 putra ini menerima surat yang isinya hampir senada dengan yang disebut, tetapi pengirimnya berbeda. Namun apa tindakan beliau setelah menerima surat semacam itu, ternyata beliau hanya mengembalikan surat tersebut lewat pembawanya dengan menyelipkan uang di dalam amplopnya. Beliau hanya berkomentar, “mungkin orang itu sedang butuh duit.”
Rintangan yang dihadapi tidak saja menimpa kiai Qosim Bukhori secara pribadi, tetapi juga para santri sering menerima dan mengalami semacam teror fisik. Menurut Bapak Mahdlori, salah satu alumni RU II, salah satunya ialah dengan adanya pelemparan batu terhadap pesantren. Sehingga membuat atap genteng pesantren banyak yang pecah, gara-gara dilempari oleh orang-orang kampung ketika itu. “Pelemparan batu itu sering dilakukan. Dan bahkan kadang dilakukan pada siang hari,” ungkap Bapak Mahdlori yang juga termasuk staf pengajar di sekolah RU II itu. Lebih parah lagi, menurut ibu Entik Janti, salah seorang staf pengajar di sekolah RU II asal Pacitan Tuban, pernah sekolah ini dilempari kotoran.
Tidak hanya teror semacam itu, bahkan lebih parah dari kejadian terebut pernah para santri dikirimi surat yang isinya sebuah ajakan dari sebagian pemuda kampung untuk carok (berkelahi dengan menggunakan senjata tajam). Menurut Bapak Mahdlori, menerima tantangan sedemikian ini nyali para santri tidak malah surut, justru tanpa rasa takut dan khawatir mereka menerima tantangan ini. Dalam benak mereka ajakan seperti itu merupakan pelecehan yang akan merendahkan martabat santri yang selama ini selalu dimusuhi, maka apabila anak kampung dengan ajakan ini tidak dilayani malah akan membuat wibawa santri semakin terpuruk dan ditertawakan.
Untuk menghadapi anak kampung, para santri kemudian melakukan persiapan-prsiapan. Sebagian dari mereka ada yang mencari pinjaman senjata tajam, ada yang mencari doa-doa ijazah kemana-mana. Menurut Bapak Mahdlori, ada yang yang ke KH Turmudzi, seorang yang dipandang memiliki ilmu kekuatan batin dari desa Bulupitu, ada yang ke para kiai di desa Ganjaran. Tetapi semua apa yang dilakukan oleh para santri itu, tentu saja tanpa sepengetahuan kiai Qosim Bukhori.
Sehingga pada waktu dan hari yang sudah ditentukan, para santri mulai keluar dari lingkungan pesantren menuju lapangan dekat sekolah SD, tempat yang sudah ditentukan. Tetapi kepergian para santri tersebut dengan cara sembunyi-sembunyi dan tidak rombongan, karena khawatir diketahui oleh kiai Qosim. Sesampainya di tempat tersebut, para santri yang datang dengan persiapan matang hanya menemui dua orang anak kampung. Itupun, keduanya dalam keadaan merasa ketakutan.
Sebetulnya peristiwa perkelahian antara para santri dengan anak kampung terjadi dua kali. Kejadian yang kedua ini penyebabnya tidak jauh berbeda dengan kejadian yang pertama, hanya saja untuk yang kali ini tidak melibatkan banyak santri. Santri yang terlibat kali ini ialah Muhdlor Munir, seorang santri asal Jati Roto Jember, dan Sayuti, seorang santri dari Ombul Sampang Madura. Kedua orang ini memang dikenal sebagai santri keras, nekat dan pemberani. Merasa sakit hati dan kesal atas perlakuan anak kampung yang selalu mengejek para santri dan merendahkan pesantren, akhirnya keduanya menerima tantangan anak kampung. Dalam cara yang sama dengan kejadian sebelumnya, keduanya kemudian mendatangi mereka pada waktu dan tempat yang sudah ditentukan. Tetapi, lagi-lagi keduanya tidak menemukan seorang di tempat itu, sehingga akhirnya pulang tanpa ada kejadian. Namun sialnya, apa yang keduanya lakukan ini didengar oleh kiai Qosim. Akhirnya, kiai yang dikenal penyabar ini memanggil keduanya dan memukulinya dengan kayu.”Kamu ingin membuat aku malu ya ?” gertak beliau dengan raut wajah yang sangat marah.
Meskipun kiai Qosim Bukhori didera dengan berbagai cobaan sedemikian berat, tetapi tidak tampak dari beliau tanda-tanda kemarahan, dan kekesalan. Justeru rintangan yang menimpa dirinya, beliau hadapi dengan tingkat kesabaran yang cukup tinggi tanpa rasa dendam sedikitpun. Hal ini terlihat tatkala salah satu dari orang kampung yang tergolong pihak yang tidak menyukai keberadaan beliau meninggal dunia, beliau dengan rela menjenguk dan men-sholatinya sebagaimana biasa.
Bahkan pernah KH Fudloli Bukhori, kakak beliau, memberitahukan bahwa adiknya itu di caci-maki orang, tetapi dengan tetap tenang beliau mendengar dan menerima kabar tersebut. Melihat kesabaran ini, sang kakak kemudian menjadi heran, “kenapa kamu ini ? di caci-maki orang tetapi tetap tabah,” tanya kiai Fudloli Bukhori. “Saya ingat bagaimana kesengsaraan Rosululloh dalam memperjuangkan Islam. Apa yang menimpa saya nggak ada apa-apanya dibandingkan Rosululloh,” jawab kiai Qosim Bukhori.
Maka tidak heran, memperhatikan kesabaran dan ketabahan kiai Qosim Bukhori, menurut ibu Nyai Zainab, almarhum KH Nur Hamidi, pengasuh pesantren Nurul Irsyad II dan juga kakak KH Junaidi Putukrejo, pernah berkata, “kiai Qosim itu besok akan menjadi ulama besar, karena diapa-apakan orang lain beliau tetap sabar.”
Membuka Sekolah Formal
Karena untuk mengantisipasi kecendrungan masyarakat yang berkeinginan agar putra-putrinya menjadi orang yang tidak saja faham ilmu agama, tetapi juga memiliki keterampilan dan kepandaian terhadap ilmu umum, maka pada 1 Juli 1983 di pondok pesantren RU II dibuka pendidikan sekolah SMP (Sekolah Menengah Pertama). Proses pendidikan sekolah itu sendiri pada masa awal pembukaannya boleh dikata masih dalam kondisi darurat, karena ketika itu ruangan pendidikan belum dimiliki. Oleh sebab itulah sekolah SMP tersebut ditempatkan di ruang musholla pesantren.
Ide pembuatan ruangan sekolah ini sebetulnya sudah muncul, tetapi sejak awal biaya pendirian pesantren pada waktu itu masih banyak bergantung kepada abah Mahmuji, selaku satu-satuwaqif lahan pesantren, maka kiai Qosim Bukhori menjadikan Bapak Said Abd Aziz dari Ganjaran sebagai pelantara untuk mengusulkan agar dilingkungan pesantren di bangun gedung sekolah SMP yang selama ini menempati musholla pesantren. Menurut cerita Bapak Ali Abd Aziz, seorang guru dari desa Ganjaran yang selalu membantu kiai Qosim Bukhori sejak masa-masa merintis pesantren, akhirnya Bapak Said melakukan lobi kepada abah Manmuji atas perintah kiai Qosim Bukhori memohon dana pembangunan gedung sekolah. Tetapi pada awalnya abah Mahmuji masih agak meragukan masa depan sekolah tersebut dan mengatakan, “kok mau bangun gedung, lha wong muridnya saja belum ada”. Tetapi keraguan tersebut dijawab oleh Bapak Said, “kita buat dulu sangkarnya, baru cari burungnya”. Dengan jawaban tersebut, akhirnya abah Mahmuji mengiyakan pembangunan gedung sekolah SMP RU yang berlokasi di sebelah utara dari musholla pesantren putra atau tepatnya berada pada posisi belakang ndalam kiai Qosim Bukhori.
Pembukaan pendidikan SMP itu dilakukan dengan sangat sederhana sekali. Hanya dihadiri oleh beberapa guru, diantaranya Bapak Ali Abd Aziz, Bapak Dahlan dari desa Urek-Urek, Bapak Jamal AM dari desa Ketawang, para murid dan KH Fudloli Bukhori dari Ganjaran yang memberikan mau’idzoh al-hasanah dan pengarahan kepada segenap guru dan murid sekaligus membuka pendidikan sekolah tersebut. Siswa SMP RU angkatan pertama berjumlah 60 orang siswa.
Sementara pada saat upacara pembukaan pengajaran perdana sekolah SMP berlangsung, kiai Qosim Bukhori sendiri sedang melakukan perjalanan ke pulau Madura selama tiga hari. Menurut Bapak Ali Abd Aziz, keberangkatan kiai Qosim Bukhori ke pulau garam itu ada kemungkinan berkaitan dengan situasi hubungan antara pesantren dengan sebagian orang kampung sekitar lokasi pondok pesantren ketika itu dalam kondisi keruh. “Sehingga beliau pergi ke Madura itu, mungkin untuk mohon doa restu ke beberapa ulama di sana, sekaligus melakukan tawassul ke berbagai makam-makam para wali yang dianggap kramat,” demikian kata Bapak Ali Abd Aziz yang juga kakak dari Bapak Said itu.
Sebagai upaya untuk merekrut siswa baru, maka selama tiga tahun sejak dibukanya SMP, segala macam pembayaran digratiskan, kecuali dana yang peruntukkan buat ujian saja. Di samping itu, pihak sekolah mencoba melakukan usaha pendekatan dan menjalin hubungan dengan sekolah-sekolah lain agar mau mengarahkan siswanya melanjutkan pendidikan ke SMP Raudlatul Ulum II. Menurut Bapak Ali Abd Aziz, ikhtiar lain menarik siswa yang dikembangkan ialah dengan menyebarkan seruan dan ajakan dari kiai Qosim Bukhori ke berbagai sekolah dan para alumni santri dari pondok pesantren Ganjaran. ”Seruan itu berupa tulisan tangan langsung dari beliau yang isinya mengajak kepada semua pihak sekolah dan para teman-teman alumni santri dari Ganjaran yang ada pelosok-pelosok desa supaya menitipkan dan menyekolahkan putra-putrinya ke pondok pesantren Raudlatul Ulum II. Tulisan itu cuma sedikit kok !” kata Bapak Ali Abd Aziz. Malah menurut alumni pondok pesantren Lirboyo Kediri itu, ia sendiri ikut serta menyebarkan seruan dari kiai Qosim Bukhori tersebut ke daerah-daerah pegunungan bila masa liburan pesantren telah tiba. Hal itu dilakukan hingga berhari-hari sampai harus rela menginap di daerah tujuan demi untuk menjelaskan prihal yang berhubungan kondisi pesantren RU II dan mengharapkan anak-anak mereka dititipkan kesana.
Baru pada tahun 1985 pihak sekolah SMP menerima anak putri. Menurut ibu Masruroh Abd Aziz dari Ganjaran, sebagai siswi yang terbilang angkatan pertama antara lain Rohmatul Aliyah, adik ibu Masruroh sendiri, Qudsyiyah dari Banyuwangi dan Khofiyah dari Jember.
Pada akhir tahun itu pula, menurut Bapak Jamal AM, SMP RU berhasil meluluskan siswanya 100 % dari jumlah 45 siswa yang mengikuti EBTANAS. Kemudian setelah keberhasilan dalam hal kelulusan, pada tahun 1986 SMP RU mengupayakan pengajuan akreditasi sekolah. Dan ternyata usaha tersebut tidak sia-sia, SMP RU berhasil memperoleh status Diakui dan berhak menyelenggarakan ujian negara sendiri.
DAFTAR DEWAN GURU SMP RU
PADA MASA-MASA AWAL
|
NAMA
|
ALAMAT
|
JABATAN
|
Bpak Drs H Isma’il Fathulloh
|
Boro Panggungrejo Gondanglegi
|
Kepala Sekolah
|
Bpk Jamal AM
|
Tulung Agung
|
Wakil Kepala Sekolah
|
Bpk Daroini
|
Wlingi Blitar
|
TU
|
Bpk Ali Wafa Aziz
|
Ganjaran Gondanglegi
|
Guru
|
Bpk Said Aziz
|
Ganjaran Gondanglegi
|
Guru
|
Bpk Aini
|
Jombang
|
Guru
|
Bpk Jalil
|
Putukrejo Gondanglegi
|
Guru
|
Bpk Bambang
|
Kepanjen Malang
|
Guru
|
Bpk Munir
|
Jombang
|
Guru
|
Bpk Abdurahman
|
Ketawang Gondanglegi
|
Guru
|
Bpk Fauzan
|
Semarang Jawa Tengah
|
Guru
|
Sumber : Bpk Jamal AM
|
Di samping ada SMP RU pada pagi harinya, para santri diharuskan mengikuti Sekolah Diniyah pada sore hari. Pendidikan diniyah pada awalnya dimulai pada jam 15 : 00 wib, kemudian diselingi istirahat untuk sholat ashar, dan masuk kembali seusai sholat selama satu jam. Sesuai dengan namanya, mata pelajaranya pun hanya terbatas pada pendalaman ilmu agama yang difokuskan pada pelajaran ilmu alat membaca kitab kuning (ilmu nahwu dan shorof), sedikit ditambah ilmu fiqh. Menurut Bapak Ali Abd Aziz, metode pengajaran diniyah pada saat itu mengadopsi metode pengajaran yang diterapkan oleh pesantren Lirboyo Kediri. Hal ini sangat memungkin sekali, kerena guru ketika itu mayoritas terdiri dari alumni pesantren terbesar di kota Kediri itu. Sebut saja misalnya, Bapak Ali Abd Aziz sendiri, Bapak Muhyiddin dari desa Panggungrejo.
Pada tahun 1984 pendidikan formal di lingkungan pesantren RU II ditambah dengan membuka SMA (Sekolah Menengah Atas) yang karena peraturan Departemen Diknas, maka kemudian hari berubah berganti nama menjadi SMU (Sekolah Menengah Umum). Sebagai sekolah lanjutan dari SMP yang sudah dibuka terlebih dahulu, maka tentu saja siswa yang duduk pertama kali di kelas ini terdiri dari siswa SMP. Kepala Sekolah pertama dijabat oleh Bapak Imam Bukhori dari desa Gading Gondanglegi hingga tahun 1986.
Pada tahun 1986 sampai tahun 1990 jabatan Kepala Sekolah SMU RU dipercayakan kepada Bapak Jauhari BCHK dari Karangasem Gondanglegi. Pada renggang waktu itu, sekolah ini belum nampak ada kemajuan berarti, terutama dalam masalah administrasi yang belum tertata rapi dan guru yang sering sekali gonti-ganti personil. Hal ini dapat dipahami, karena umur SMU ketika itu masih sangat muda sekali, sehingga pengalaman kebanyakan dewan guru belum cukup luas. Oleh karenanya, status sekolah ini hanya tercatatpada tahun 1988 dan terdaftar pada tahun 1989.
Baru pada tahun 1991 SMU RU memperlihatkan kemajuan yang pesat tatkala jabatan Kepala Sekolah berada di pundak Bapak Drs Istajib dari daerah Kediri. Dalam kurun waktu 1991 sampai tahun 2001 di mana Pak Is (begitu Bapak Istajib biasa dipanggil) menjabat sebagai Kepala Sekolah sampai dua kali, kemajuan SMU RU sangat terasa sekali terutama ketika status sekolah yang mulanya hanyaterdaftar kemudian berhasil meningkat menjadi diakui setelah pengajuan agreditasi diupayakan oleh Bapak Istajib. Menurut Bapak Romsih Umar SH dari Ganjaran kemajuan pada masa itu tidak saja pada keberhasilan usaha peningkatan status sekolah, tetapi tampak pada peminat terhadap pendidikan yang ada dalam lingkungan RU II membludak datang dari mana-mana. Mulai dari daerah Malang sendiri, hingga dari kota Kediri, daerah Jawa Tengah, Brebes dan lain-lain.
Membanjirnya santri dari berbagai tempat itu, menurut keterangan Pak Is, ada beberapa faktor yang melatarbelakangi keberhasilan tersebut. Antara lain, 1) di dalam pondok pesantren RU II diadakan promosi besar-besaran tentang kondisi pendidikan pesantren RU II kepada masyarakat. Promosi ini dilakukan dengan cara, antara lain mengirim para guru dan santri berbakat ke berbagai daerah yang menjadi tempat pengembangan Bazis (Badan Amil Zakat, Infaq dan Shodaqoh) yang diketuai oleh KH Qosim Bukhori. Pengiriman para guru dan santri berbakat ini tentu saja cukup menyentuh hati para penduduk desa setempat, karena disamping jalinan silaturahim antar para guru dan warga bisa merekat, para santri berbakat juga mampu menampilkan acara-acara yang dapat menarik perhatian mereka. 2) Mayoritas para guru ketika itu bertempat tinggal di pesantren, seperti Bapak Ali Wafa Abd Aziz, Bapak Abdurahman Syah dan lain-lain. Dengan keberadaan mereka berpusat di pesantren, menjadikan koordinasi antar guru semakin mudah dilakukan, dan komando-konsultatif dari kiai Qosim sebagai pengasuh juga tidak terhambat, maka permasalahan yang muncul baik di lingkungan pesantren ataupun di sekolah dapat tertangani dengan cepat. 3) Karena mayoritas para guru berada di pondok pesantren, maka semua program yang ada di pesantren maupun yang tersusun di sekolah menjadi sinergi. Orientasi dan program pendidikan antara kedua lembaga tersebut tidak saling tumpang-tindih.
Kemajuan dan kesemarakan pondok pesantren Radlatul Ulum II ternyata tidak berumur cukup panjang. Pada sekitar tahun 1997 jumlah santri semakin hari terus menyusut, program pendidikan yang ada pun terlihat simpang siur antara apa yang di sekolah dengan program yang dicanangkan di pesantren, khususnya di pondok pesantren putra. Menurut pak Istajib, kemerosotan tersebut diakibatkan oleh berbagai latarbelakang, antara lain : 1) Yayasan Ustmaniyah yang menaungi pesantren dan sekolah ditengarai dalam keadaan kurang stabil, baik kepengurusan ataupun administrasinya. Kondisi ini menyebabkan kendornya antisipasi Yayasan terhadap perkembangan pesantren dalam bidang penyediaan sarana dan prasaran. 2) Fasilitas pesantren yang sangat kurang memadai, terutama sekali masalah kebersihan air. Karena kebersihan tidak sepenuhnya terjamin dengan baik, malah air ketika itu berubah warna menjadi biru, maka para santri yang ketika itu membludak, banyak terjangkiti penyakit gatal-gatal. Kondisi kesehatan ini faktor utama yang menjadikan banyak santri yang pulang, sebab tidak krasan. 3) Guru banyak yang tidak lagi bertempat tinggal di lingkungan pesantren, karena sebab berkeluarga. Sehingga urusan pesantren dan sekolah sering kali tidak dapat dikomunikasikan kepada kiai Qosim Bukhori dengan cepat. 4) Kiai Qosim Bukhori sering melakukan aktifitas di luar pagar pesantren.
Pada tahun 1992 pendidikan dilingkungan RU II ditambah lagi dengan membuka madrasah tsanawiyah. Latarbelakang pengadaan MTs ini, menurut cerita Bapak Mahdlori, karena sebagian besar santri putri kurang berminat mengikuti pendidikan SMP. Maklum, pada saat itu ilmu agama lebih dominan dan banyak menarik perhatian para santri, sehingga mereka, terutama santri putri, masuk pendidikan yang ada pada madrasah diniyah saja. “Berawal dari kondisi demikian ini, maka kemudian diusulkan untuk disediakan MTs,” lanjut Wakil Kepala MA RU II Bagian Kesiswaan itu.
Tetapi pada tahun 1997 sekolah MTs itu bubar karena kehabisan siswa. Sejak awal proses pembukaan sekolah menengah ini memang diwarnai banyak probelem. Pertama, menurut Bapak Ali Abd Aziz, sudah menjadi semacam kesepakatan tidak tertulis di desa Putukrejo, khususnya antara sekolah RU II dengan madrasah Nurul Irsyad yang berada disebelah timurnya, bahwa pihak sekolah RU II tidak boleh membuka sekolah madrasah. Karena dilingkungan Nurul Irsyad jenjang pendidikan madrasah sudah disediakan, maka seharusnya RU II hanya menydiakan pendidikan yang berorientasi kepada ilmu umum. Kedua, menurut Bapak Mahdlori, usulan membuka MTs sudah mendapatkan tanggapan kurang hangat dari beberapa staf guru yang mengajar di SMP dan SMU. Pihak yang kurang sepakat dengan ide tersebut antara lain Bapak Istajib, Kepala SMU ketika itu, dan ibu Entik Janti, staf pengajar di SMP dan SMU. Kedua orang ini khawatir, kemunculan MTs akan membuat masa depan SMP dan SMU menjadi suram.
Sedangkan pada tahun 1994 dibuka MA (Madrasah Aliyah) sebagai upaya antisipatif untuk menyediakan jenjang lanjutan bagi siswa dari SMP yang berminat memperdalam mata pelajaran agama, khususnya kitab kuning. Menurut Bapak Romsih Umar SH, bahwa pembukaan madrasah aliyah dilingkungan pesantren RU II lebih banyak dilatarbelakangi oleh usulan-usulan yang muncul dari para wali santri, terutama masyarakat yang berasal dari daerah Madura kepada kiai Qosim Bukhori. Menurut Bapak Romsih, setelah ada berbagai usulan dari wali santri agar dilingkungan pesantren RU II dibuka jenjang aliyah, maka kiai Qosim memerintahkan kepada dirinya untuk menindaklanjuti usulan tersebut.
Memang kecenderungan masyarakat yang berasal dari daerah Madura, menurut orang yang menjabat sebagai Kepala MARU II sejak awal berdirinya itu, menginginkan agar dilingkungan pesantren RU II disediakan sekolah formal yang orintasi pendidikannya mengarah kepada pengenalan dan pendalaman ilmu agama. Sedangkan kalangan wali santri yang berhasrat kepada pendidikan umum lebih banyak didominasi oleh masyarakat yang berasal dari daerah barat, seperti Kediri, Jawa Tengah dan lain-lain.
Menurut cerita Bapak Romsih, sebetulnya usaha untuk merintis diadakan madrasah aliyah itu dimulai sejak tahun 91-92-an. Semenjak seputar tahun-tahun tersebut siswa yang punya minat untuk masuk ke jenjang aliyah sudah ada dan termasuk proses pendidikannya juga sudah berjalan, tetapi rekomendasi izin pengadakan MA dari Depag Malang baru turun pada tahun 1994.
PROFIL PENDIRI PONDOK PESANTREN RU II
Riwayat Hidup dan Pendidikan KH Qosim Bukhori
KH Qosim Bukhori lahir pada tahun 1942 di desa Ganjaran kecamatan Gondanglegi kabupaten Malang. Qosim kecil yang lahir dan dibesarkan di kalangan keluarga pesantren yang taat dalam menjalankan ajaran Islam menerima pendidikan awal dari abahnya sendiri, yaitu KH Bukhori Ismail. Oleh ayahnya yang mursyid thoriqoh Naqsabandiyah itu, beliau dididik dasar-dasar ilmu agama, terutama pelajaran membaca Alqur’an dan tajwidnya serta ilmu tatakrama dalam kehidupan (al-akhlak al-karimah).
Sejak masa kecil, kiai Qosim memang selalu mengikuti jejak dan sering membantu sang ayah tatkala melakukan ibadah-ibadah ritual keagamaan. Beliau biasa membawakan lampu templek ketika kiai Bukhori berangkat ke masjid yang terletak di sebelah rumahnya untuk menunaikan sholat malamnya. “Entah, saya merasa kasihan saja sama abah. Dan ingin membantunya,” kata beliau pada suatu waktu mengenai kebiasaan beliau sering menolong sang abah.
Pada tahun 1950 beliau belajar di madrasah Miftahussyibyan yang berada di dekat rumahnya sendiri. Madrasah yang kelak kemudian hari berganti nama menjadi madrasah Raudlatul Ulum itu didirikan oleh tokoh-tokoh masyarakat desa Ganjaran, antara lain abahnya sendiri, KH Bukhori Ismail, KH Yahya Syabrawi dan KH As’ad.
Disamping belajar di madrasah tersebut, beliau juga menghabiskan waktu belianya di pondok pesantren Raudlatul Ulum I yang terletak sebelah selatan dari rumahnya. Pesantren ini diasuh oleh kiai Yahya Syabrawi yang tidak lain merupakan kakak iparnya sendiri.
Di waktu berada di tempat ini kesungguhan kiai Qosim Bukhori dalam hal menimba ilmu agama sudah tampat pada diri beliau, terutama ilmu yang berkaitan dengan masalah tasawuf. Hal ini beliau ungkapkan sendiri kepada putra-putranya dan kepada masyarakat luas dalam kesempatan pengajian bahwa beliau mempelajari kitab Hikam karangan Syaikh Ibn Atoillah berkali-kali. “ Saya ngaji kitab itu kepada kiai Yahya Syabrawi lebih dari sepuluh kali. Bagitu khatam, diulang. Bagitu seterusnya. Maka kalau sekarang mengaji kitab Hikam hanya sekali, lebih-lebih tidak khatam, ya nggak ada apa-apanya,” ungkap beliau.
Tidak saja masalah ketelatenan mengaji kitab kuning, di tempat ini pola kesederhanaan hidup beliau sudah terlihat. Menurut cerita Bapak Abd Qowi dari daerah Pagedangan, pernah pada suatu malam kiai Qosim Bukhori mengajak dirinya untuk memasak nasi dan beliau yang akan mencari lauk-pauknya. Setelah nasi hampir matang, Bapak Abd Qowi bertanya, “Gus, nasi ini mau dimakan dengan apa ?” Lalu beliau menjawab, “sebentar, saya ke belakang (dalem kiai Yahya Syabrawi).” Setelah ke belakang, tak lama kemudian beliau membawa tiga helai bayam mentah dan beberapa lombok. “Lho, Gus bagaimana ini ?” Tanya alumni pesantren Raudlatul Ulum I yang kini telah menjadi tokoh di daerahnya itu terheran-heran. “Sudah lah ! Kita makan dengan ini saja,” jawab beliau dengan tenang. Inilah bagian dari gaya hidup sederhana yang beliau miliki sejak usia muda hingga beliau memasuki usia cukup sepuh sikap hidup sederhana ini tetap menjadi salah satu ciri hidup beliau.
Kepribadian beliau samakin tampak, ketika beliau kembali dari pondok pesantren Darul Ulum Peterongan Jombang. Meski sudah pulang dari pesantren, kiai Qosim sebelum menikah biasanya berada di pesantren Raudlatul Ulum I. Pada saat itulah beliau tidak saja dikenal sebagai seorang berpola hidup sederhana, tetapi juga dipandang oleh teman-teman santri RU I sebagai putra ulama yang tegas serta keras terhadap peraturan dan tata tertib pesantren asuhan kakak iparnya, KH Yahya Syabrawi itu, terutama peraturan yang berkaitan dengan masalah syar’i, seperti sholat berjamaah.
Menurut KH Romli, seorang alumni Pesantren Raudlatul Ulum I asal Sumber Manjing, kiai Qosim tidak segan-segan akan melempar batu bata kepada seorang santri yang diketemukan tidak ikut sholat. berjamaah. Di daun pintu kamar 1-A, sebuah kamar yang beliau tempati ketika berada RU I, terpampang tulisan : Santri wajib ; 1) mengikuti sholat berjamaah, 2) mengikuti musyawarah.
Masih menurut cerita pengasuh pondok pesantren Raudlatul Ulum Seddeng Bangkalan Madura itu, pernah suatu waktu kiai Qosim Bukhori melihat Ali Makki, seorang santri asal Madura yang kini bermukim di desa Ganjaran, sedang memasak nasi padahal saat itu jam wajib musayawarah bagi semua santri. Menyaksikan ada santri yang tidak menaati peraturan pesantren, kiai Qosim Bukhori yang ketika itu masih muda kemudian menjadi marah melihat pearturan dilanggar. Tanpa berbasa-basi panjang, kiai Qosim menendang kendilyang sedang bakar, karuan saja Ali Makki berlari terbirit-birit ketakutan.
Ketika berada di desa Ganjaran ini, beliau tidak saja ber”tabaruk ilmu” (mencari barokah ilmu) kepada ayahanda, KH Bukhori Isma’il dan kakak ipar, KH Yahya Syabrawi, tetapi beliau juga mengaji kepada saudara kandung yang tertua, KH Zainulloh Bukhori. Tanda-tanda kiai Qosim Bukhori merupakan seseorang akan menjadi ulama kharismatik karena kaliman dan istiqomahnya sudah muncul semenjak berada di desa tempat kelahirannya ini. Hal pernah diceritakan oleh ibu Nyai Zainab bahwa pernah suatu hari pada saat ikut mengaji sebuah kitab kuning kepada kiai Zainulloh itu, Qosim muda tatkala itu tertidur. Tetapi sang kakak yang juga seorang guru thariqot Naqsyabandiyah itu melarang santri yang lain membangunkannya, “sudah, biar ! Kalau Qosim jangan dibangunkan. Dia besok akan alim sendiri, “ kata pengasuh pesantren Nurul Ulum Ganjaran itu.
Sebagaimana layaknya para kiai terdahulu yang hampir dipastikan pernah merantau ke berbagai pondok pesantren dalam upaya pencarian ilmu agama, Qosim muda pada kurun waktu 1956 melanjutkan pendidikan ilmu agamanya di pondok pesantren Darul Ulum Rejoso Peterongan Jombang yang diasuh oleh KH Ramli Tamim dan putranya KH Mustain Ramli. Kedua guru beliau ini selain dipandang sebagai tokoh NU, juga dikenal mursyid (pembimbing rohani) thoriqoh Qodiriyah Wa Naqsyabandiyah. Pada tahun 1963 beliau boyong dari pesantren yang merupakan salah satu pondok pesantren besar di Jawa itu.
Menurut Bapak Isma’il Fathulloh, salah seorang sahabat beliau ketika berada di pondok pesantren Darul Ulum, keberadaan kiai Qosim Bukhori ketika di pesantren ini sudah memperlihatkan tanda-tanda lain dalam diri beliau. Menurut cerita guru dari desa Boro Panggungrejo Gondanglegi itu sering kiai Qosim Bukhori ketika di pesantren Jombang itu saat bersama dirinya bercerita bermimpi para nabi-nabi. Pada satu hari beliau pernah bermimpi Nabi Ibrahim, pada hari yang lain beliau bercerita pernah bermimpi Nabi Harun.
Perburuan mencari ilmu yang dilakukan oleh kiai Qosim Bukhori tidak berhenti sampai di situ saja. Beliau masih meneruskan berkelana dengan nyantri kepada KH Mujib Abbas Buduran Sidoarjo selama satu tahun. Di samping itu, beliau pernah duduk di bangku kuliah di IAIN Sunan Ampel Surabaya. Tetapi karena kondisi perpolitikan Indonesia ketika itu masih kacau oleh berbagai pemberontakan yang dilakukan oleh PKI, membuat perkembangan dunia pendidikan tidak lagi kondusif. Oleh karena itulah, kiai Qosim Bukhori lebih memilih meninggalkan alam akademisi yang selama tiga tahun digelutinya.
Latarbelakang Keluarga
Bila dilacak dari silsilah keluarga KH Qosim Bukhori, sebetulnya tidak seluruh terdiri dari orang alim yang pandai agama. Hal ini dapat dibaca dari riwayat hidup ayah kakeknya, yaitu embah Abdulloh. Menurut cerita yang ditulis oleh ibu Nyai Kultsum, salah seorang famili kiai Qosim Bukhori dari desa Gunung Pandek Pegelaran, Beliau ini adalah seorang penjual tali tampar yang berasal dari desa Ras Bajah Bangkalan Madura. Embah Abdulloh dalam menjajakan dagangan sampai ke daerah Sampang, bahkan terkadang ke daerah Pamekasan. Kemudian beliau menikah dengan seorang perempuan yang belum jelas namanya dan dikaruniai putra 6 orang, yaitu 1. Kolong (Isma’il), 2. Saman, 3. Senija, 4. Rosyidah, 5. Arsi, dan 6. Asi.
Oleh karena itulah maka Embah Abdulloh lebih dikenal dengan sebutan Mak Kolong, sementara istrinya dipanggil dengan nama BukKolong. Mak Kolong ini bukan seorang ahli dalam beribadah, tetapi ia sosok yang jujur dan keras. Bahkan kepada putra-putranya beliau pernah mengatakan, “kalau anak saya dipermalukan orang ditengah-tengah banyak orang dengan tanpa kesalahan, saya rela mendapati mayatnya saja. Tapi, bila dia yang bersalah dan orang lain tidak berani membunuhnya, maka sayalah yang akan memenggalnya.” Alhasil, keturunan Embah Abdulloh tidak boleh membuat gara-gara, tetapi jangan mencari gara-gara dengan mereka.
Oleh Embah Abdulloh punya prinsip demikian itu, maka semua putra-putranya dilarang keras keluar malam. Sebab, yang sangat dikhawatirkan ialah akan rusak akhlaknya akibat perempuan. Pada suatu malam Embah Abdulloh mengontrol putra-putranya yang sedang tidur, kebetulan pada waktu itu Isma’il (Kolong) tidak ada di tempat sedang mencari jangkrik. Setelah mengetahui Kolong tidak ada, baliau berprasangka putranya itu sedang mengintip perempuan. Maka, serta merta Embah Abdulloh mencarinya dengan membawa senjata tajam sembil bersuara :”Jika Kolong kutemukan akan kubunuh dia ! Tak kuasa aku menanggung rasa malu terhadap tetangga,” kata beliau lantang. Mengetahui keadaan demikian itu, Isma’il tidak berani pulang dan akhirnya menginap di rumah kerabatnya di desa Kompinang. Pada saat itulah ia punya fikiran untuk lari ke sebuah pesantren. Tetapi karena tidak membawa bekal, akhirnya ia pulang dengan diam-diam dan membawa 2 ikan udang, 2 kain sarung perempuan (carik), dan sebilah golok. Barang-barang tersebut akhirnya dijual, uangnya itulah yang dibuat bekal ke pesantren. Kemudian ia berangkat ke pesantren di desa Ba’ Batuh yang diasuh kiai Karang Anyar. Ismai’il muda melakukan sebuah kebiasaan (tirakat) tidak tidur malam sambil menulis.
Pada suatu malam Isma’il bermimpi meminum darah dari jari telunjuk gurunya, hingga sang guru wafat. Setelah terbangun dari tidurnya itu, Isma’il manangis karena merasa telah melakukan kesalahan besar,su’ul adab (tidak punya sopan santun) dan bergegas menunggu gurunya keluar dari dalem untuk melakukan sholat tahajud. Ketika diketahui menasngis oleh gurunya dan ditanyakan sebab-sebabnya dan Isma’il pun menceritakan mimpi yang dialaminya, maka sang guru berkata :”Teruskan apa kelakuanmu ! Insyaallah, kamu akan punya keturunan yang alim, meski ilmumu cukup sederhana. Tetapi sebaiknya kamu pindah saja dari sini ke pesantren milik guruku di Sepanjang Surabaya”. Sesampainya disana, kiai Sepanjang Surabaya itu justru berkata, “Sebelum ilmuku kamu minum, sebaiknya kamu mondok di pesantrennya kiai Yahya Karang Anyar Kamal Madura”. Setelah lama di Karang Anyar Kamal, Isma’il pindah lagi ke pesantrennya kiai Muhsin Blega Bangkalan. Setelah ia merasa faham tentang hukum Islam, mengerti dosa orang tidak sholat dan segala hukum syari’at, akhirnya ia berfikir tentang ayahnya yang menanggalkan sholat, sebab di rumahnya yang melakukan sholat itu hanya ibunya saja. Oleh itulah kemudia ia pulang ke desa Kompenang hendak memberi pemahaman tentang sholat dan hukum kepada orang tuanya. “Kalau ayah tidak mau sholat juga, maka saya yang akan membunuhnya,” demikian ungkapan Isma’il. Sementara ayahnya mendengar bahwa anaknya ada di desa Kompenang, masih tetap ingin membunuh putranya karena ingat sesumbarnya dahulu. Padahal, sudah empat tahun lebih Isma’il meninggalkan rumah. Setelah sama-sama bersesumbar untuk saling membunuh, ibu Isma’il menetralisir keadaan hingga akhirnya Embah Abdulloh berkenan diajari putranya sendiri. Dan pada akhirnya, Embah Abdulloh mau melaksanakan sholat sampai sekitar empat bulan kemudian beliau wafat karena sakit. Dapat dipastikan, Embah Abdulloh menghembuskan nafas yang terakhir dalam keadaan khusnul khotimah (baik pada akhir hayat).
Meskipun riwayat hidup yang dijalani oleh Embah Abdulloh sedemikian itu, tetapi bila garis keturunan ditelusuri lebih jauh lagi, ternyata KH Qosim Bukhori masih merupakan keturunan seorang alim yang dihormati karena dikenal kewaliannya oleh banyak orang, yaitu As-Sayid Syarif Hidayatulloh (Sunan Gunung Jati Cirebon Jawa Barat). Dari Sunan Gunung Jati inilah, rentetan silsilah kiai Qosim Bukhori sampai pada As-Sayid Husein putra As-Sayidah Fatimah al-Zahra binti Rosulillah saw. Dilihat rangkaian keturunan ini, maka kiai Qosim Bukhori berada pada tingkat yang ke 29 dari Nabi Muhammad saw. Untuk lebih jelas lagi, berikut ini bagan silsilah yang ditulis oleh Gus Adib Mursyid, salah seorang cucu keponakan kiai Qosim Bukhori, pada tahun 2003.
SILSILAH KETURUNAN NASAB
KH QOSIM BUKHORI HINGGA KE RASULULLAH SAW
|
NO
|
NAMA
|
NO
|
NAMA
|
1
|
Nabi Muhammad Rasilillah saw
|
16
|
As-Sayid Muhammad Shohibul Mirbath
|
2
|
As-Sayidah Fatimah al-Zahra
|
17
|
As-Sayid Alwi (Hadromaut)
|
3
|
As-Sayid Husein
|
18
|
As-Sayid Abd Malik (India)
|
4
|
As-Sayid Ali Zainal Abidin
|
20
|
As-Sayid Abdulloh Uzhmah Khan
|
5
|
As-Sayid Muhammad al-Baqir
|
21
|
As-Sayid Ahmad Syan Khan
|
6
|
As-Sayid Ja’far as-Shodiq
|
22
|
As-Sayid Jamaluddin Akbar (Bugis)
|
7
|
As-Sayid Ali al-Aridli
|
23
|
As-Sayid Ali Nuruddin (Cina)
|
8
|
As-Sayid Muhammad ats-Tsaqib
|
24
|
As-Sayid Imaduddin Abdulloh (Cina)
|
9
|
As-Sayid Isa an-Naqib
|
25
|
Sunan Syarif Hidayatulloh
|
10
|
As-Sayid Ahmad Muhajir ilalloh
|
26
|
Embah Abdulloh
|
11
|
As-Sayid Abdulloh
|
27
|
KH Isma’il / Kolong
|
12
|
As-Sayid Alwi
|
28
|
KH Bukhori
|
13
|
As-Sayid Muhammad
|
29
|
KH Qosim
|
14
|
As-Sayid Alwi
|
|
|
15
|
As-Sayid Ali Kholi’ Qosim
|
|
|
Melihat silsilah keturunan dari pihak ibu, asal usul kiai Qosim Bukhori juga bukan termasuk golongan ulama. Malah, kakek ibu beliau yang bernama H Abd Rosyid atau yang dikenal dengan sebutan EmbahRosyid adalah petani sukses yang kaya raya di desa Ganjaran. Menurut cerita Gus Yasir, salah seorang famili kiai Qosim Bukhori, nilai kekayaan Embah Rosyid bisa dilacak dari luas sawah yang dimilikinya. “Saking luasnya sawah Embah Rosyid, butuh waktu satu minggu untuk mengalirkan air ke sawah-sawahnya. Karena luasnya itu, maka terpaksa harus menutup saluran air jurusan ke Gondanglegi yang berada di depan masjid jamik Putat Lor itu,” ungkap Gus Yasir dari Ganjaran lagi.
Tetapi, meski Embah Rosyid seorang yang kaya raya, tetapi kepribadian beliau dikenal sebagi sosok yang sangat cinta kepada ulama dan sangat dermawan. Dari dua sifat yang dimiliki embah buyutnya ini, kiai Qosim Bukhori pada suatu kesempatan pernah berkomentar :”Kalau keturunan Embah Rosyid tidak peduli terhadap perjuangan Islam, seperti ikut serta mengajar, maka hidupnya akan banyak diwarnai kesulitan, terutama hal yang barkaitan dengan ekonomi.”
Termasuk dari sifat kedermawanan Embah Rosyid ini, sebagaimana cerita ibu Nyai Mamnunah Yahya, salah satu saudara kiai Qosim Bukhori, ialah setiap menjelang hari raya tidak saja semua pekerja sawahnya, tetapi tetangga dan famili diberi bingkisan sarung dan baju. Sedangkan sifat yang menunjukkan kecintaan Embah Rosyid kepada orang alim, masih menurut kisah Nyai Mamnunah Yahya dari Ganjaran, pernah suatu hari seusai mengambil uang dari pabrik gula Krebet, Embah Rosyid pulang melewati desa Putukrejo. Sesampainya di kampung Tuk Gale, Embah Rosyid menyetop kusir brendi yang ditumpanginya gara-gara beliau mendengar suara orang yang sedang membaca Alqur’an di sebuah surau. Kemudian beliau menemui orang tersebut dan terjadilah perbincangan. Karena tertarik kepada kepribadian orang yang baru dikenalnya itu, akhirnya Embah Rosyid menawarinya untuk menjadi menantu beliau. Orang tersebut bernama Zainuddin dari Madura. Hasil perkawinan kiai Zainuddin dengan putriEmbah Rosyid ini dikaruniai seorang anak yang bernama Nyai Fatma, ibunya kiai Qosim.
Dari sini dapat dibaca bahwa darah keulamaan kiai Qosim Bukhori dari pihak ayah adalah dari kakeknya, KH Isma’il dan abahnya, KH Bukhori. Sementara dari pihak ibu berasal dari KH Zainuddin dan ibunya sendiri, Nyai Hj Fatma. Sebagaimana disinggung di depan, sekelumit perjalanan hidup KH Isma’il yang juga dikenal dengan sebutan nama Kolong memang seorang yang kemudian menjadi pribadi alim setelah melakukan rihlah ilmiah (pengembaraan keilmuan) ke berbagai pondok pesantren.
Sementara riwayat hidup abah beliau, sebagaimana diceritakan KH Abd Rosyid Fudloli, salah satu keponakan kiai Qosim, adalah bahwa KH Bukhori Isma’il dilahirkan di desa Ombul Sampang Madura. Catatan tentang tanggal, hari dan tahun kelahirannya tidak diketahui secara detail. Kiai yang pada masa kecilnya memiliki nama Idris itu menjadi yatim sejak masih kecil, karena itulah pengasuhan dan pendidikannya bersama dengan saudara-saudaranya yang lain diambil alih oleh kakak tertua, KH. Syamsuddin.
Menginjak usia 16 tahun, Idris muda meninggalkan kampung halamannya untuk menuntut ilmu. Beliau pergi berguru pada KH. Jazuli, yang tinggal di desa Tetangoh, Pamekasan, Madura dan menetap disana selama tujuh bulan lamanya.
Pada tahun 1913 M, beliau melanjutkan pengembaraannya untuk menuntut ilmu kesebuah pondok pesantren yang terkenal saat itu, yaitu pondok pesantren yang diasuh oleh Syaikhona KH. Kholil (beliau dikenal sebagai pembawa kitab al-Fiyah Ibnu Malik ke Indonesia) di Bangkalan, Madura. Pondok pesantren Syaikhuna Kholil Bangkala adalah pondok pesantren yang memiliki kualifikasi yang sangat bagus untuk saat itu, maka tak berlebihan jika dikatakan bahwa hampir semua ulama dipulau jawa pernah mngenyam manisnya ilmu di pondok pesantren tersebut. Idris muda menghabiskan waktunya mudanya dipondok pesantren tersebut, selama kurun waktu tujuh tahun.
Untuk melengkapi wawasan dibidang keagamaan, Idris muda melanjutkan pendidikannya di Makkah, Saudi Arabia. Disana beliau berguru pada Syeikh Hasan Al Yamany, bersama sang istri tercinta, Ny. Fatma, putri KH Zainuddin, seorang ulama di desa Ganjaran, Gondanglegi, Malang, yang beliau nikahi pada tahun 1921M.
Setelah empat tahun lamanya beliau berguru dan belajar di Makkah, beliau pulang kembali ketanah air dan kemudian tinggal di desa Ganjaran Gondanglegi Malang. Dan sejak saat itu beliau merintis pondok pesantren dengan nama Pondok Pesantren “Raudlatul Ulum” diseputar kediamannya dan membangun sebuah masjid (yang kemudian dikenal dengan nama masjid Asy-Syafi’iyah) pada tahun 1924 sebagai tindak lanjut pengembangan pondok pesantren yang beliau asuh. Dipondok pesantren yang beliau asuh itu, KH. Bukhori mengajarkan dasar-dasar keislaman kepada masyarakat sekitar seperti ilmu qira’ah dan ilmu tauhid, karena memang masyarakat desa Ganjaran ketika itu adalah masyarakat tidak mengenal nilai-nilai keislaman dengan baik. Melihat kenyataan ini, KH Bukhori berkeinginan untuk mengarahkan masyarakat kejalan lurus.
Pada awalnya pondok pesantren ini hanya memiliki sepuluh orang santri yang datang dari berbagi daerah dipulau Jawa, ditambah dengan beberapa santri yang tidak menetap dipondok pesantren yang berasal dari desa Ganjaran dan desa-desa sekitarnya. Pada perkembangan selanjutnya, pengajaran tidak hanya dilakukan dipondok pesantren saja, tetapi juga dilakukan di masjid dengan menggunakan sistem klasikal. Hal ini dilakukan karena jumlah santri yang terus berkembang, dan untuk mengintensifkan materi pelajaran.
Untuk pengajaran di masjid ini KH Bukhori dibantu oleh lima orang tenaga pengajar, mereka diantaranya KH Yahya Syabrawi (menantu KH Bukhori), KH Mukhsin Yasin, KH Qaffal, KH As’ad dan KH Abdul Hafidz (dari Putukrejo). Pengajaran dengan sistem ini berlangsung cukup lama, yaitu sejak tahun 1937 sampai akhir masa penjajahan Jepang. Setelah Jepang tersingkir dari bumi pertiwi ini, sistem pengajaran diubah dengan menjadi bentuk madrasah yang berlangsung hingga saat ini dengan tidak menghilangkan materi-materi keagamaan.
Sebagaimana diketahui masa penjajahan Jepang merupakan masa-masa sulit bagi bangsa Indonesia, tidak terkecuali dengan pendidikan yang dirintis oleh KH. Bukhori harus rela dilakukan dengan cara sembunyi-sembunyi dan berpindah-pindah dari rumah ke rumah. Keadaan ini berlangsung kurang lebih tujuh tahun, yaitu sejak tahun 1942 sampai tahun 1948. Baru pada tahun 1949, pendidikan yang masih menggunakan metode klasikal itu dibuka kembali.
Bahkan sejak tahun 1949 itulah sistem pendidikan dirubah kearah yang lebih representatif, yaitu dengan menggunakan sistem madrasah, dengan jenjang pendidikan madrasah ibtida’iyah untuk putra dan madrasah tsanawiyah untuk putra. Akibatnya pertumbuhan jumlah anak didik semakin besar sehingga ruang masjid tidak lagi dapat menampungnya. Karena itu selanjutnya dibangun gedung khusus untuk madrasah, namun kurikulum yang dipakai masih tetap kurikulum lokal yang memuat pelajaran-pelajaran agama saja. Barulah pada tahun 1954, diadakan pengembangan dengan menambahkan pelajaran umum sebanyak 25 % dari alokasi materi pelajaran yang diajarkan pada anak didik.
Untuk meningkatkan jenjang pendidikan msayarakat, maka pada tahun 1960 dibuka madrasah ibtida’iyah untuk putri, dan pada tahun 1966 dibuka madrasah aliyah untuk putra dan madrasah tsanawiyah untuk putri. Dan Akhirnya pada tahun 1968, dibuka madrasah aliyah untuk putri.
Sedangkan dalam bidang sosial kemasyarakatan beliau memelopori penyebaran
Jam’iyah Nahdlatul Ulama di wilayah Malang bersama KH. Nahrawi, seorang ulama di Malang. Selain itu, KH. Bukhori juga berperan aktif dalam penyebaran Thariqat Naqsyabandiyah di daerah Malang Selatan, sehingga jumlah keanggotaan thariqat naqsyabandiyah didaerah ini telah mencapai kurang lebih 30.000 orang. Ketiga hal tersebut yang menjadi concern KH. Bukhori sampai beliau dipanggil kembali kehadlirat Allah SWT, pada tahun 1976 dan dimakamkan disamping masjid Asy-Syafi’iyah desa Ganjaran, Gondanglegi, Malang.
Menurut kiai Qosim, abahnya dalam hal mendidik putra-putranya di samping menekankan pendidikan dhohiriyah, beliau juga melakukan semacam tirakat buat keberhasilan dan kebahagiaan mereka. Hal ini terbukti setiap anak selalu dibacakan al-Fatihah sebanyak 100 kali setiap hari oleh beliau. Oleh karena itulah, tidak heran jika semua putra-putra KH Bukhori Isma’il menjadi tokoh masyarakat yang selalu diperhitungkan keberadaannya di tengah-tengah umat.
Tetesan darah kealiman kiai Qosim Bukhori juga terpancar dari kakek yang jalur ibunya, yakni KH Zainuddin. Menurut Nyai Hosniyah, salah satu famili KH Qosim Bukhori dari desa Gading Bululawang, beliau ini berasal dari kampung Dhurbuk Sampang Madura. Kemudian berkelana ke daerah pulau Jawa dengan tujuan melakukan amar ma’ruf nahi mungkar yang pada akhir ditemukan oleh Embah Abd Rosyid sedang mengaji Al-qur’an. KH Zainuddin dalam sejarah menyebarkan misi Islam, sezaman dengan KH Zainul Alim (tokoh pertama yang menyebarkan dakwah Islam di desa Ganjaran yang kemudian dikenal dengan nama Kiai Tombu) dan KH Hasbulloh (seorang ulama yang menyebarkan dakwah Islam di desa Banjarejo Pegelaran)
Sebagaimana kakeknya, ibunya Nya Hj Fatma juga seorang perempuan yang dipandang punya ilmu hikmah (ilmu rahasia kehidupan), meskipun beliau tidak pernah mengenyam pendidikan formal. Menurut cerita kiai Qosim Bukhori, dalam keadaan sehari-hari, Nyai Fatma hanya bisa membaca Al-qur’an belaka, sementara tulisan lainnya tidak beliau kuasai. Tetapi, walaupun begitu beliau merupakan seorang yang taat dalam agama dan tekun dalam beribadah. Ketaatan dalam beribadah ini, beliau tampakkan dalam melakukan semuan peraturan agama yang diterima dari guru, terutama guru dalam ikatan thoriqoh Naqsyabandiyah, selalu dijalani dengan istiqomah.
Sebagimana KH Bukhori Isma’il, Nyai Fatma juga termasuk salah satu akhawat (istilah dalam thariqoh Naqsyabandiyah untuk peserta zikir) yang tingkat zikirnya sudah mencapai kelas tinggi. Karena ketinggian zikirnya itulah, Nyai Fatma sering melakukan zikir di dalam air. Oleh karena ketinggian tingkat zikir dan ketaatan kepada gurunya itulah, menurut kiai Qosim Bukhori, tatkala Nyai Fatma mengeluarkan setiap ucapan dan kalimat nyaris tidak berbeda dengan isi kitab Hikam, sebuah kitab tasawuf klasik yang menjadi salah satu pegangan kalangan pesantren karangan Syaikh ibn Atoillah.
Masih menurut kiai Qosim, karena ketinggian derajat yang sudah diperoleh semasa hidupnya itulah, maka ketika wafat di tanah suci Makah al-Mukarromah tanda-tanda sebagian dari karomah Nyai Fatma dapat dilihat oleh orang lain. Yaitu, sebagaimana kuburan yang lain, makam Nyai Fatma hanya ditandai dengan batu biasa. Cuma saja batu itu tidak tersapu oleh debu padang pasir yang acapkali menutupi batu nisan kuburan yang ada di tanah Arab, hingga seringkali membuat kuburan menjadi hilang begitu saja. Melihat batu nisan masih tetap utuh, lalu seorang arab berkomentar, “Wah, ini kuburan orang baik.”
Dengan asal-usul keturunan yang demikian itu, maka sangat dimaklumi jika KH Qosim Bukhori memiliki derajat keilmuan yang cukup mumpuni, tingkat ke-istiqomah-an dalam ibadah yang sangat tinggi, kesabaran dan ketabahan menghadapi segala macam rintangan dan cobaan yang mengagumkan serta tentu saja haibah(kewibawaan) yang cukup besar di mata masyarakat
SILSILAH KETURUNAN NASAB
KH QOSIM BUKHORI DAN SAUDARA-SAUDARANYA
DARI SISI IBU
|
|
Embah H Abd Rosyid + Nyai Hj Khodijah (Embah Koneng)
Nyai Hj Siti Aisyah + KH Zainuddin
Nyai Hj Fatma + KH Bukhori Isma’il
1 KH ZAINULLOH (GANJARAN GONDANGLEGI)
2 Ny Hj Mamnunah (Ganjaran Gondanglegi)
3 KH Fudloli (Ganjaran Gondanglegi)
4 KH Shonhaji / Abu Abbas (Putukrejo Gondanglegi)
5 KH Dumyati (Kampung Anyar Pal Dampit)
6 KH Muhammad Amin (Sukosari Gondanglegi)
7 KH Isma’il (Ganjaran Gondanglegi)
8 KH Qosim (Putukrejo Gondanglegi)
9 KH Mujtaba (Ganjaran Gondanglegi)
RINGKASAN
KH Qosim Bukhori lahir pada tahun 1942 di desa Ganjaran kecamatan Gondanglegi kabupaten Malang. Qosim kecil yang lahir dan dibesarkan di kalangan keluarga pesantren yang taat dalam menjalankan ajaran Islam menerima pendidikan awal dari abahnya sendiri, yaitu KH Bukhori Ismail. Oleh ayahnya yang mursyid thoriqoh Naqsabandiyah itu, beliau dididik dasar-dasar ilmu agama, terutama pelajaran membaca Alqur’an dan tajwidnya serta ilmu ketatakramahan (al-akhlak al-karimah).
Sebagaimana layaknya para kiai terdahulu yang hampir dipastikan pernah merantau ke berbagai pondok pesantren dalam upaya pencarian ilmu agama, Qosim muda pada kurun waktu 1956 melanjutkan pendidikan ilmu agamanya di pondok pesantren Darul Ulum Rejoso Peterongan Jombang yang diasuh oleh KH Ramli Tamim dan putranya KH Mustain Ramli. Kedua guru beliau ini selain dipandang sebagai tokoh NU, juga dikenal mursyid (pembimbing rohani) thoriqoh Qodiriyah Wa Naqsyabandiyah. Pada tahun 1963 beliau boyong dari pesantren yang merupakan salah satu pondok pesantren besar di Jawa itu.
Perburuan mencari ilmu yang dilakukan oleh kiai Qosim Bukhori tidak berhenti sampai di situ saja. Beliau masih meneruskan berkelana dengan nyantri kepada KH Mujib Abbas Buduran Sidoarjo selama satu tahun. Di samping itu, beliau pernah duduk di bangku kuliah di IAIN Sunan Ampel Surabaya. Tetapi karena kondisi perpolitikan Indonesia ketika itu masih kacau oleh berbagai pemberontakan yang dilakukan oleh PKI, membuat perkembangan dunia pendidikan tidak lagi kondusif. Oleh karena itulah, kiai Qosim Bukhori lebih memilih meninggalkan alam akademisi yang selama tiga tahun digelutinya.
Sebelum berstatus sebagai pengasuh pondok pesantren raudlatul ulum II, beliau juga pernah menjadi pengasuh pondok pesantren salafiyah raudlatul ulum I yang terletak di desa ganjaran yang konon kini menjadi pesantren salafiyah yang masyhur untuk wilayah malang selatan. Lebih dari itu beliau juga merupakan pengurus yayasan rumah sakit islam (RSI) gondanglegi malang dan atas prestasi akademisi yang pernah beliau raih, pada dekade kurun waktu yang sama pula beliau menjabat sebagai ketua yayasan disalah satu perguruan tinggi swasta yang terletak di malang selatan (stai al-qolam). Di susunan struktural lembaga Nahdlatul Ulama beliau pernah pula dipinta menduduki jabatan ketua dewan syuro untuk masa bakti ____________, sementara di Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) beliau mengembang amanah pada sektor _______.
LATAR BELAKANG SEJARAH PENDIRIAN PONPES
Pondok Pesantren Raudlatul Ulum II didirikan pada tahun 1983. Peletakan batu pertama pembangunan pesantren ini dihadiri oleh para ulama dan beberapa unsur tokoh masyarakat. Dari para ulama antara lain adalah KH Yahya Syabrawi, KH Zainulloh Bukhori, KH Fudloli Bukhori, KH Abu Abbas Bukhori dan KH Ismail Bukhori. Sedangkan dari kalangan masyarakat hadir H Mahmuji, sebagai seorang waqifdari lahan pesantren yang akan dibangun. Ia menyumbangkan tanah untuk kepentingan pembangunan gedung pesantren seluas 1 hektar yang terletak sebelah timur Masjid Jamik desa Putukrejo.
Pembangunan gedung pesantren yang perdana ini menghabiskan waktu kurang lebih sekitar empat bulan. Saat peletakan pertama itulah nama pesantren ini diberikan langsung oleh kiai Yahya Syabrawi. ”Pondok ini, kamu beri nama Raudlatul Ulum II !”, demikian pesan pengasuh pertama pondok pesantren Raudlatul Ulum I Ganjaran itu kepada KH Qosim Bukhori sebagai pendiri dan pengasuh pertama, sebagaimana diceritakan oleh kiai Qosim Bukhori sendiri. “Saya ketika itu, sementara memang tidak berfikir tentang nama,” kata beliau.
Pada masa pembangunan ini, pondok pesantren yang juga dikenal dengan sebutan nama RU II itu telah memiliki jumlah santri yang cukup lumayan banyak, yaitu kurang lebih 60 santri. Karena memang, sebelum pembangunan gedung pesantren dimulai, kiai Qosim Bukhori telah menerima santri sekitar 45 orang yang berasal dari desa Putukrejo sendiri untuk dididik oleh beliau. Pendidikan awal yang kemudian menjadi cikal bakal berdirinya pondok pesantren RU II tersebut ditempatkan di rumah pertama beliau yang berada di sebelah utara gedung sekolah. Pengajaran yang ditangani langsung oleh beliau sendiri itu hanya meliputi pengajian Alqur’an dan dasar-dasar fikih.
Grafik santri yang terus menanjak, memaksa kiai Qosim Bukhori harus mengadakan rehabilitasi gedung pesantren RU II pada tahun 1984. Karena perkembangan jumlah santri pada tahun itu terus bertambah, membuat kamar hunian tidak lagi dapat menampung anak santri yang mencapai angka 150 orang. Tercatat sebagai salah satu santri pada angkatan ini adalah kiai Shiddiq dari Nelopo Bantur. Sedangkan rehabilitasi gedung pesantren tersebut dihadiri oleh Sayid Alwi Al-Idrus (seorang tokoh dari kalangan habaib dari kota Malang) dan para ulama serta tokoh masyarakat.
Beridiri dan perkembangan pesantren ini tentu saja direstui oleh segenap tokoh masyarakat desa Putukrejo, terutama Bapak H Mahmuji, sebagai seorang waqif dan penyandang dana pertama pembangunan gedung pesantren RU II. Pada tahun 2003, mantan Kepala Desa Putukrejo tersebut menambah waqof-nya kepada pesantren RU II berupa tanah persawahan seluas 2 hektar.