Articles by "Kisah Ulama"
Showing posts with label Kisah Ulama. Show all posts
Dalwa Media Dakwah Online berbagi informasi islam,hukum islam,download aplikasi islam dll.

Habib Hasan Baharun Mancing Uang

Di pertengahan  keheningan malam malam  ust segaf baharun dibangunkan oleh ayahanda beliau Al Habib Hasan Bin Ahmad Baharun,

 “segaf !, ikut abi (ayah), kita jalan jalan”,

 “pertengahan malam ni kita jalan jalan ?, ngapain ?”,

 “kita jalan jalan mancing !,ayo ikut aja abi,”,

“mancing ?, mancing apa tengah malam ?”,

“kita mancing uang !!”

Ust Segaf Baharun bangkit dari ranjang menaati beliau namun mimik wajah heran tentunya  masih berbekas jelas, ust segaf baharun menemani ayahanda beliau jalan jalan di keheningan malam yang gelap menuju pasar bangil, 

Di pasar bangil nampak jelas sejauh mata memandang di samping setiap beberapa bangunan,  fakir miskin tertidur , tukang becak yang letih bekerja malam hingga tertidur lelap, tangan terlipat dijadikan sebagai bantalan kepalanya yang sudah lunglai, terlelap pulas dalam posisi duduk.

Mereka para tukang becak sudah terbiasa tidur demikian saat kantuk lebih dahulu tiba ketika penantian penumpang tak juga datang, beberapa pemulung dengan beberapa kantong berisi beragam plastik dan besi hasil seharian mengais rezeki dengan setia menemani mereka, 

Nampak keringat peluh bagaikan air keruh mengalir di kening para pemulung, letih seharian menentang panasnya matahari dan debu angin malam, para pengemis renta dengan mata tertutup berusaha mengusir setiap nyamuk yang hinggap, 

Habib HasanBaharun Mengeluarkan lembaran lembaran uang lima ribuan yang keseluruhannya berjumlah 200.000.  masing masing lembaran lima ribuan diselipkan di saku saku para fakir miskin, tukang becak, pemulung, yang terlelap pulas di setiap sudut penjuru pasar sambil melawan dinginnya angin malam , 

namun ternyata uang yang dibagikan tidak habis, beliau pun tidak segera pulang, namun masih mencari mereka yang tidur pulas di pasar bangil hingga uang 200.000 seluruhnya dibagikan, tentunya lembaran lima ribuan nilai yang sangat besar ketika itu.


Keesokan harinya, Habib Hasan Baharun memberikan kabar gembira kepada Ust Segaf Baharun, beliau menceritakan hasil “mancing uang” di pasar bangil semalam, ternyata hari itu uang 200.000 digantikan Allah dengan rezeki dari berbagai penjuru, jumlah keseluruhannya tidak kurang dari 20.000.000 Rupiah, yang keseluruhannya sepenuhnya digunakan untuk kebutuhan pesantren dan para santri , acara “mancing uang” Habib Hasan Baharun tentunya adalah ketulusan beliau untuk peduli pada mereka yang membutuhkan dan keteguhan keyakinan beliau pada Ayat Allah

" و من يتقى الله يجعل له مخرجا و يرزقه من حيث لا يحتسب"
مثل الذين ينفق أموالهم فى سبيل الله كمثل حبة أنبتت سبع سنابل فى كل سنبلة مائة حبة, و الله يضاعف لمن يشاء و الله واسع عليم"

Dalwa Media Dakwah Online berbagi informasi islam,hukum islam,download aplikasi islam dll.

Ada satu karomah beliau yang dirasakan betul dengan nyata oleh salah seorang muridnya yang saat ini berdomisili di Malang. Sekitar tahun 1998, murid tersebut yang telah berkeluarga, datang kepada beliau untuk meminta nama anak pertama yang masih berada dikandungan istrinya.



”Kamu ingin meminta nama?”, tanya Abuya.

”Benar wahai Abuya”, jawab si murid.

Kemudian Abuya mengatakan,”Kemarikan tangan!” Murid tersebut memberikan tangannya, beliau lalu memegang telunjuk murid tersebut sambil berkata,

”Pertama, laki-laki, Muhammad Anas." 

Kemudian memegang jari tengah, 

"kedua, Muhammad Alawi. "

Lalu memegang jari manisnya, 

"ketiga, Abdullah”, kata Abuya.

Ketika memegang jari kelingking, beliau terdiam sejenak lalu berkata,”Insya Allah, perempuan”.

Subhanallah, apa yang dikatakan oleh beliau semua terjadi tepat sesuai dengan yang beliau katakan. Anak pertama lahir laki-laki, saya beri nama Muhammad Anas, kedua juga laki-laki, ketiga juga laki-laki dan yang keempat adalah perempuan. 

Padahal saat itu mereka semua belum lahir ke dunia ini. Maha suci Allah yang telah membuka hijab kepada hamba-hamba pilihan-Nya.

Di antara karomah beliau yang sangat jelas adalah dimana beliau berada, beliau akan dihormati & disanjung. Dalam pertemuan ulama dibelahan dunia islam atau majlis-majlis ilmu manapun kehadirannya selalu dibanggakan. Tak terkecuali dihadapan penguasa atau pemerintah.

Suatu ketika, di Makkah diadakan pertemuan para tokoh & ulama yang juga dihadiri oleh raja & para aparat penting pemerintahan. Mereka datang dari kota-kota Hijaz.

Raja Kerajaan Arab Saudi saat itu Raja Fahd bin Abdul Aziz tiba ditempat pertemuan & duduk diposisi terdepan dengan kursi khusus yang disiapkan. Di samping kanan kirinya adalah tokoh-tokoh & ulama terkemuka saat itu.

Tidak berselang lama, Abuya Sayyid Muhammad Al-Maliki dengan beberapa orang yang mengikutinya tiba di tempat. Begitu Raja melihat kehadiran beliau. Tampaklah kewibawaan beliau yang besar, maka Raja Fahd berdiri menyambut kedatangan Abuya

Otomatis ketika Raja berdiri. Maka semua orang yang ada ditempat itu, baik kalangan pemerintahan maupun ulama & tokoh ikut berdiri. Seakan-akan beliaulah yang ditunggu kehadirannya, padahal disana banyak ulama & tokoh terkemuka.

Kemudian Raja Fahd mempersilahkan Abuya duduk di sampingnya, tentu di barisan paling depan. Sekalipun tadi sepertinya semua kursi sudah terisi, tetapi untuk beliau selalu ada kursi kosong. Maka disiapkanlah kursi untuk tempat duduk beliau.

Siapa yang menjadikan Raja begitu hormat kepada beliau? Siapa yang menyuruh mereka berdiri menyambut kehadirannya & siapa yang menggerakkan hati mereka untuk cinta kepada beliau? Dialah Allah swt. Raja Diraja Yang Maha Kuasa.

Maka tidaklah berlebihan jika seorang bijak berkata,”Sebenar-benarnya raja di dunia ini adalah para ulama”. Memang demikianlah kenyataannya, ulama yang ilmunya barokah & manfaat pasti akan dihormati & dicintai di manapun berada. Merekalah auliya Allah, kekasih-kekasih Allah.

Bukti ketinggian maqam beliau di sisi Allah & Rasul-Nya, Abuya Sayyid Muhammad Al-Maliki tergolong salah satu hamba yang mendapat i’tina’ khasshah (perhatian istimewa) dari baginda Nabi Muhammad saw. dalam segala gerak-gerik & kehidupan beliau, sekalipun pada hal-hal yang sepele atau kecil.

Maqam seperti ini bukanlah sembarang maqam, sebab hanya hamba-hamba pilihan Allah-lah yang mendapatkannya, seperti Al-Habib Abdullah bin Alawi Al-Haddad.

Hal ini tampak jelas pada akhir hayat beliau, di mana beliau tidak memotong rambut & tidak memacari jenggotnya. Guru kami Al-Ustadz Al-Habib Sholeh bin Ahmad AlAydrus ketika melaksanakan ibadah haji pada tahun 1424 H dengan beberapa murid-murid Abuya lainnya datang untuk menziarahi beliau.

Lalu Ustadz Sholeh bertanya kepada Abuya kenapa beliau tidak memacari jenggotnya. Abuya diam tidak menjawab. Ditanya kedua kalinya, beliau tetap diam dan ketika ditanya ketiga kali, beliau berkata,”Rasulullah saw. melarangku”.

Maksudnya, Rasulullah melarang beliau untuk memacari jenggot beliau agar tampak ubannya, yang memberi isyarat bahwa manusia itu akan tua & sebentar lagi akan menghadap Allah swt. Siapapun & bagaimanapun kedudukannya akan menghadapi kematian. Rupanya itu adalah pertanda dekatnya ajal beliau.

Karena memang kenyataannya demikian, pertemuan beliau dengan murid-muridnya yang datang dari Indonesia pada waktu itu adalah pertemuan terakhir mereka di dunia dengan sang maha guru. Sembilan bulan setelah itu, tepatnya di bulan Ramadhan 1425H beliau dipanggil ke hadirat Allah swt.


Apa yang terjadi kepada beliau ini mengingatkan kita kepada Al-Habib Abdullah bin Alawi Al-Haddad. Di mana di akhir hayat beliau, beliau memanjangkan rambutnya, tidak memotongnya, ketika ditanya alasannya, beliau mengatakan bahwa yang beliau lakukan itu karena perintah Rasulullah saw. []
Dalwa Media Dakwah Online berbagi informasi islam,hukum islam,download aplikasi islam dll.

Suatu kali Abuya As Sayyid Muhammad Al Maliki sedang menyaksikan olahraga gulat di televisi. Nampak di sekelilingnya beberapa tamu yang ikut menyaksikan. Di tengah majelis tersebut, beliau terkekeh menyaksikan siaran kegemaran beliau tersebut.

Tanpa disadari, seorang tamu berbisik dalam hatinya, “Bagaimana sih beliau ini, seorang ulama’ kok ketawanya sampai gitu…” Sontak, hal tersebut “terdeteksi” oleh lautan kasyaf beliauAbuya, dan tanpa disadari oleh tamu tersebut, beliau meraih kepala tamu tersebut dan menempelkannya ke dada beliau.

Subhanallah, apa yang terjadi? Tamu tersebut mendengar lantunan zikir Ismu Dzat (Alloh, Alloh, Alloh) dari dada suci Abuya. Tampak malu dengan hal tersebut, kemudian sang tamu meminta maaf secara khusus kepada beliau.


Kisah riwayat dari Al Habib Abdullah Ibn Umar Assegaf Yogyakarta dan InsyaaAlloh pernah juga dimuat di majalah Alkisah.
Dalwa Media Dakwah Online berbagi informasi islam,hukum islam,download aplikasi islam dll.
Para pendahulu dalam agama Islam yang mulia ini adalah sosok-sosok yang bersih ruhaninya, cemerlang otaknya, dan memesona akhlaknya. Mereka adalah kesempurnaan dari lautan manusia yang penuh kurang dan salah. Mereka ibarat gemintang yang senantiasa bercahaya di tengah gulita malam.

Meski berbeda pendapat dalam banyak persoalan cabang agama, mereka adalah sosok yang saling menghormati, berlomba memuliakan, dan senantiasa mendoakan di dalam tiap kesempatan munajatnya. Alhasil, hati mereka saling berpelukan dan pikiran mereka bersih dari buruk sangka.

Di antara mereka itu, ada sosok imam yang amat mulia dan dijunjung tinggi oleh para muridnya. Dalam sebuah kesempatan, beliau mengatakan telah mendoakan gurunya yang sesama imam dalam kurun waktu tiga puluh tahun. Padahal, keduanya berbeda dalam berbagai pendapat. Pun para muridnya. Namun, mereka mengedepankan perlakuan yang mulia kepada sesamanya, apalagi terhadap gurunya itu.

“Sudah tiga puluh tahun,” akunya kepada anaknya, “tak kurang-kurangnya aku mendoakan Imam asy-Syafi’i dan memohonkan ampunan untuknya.”

Demikianlah akhlak yang memesona itu. Memanjatkan doa untuk seorang guru, pembela sunnah, ahli fiqih, dan orang saleh yang terpilih karena kemuliaan ilmunya. Dan, kurun waktu tiga puluh tahun bukanlah waktu yang sebentar.

“Ayah,” tanya sang anak kepada ayahnya itu dalam kesempatan lain, “siapakah yang engkau sebut-sebut dengan Imam asy-Syafi’i itu?” Pasalnya, sang anak sering mendengarkan nama itu terlantun dalam doa-doa ayahnya di sepanjang waktu dan kesempatan.

“Nak,” jawab sang ayah penuh kelembutan, “Imam asy-Syafi’i itu bagaikan matahari bagi dunia ini dan obat bagi manusia.” 

Demikian mulianya sang Imam Syafi’i yang telah menjalani ujian berat dalam menuntut ilmu hingga layak dirujuk pendapatnya dan menulis banyak kitab rujukan bagi kaum Muslimin di seluruh dunia ini.

Tanya retoris sang ayah kepada anaknya itu, “Perhatikanlah,” lanjutnya, “adakah yang bisa meneruskan dan menggantikan kedua hal (matahari dan obat) itu?”

Itulah pengakuan yang sangat tulus akan kualitas keilmuan, kesalehan, dan akhlak sang Imam asy-Syafi’i. setelah diibaratkan sebagai matahari dan obat, maka beliau tak bisa digantikan atau diteruskan oleh siapa pun selepasnya.

Dan, tahukah kita; siapakah sosok imam yang mendoakan Imam asy-Syafi’I sepanjang tiga puluh tahun itu? Siapakah sosok yang mengibaratkan penulis kitab al-Umm ini sebagai matahari bagi dunia dan obat bagi manusia itu?


Dialah sosok saleh yang rendah hati, Imam Ahmad bin Hanbal. Semoga Allah Ta’ala merahmati dan meridhai keduanya. Aamiin.
Dalwa Media Dakwah Online berbagi informasi islam,hukum islam,download aplikasi islam dll.


و كلهم من رسول الله ملتمس  #  غرفا من البحر أو رشفا من الديم

 Bukan hanya sekedar Dzurriyah Nabi, tetapi juga penerus perjuangan

BeliauShallallahu alaihi wa sallam dalam berdakwah. Gambaran yang tercermin ketika terdengar sebuah nama; Al-Ustad Hasan bin Ahmad Baharun. Seorang guru yang benar-benar memilih langkah jalan hidup Rosulullah sebagai pedoman hidup. Sifat-sifat Nabi Muhammad saw. telah beliau terapkan dalam hidupnya.

Hijrah Nabi saw. dari kota Mekkah menuju kota Madinah bukan untuk mencari suasana kehidupan baru bagi beliau, melainkan sebuah langkah awal perjuangan  menegakkan agama Islam di bangsa Arab, bahkan di seluruh penjuru dunia. Begitu pula hijrah yang dijalankan oleh Al-Habib Hasan bin Ahmad Baharun semasa hidupnya, tidak hanya sekedar Rihlah biasa melainkan Rihlatul Iman yang memiliki target pengembaraan keilmuan yang jelas, dakwah, observasi  serta selalu memberikan kesan setelah meninggalkan tempat-tempat yang pernah beliau  kunjungi.

Sifat-sifat Nabi saw. yang paling nampak dalam diri seorang

Sabar, tentu kita semua tahu perjuangan dakwah Nabi saw. yang penuh dengan kesabaran dalam menghadapi rintangan dan hambatan baik secara internal dari golongan keluarga beliau sendiri dan terlebih eksternal dari para kaum kafirQuraiys bahkan beliau juga pernah dicaci maki dan dilempari ketika hijrah ke Habasyah. Kasus serupa juga pernah dialami oleh Abuya Al Habib Hasan Baharun. Kala itu salah satu santri ceroboh membuang air cucian piring dari tingkat atas sehingga mengenai tubuh dan membasahi gamis yang beliau kenakan.

Dengan kesabaran yang beliau terapkan dalam kehidupan, beliau sama sekali tidak menunjukkan kemarahan bahkan memaafkan dan dengan bijaksana menasehati santri tersebut untuk berhati-hati seraya berkata “Untung saja Ana yang kena, bagaimana jika orang lain yang kena?”

Istiqomah, Nabi Muhammad saw. pernah bersabda “Sebaik-baiknya perbuatan adalah yang paling berkesinambungan meskipun sedikit”

Bangun dini hari pada jam dua malam merupakan sebuah tradisi yang selalu beliau tekuni, di manapun, kapanpun dan dalam kondisi apapun. Sepercik kisah unik dari sosok Ustad Hasan Baharun yang mungkin sulit terlupakan bagi para santri beliau di Ganjaran Malang karena di mata mereka beliau memiliki ciri khas tersendiri. Ketika membangunkan para santri untuk bangun malam, yaitu setiap kali beliau membangunkan santri beliau selalu membawa lampu petromak.

Sebelum subuh dari pukul tiga malam mereka diajarkan Kitab Muhawarah yang beliau susun sendiri. Begitu pula penerapannya di pundok pesantren Darullugah Wadda’wah, kesan yang selalu diingat para santri adalah suasana Qiyamul lail bersama Abuya dengan disediakannya kopi setiap malam.

Bahkan ketika beliau baru datang dari Saudi Arabia dengan keadaan yang tentunya penuh lelah dan letih, beliau singgah di kediaman salah satu wali murid (H.Yusuf Bekasi) untuk bermalam dan tidak lupa meminta tuan rumah untuk membangunkan beliau. Bahkan, Ustad Hasan juga menelpon ke kantor pondok dan memerintahkan penjaga malam pondok untuk menelpon H.Yusuf agar niatnya membangunkan Abuya pada jam tersebut. Dan banyak lagi amalan atau wirid-wirid yang ditekuni semasa hidup Al-Habib Hasan bin Ahmad Baharun.

Tawakkal dan Keyakinan Yang Luar Biasa, “Idza Azamta fatawakkal Alallah”Al-Hadits. Pada saat krisis ekonomi menimpa bangsa Indonesia beliau justru membangun gedung berlantai tiga untuk madrasah/asrama santri dengan biaya awal hanya sebesar Rp 5.000.000,- sehingga hal tersebut menimbulkan keraguan dari beberapa orang yang diantara mereka datang ke pondok dan bertanya kepada beliau ”Ya Ustadz sekarang masa krisis kok antum malah membangun dan uang yang ada untuk beli besi pondasi saja tidak cukup apalagi untuk membangun bangunan yang memerlukan biaya yang sangat besar!” Namun beliau menjawab dengan jawaban yang penuh keyakinan dan tawakkal kepada Allah swt. “Yang mengalami krisis itu kan cuma Indonesia dan kamu harus yakin bahwa Allah Yang Maha Kaya tidak akan pernah mengalami krisis.” Itulah jawaban spontan yang cukup mencengangkan, tidak terlontar kecuali dari orang-orang yang betul-betul punya tawakkal tinggi.

            Disamping itu apabila beliau dimintai saran-saran oleh panitia masjid dan madrasah beliau selalu menyuruh langsung untuk membongkar masjid yang akan dibangun karena menurut beliau, pembangunan masjid dan madrasah adalah proyek Allah swt., sehingga tidak perlu khawatir dari pertolongan Allah.

            Salah satu cara beliau dalam mendatangkan pertolongan dan bantuan Allah,  adalah dengan bersedekah kepada para fakir miskin dan tukang becak serta para pedagang yang berada di perempatan jalan baik di Bangil ataupun di Gempol. Hal tersebut beliau laksanakan sekitar pukul 02.00-03.00 malam, sebagaimana  yang dikisahkan setelah wafatnya beliau oleh Mohammad Rodi dan Thoyyib Afandi yang senantiasa membantu membagikan shodaqoh yang sering dilakukan oleh Abuya AlmUst. Hasan Baharun.

Keikhlasan, Beliau senantiasa menekankan keikhlasan kepada guru dan santri dalam setiap tindakan sebagaimana beliau lakukan ketika merekrut guru-guru yang akan mengajar di Pondok dan karena guru yang tidak ikhlas akan menularkan ilmu secara berkesinambungan yang tidak ikhlas pula, sehingga apabila ada guru baru biasanya kurang diperhatikan. Hal ini beliau lakukan semata-mata untuk menguji tingkat keikhlasan para guru yang akan mengajar.

            Apabila pondok dirintis dengan niat yang Ikhlas, maka Allah saw. akan mempromosikan sendiri melalui malaikat-malaikatnya kepada kaum muslimin.Bahkan ketika guru-guru mengusulkan untuk membuat papan nama beliau selalu menolak, karena khawatir terbesit rasa tidak ikhlas. Baru sekitar 2 tahun sebelum wafatnya, beliau memperkenankan membuat papan nama karena banyak wali santri yang datang dari jauh selalu kebingungan mencari alamat pondok, itulah alasan yang sering diajukan oleh asatidz.

Dalwa Media Dakwah Online berbagi informasi islam,hukum islam,download aplikasi islam dll.
Tatkala Prof. DR. al-Muhaddits as-Sayyid Muhammad bin Alawi al-Maliki bersama rombongan ulama lainnya pergi berziarah ke Makam Rasulullah Saw., tiba-tiba beliau diberikan kasyaf (tersingkapnya hijab) oleh Allah SWT dapat berjumpa dengan Nabi Saw. 

Di belakang Nabi Muhammad Saw. sangat banyak orang yang berkerumunan. Ketika ditanya oleh as-Sayyid Muhammad al-Maliki: “Ya Rasulullah, siapakah orang-orang itu?”

Rasulullah Saw. pun menjawab: “Mereka adalah ummatku yang sangat aku cintai.”

Dan diantara sekumpulan orang yang banyak itu ada sebagian kelompok yang sangat banyak jumlahnya. 

Lalu as-Sayyid Muhammad al-Maliki bertanya lagi: “Ya Rasulullah, siapakah mereka yang berkelompok sangat banyak itu?”

Rasulullah Saw. kemudian menjawab: “Mereka adalah Bangsa Indonesia yang sangat banyak mencintaiku dan aku mencintai mereka.”

Akhirnya as-Sayyid Muhammad al-Maliki menangis terharu dan terkejut. Lalu beliau keluar dan bertanya kepada jamaah: “Mana orang Indonesia? Aku sangat cinta kepada Indonesia.” (Dikutip dari ceramah Syaikh KH. Muhyiddin Abdul Qadir al-Manafi)


Dalwa Media Dakwah Online berbagi informasi islam,hukum islam,download aplikasi islam dll.
Al-Habib Hamid bin Zaid pernah menempuh pendidikan di Pesantren Darul Mustafa (Hadramaut Yaman) dan telah menikah dengan adik perempuan istri Sayyid Muhammad al-Maliki. Seminggu sebelum Ramadhan 1425 H, Habib Hamid menerima telepon dari Sayyid Muhammad al-Maliki di Mekah dan memintanya supaya datang ke Mekah untuk umrah dan menemuinya.

Habib Hamid memenuhi undangan tersebut dan bersama istrinya segera mempersiapkan segala keperluan untuk keberangkatannya. Tiket dan visa sudah diurus oleh biro perjalanan yang ditunjuk Abuya (panggilan hormat untuk SayyidMuhammad al-Maliki).

“Saya hanya mengurus paspor. Seluruh biaya juga ditanggung Abuya”, kata Habib Hamid.

Hari kedua Ramadhan, Sayyid Muhamad al-Maliki kembali meneleponnya. Beliau meminta Habib Hamid untuk segera terbang ke Mekah. “Kamu harus cepat menyelesaikan urusanmu, segeralah terbang ke Mekah”, pinta SayyidMuhammad al-Maliki terkesan agak cemas.

Hari keempat Ramadhan, kembali beliau menelepon untuk memastikan Habib Hamid dan istrinya jadi berangkat. “Ketika itu Abuya bilang agar saya langsung saja terbang ke Madinah untuk berziarah ke Makam Rasulullah Saw. dan shalat di Masjid Nabawi. Sekali lagi, saat itu, beliau meminta agar secepatnya sampai di Mekah.”

Tepat pada 5 Ramadhan 1425 H, Habib Hamid dan istri terbang menuju Madinah. Di bandar udara, dijemput oleh salah seorang murid Sayyid Muhammadal-Maliki dan membawanya ke hotel yang telah disediakan. Dua hari di Madinah, kemudian terbang ke Mekah. “Saya sampai di Mekah pada tanggal 8 Ramadhan dan langsung istirahat di hotel yang disediakan Abuya. Sorenya baru dijemput oleh Habib Isa bin Abdul Qadir, salah satu murid beliau untuk menemui orang yang paling saya kagumi, Sayyid Muhammad al-Maliki al-Hasani. Sungguh tegang dan jantung berdetak lebih keras dari biasanya.”

Sore itu, seusai sholat Asar, Abuya menerima Habib Hamid di ruang kerjanya. “Beliau memelukku, mengucap selamat datang dan bertanya kabar teman dan muridnya di Indonesia, seperti Habib Abdurrahman Assegaf (Bukit Duri), Habib Abdullah al-Kaf (Tegal), KH. Abdullah Faqih (Langitan) dan ulama lainnya. Saya jawab semua baik-baik saja. Setelah itu saya kembali ke hotel. Beliau pesan, agar nanti berbuka puasa bersama dengannya”, kenang Habib Hamid.

Ketika saat berbuka puasa hampir tiba, utusan Sayyid Muhammadal-Maliki menjemput Habib Hamid. “Hamid, apa yang kau bawa dari Indonesia?” Tanya Abuya tiba-tiba, saat Habib Hamid masuk ke ruang kerjanya.

“Saya membawa dodol durian kesukaan Abuya.” jawab Habib Hamid.

Wajah Sayyid Muhammad al-Maliki tampak gembira sekali. Beliau langsung membagikan oleh-oleh itu kepada teman-teman dan muridnya yang ada di situ. Beliau juga langsung mencicipinya saat buka puasa tiba.

“Ada titipan lagi buat saya?” tanya Abuya lagi.

“Ya, saya membawa buah mangga dan kelengkeng”

Dahi Abuya berkerut. “Kelengkeng? Buah apa itu?” tanya beliau.

Habib Hamid menjelaskan buah kelengkeng dan meminta beliau mencobanya. “Abuya tampak suka sekali buah itu, dan memakannya sampai menjelang shalat Isya.” Tutur Habib Hamid.

Malam itu, tepat malam tanggal 9 Ramadhan 1425 H, Habib Hamid berkesempatan shalat Isya dan Tarawih berjamaah bersama Sayyid Muhammadal-Maliki. Saat itu ikut berjamaah beberapa ulama dari Turki, Mesir dan beberapa negara lain. Tiba-tiba Sayyid Muhamad al-Maliki memanggil Habib Hamid.

“Hamid bin Zaid, kamu jadi imam Tarawih!” kata Sayyid Muhammadal-Maliki. Habib Hamid tidak merasa namanya yang dipanggil, sebab ia merasa tidak mungkin ditunjuk menjadi imam. Sementara di situ banyak ulama besar yang pasti lebih layak menjadi imam shalat Tarawih.

Sekali lagi Sayyid Muhammad al-Maliki memanggil Habib Hamid. “Hamid bin Zaid, kamu yang akan menjadi imam.”

“Sulit dipercaya, saya yang masih muda ini ditunjuk menjadi imam. Sementara di belakang saya ada Abuya dan ulama-ulama besar yang disegani. Sungguh, saya gemetar. Membaca surah al-Fatihah yang biasanya lancar di luar kepala pun, menjadi terasa sangat sulit. Alhamdulillah, saya mampu melewati ujian berat itu dengan baik, meskipun harus gemetaran.” Habib Hamid melanjutkan ceritanya.

Selesai shalat Tarawih, Sayyid Muhammad al-Maliki membaca shalawat dan qasidah. “Menurut murid-muridnya, setiap Ramadhan, seusai shalat, beliau selalu membaca Qasidah Sayyidah Khadijah al-Kubra. Beliau juga sering berziarah ke makam istri pertama Nabi Saw. bersama keluarganya. Sebelum meninggalkan masjid, beliau memanggil dan menyuruh saya umrah malam itu juga.”

“Sebelum saya berangkat umrah, Abuya sempat menanyakan keadaan Indonesia. Beliau ingin berkunjung ke Indonesia, bertemu dengan para ulama dan murid-muridnya. Tapi wakyunya belum tepat, beliau bilang, kesibukan menulis buku dan pertemuan dengan para ulama Mekah, sangat menyita waktunya.”

Pada 10 Ramadhan, kembali Abuya memanggil Habib Hamid untuk shalat Tarawih bersama dan untuk kedua kalinya menyuruhnya umrah. “Ajaklah istrimu untuk umrah dan kembalilah untuk shalat Shubuh berjamaah, pesan Abuya sebelum saya berangkat umrah. Saya pun berpamitan sambil meminta izin untuk pergi ke Jeddah, sekadar silaturrahim ke saudara-saudara istri saya. Abuya hanya memberi izin dengan isyarat tangan dan wajah menunduk. Saya merasa, beliau tidak ingin mengizinkan saya pergi, tapi juga tidak ingin mencegah. Saya akhirnya memutuskan untuk tidak pergi ke Jeddah.”

Pagi hari tanggal 11 Ramadhan, Habib Hamid shalat Shubuh bersama bersama Sayyid Muhamad al-Maliki. Beliau terkejut saat saya berada di sampingnya. “Kamu tidak jadi pergi ke Jeddah?” tanyanya.

“Tidak Abuya”, sahut Habib Hamid.

“Bagus!” jawab Abuya sambil memeluknya.

Malamnya, seperti hari sebelumnya, Habib Hamid berjamaah shalat Tarawih yang diakhiri dengan membaca qasidah Sayyidah Khadijah al-Kubra. Malam itu juga, Habib Hamid mendapat perintah Sayyid Muhammad al-Maliki untuk umrah yang ketiga kalinya.

“Pada 12 Ramadhan, selesai shalat Isya, Abuya menyuruhku untuk umrah yang keempat kalinya. Katanya, itu adalah umrah terakhir atas perintahnya. Perasaan saya memang tak enak saat beliau mengatakan itu. Ah, mungkin beliau punya rencana lain untuk saya besok.”

Rabu 13 Ramadhan, untuk kedua kalinya, Habib Hamid ditunjuk menjadi imam Tarawih oleh Sayyid Muhammad al-Maliki. Saat itu jamaahnya sekitar 200 orang, sebagian besar adalah tamu-tamu Abuya. “Malam itu, beliau merasa letih dan kakinya kesemutan.”

Di luar kebiasaan pula, kali ini, Abuya tidak membaca sholawat dan qasidah. Beliau meminta murid-muridnya, Bilal, Burhan, Aqil al-Aththas dan satu murid asal Kenya, membacakan secara bergantian. Sayyid Muhammad al-Maliki kelihatan sangat lelah. Maklum terkadang selama hampir 24 jam terjaga. Tamunya tak pernah berhenti mengalir, dan di sela waktu luangnya, masih tekun menulis dan membaca buku. Perpustakaan di rumah tinggalnya sampai membutuhkan tiga lantai. Kamarnya juga penuh dengan buku. Selain itu, beliau juga suka berkebun, tanahnya luas. “Abuya juga punya kebun buah yang cukup luas.” Kata Habib Hamid.

Akhirnya, Abuya Sayyid Muhammad al-Maliki masuk rumah sakit untuk menjalani pemeriksaan. Menurut dokter, kondisinya cukup baik, hanya perlu istirahat di rumah sakit. Pada kamis 14 Ramadhan, istri dan keluarga beliau menjenguk. “Apa kabar Hamid bin Zaid, kamu betah di sini?” tanya Abuya ambil memandangku. Seperti biasanya, wajahnya kelihatan gembira, tidak seperti orang yang sedang sakit.

“Kami tidak lama di rumah sakit, karena istri dan anak-anak Abuya akan berziarah ke Ma’la, ke makam Sayyidah Khodijah al-Kubra. Ziarah kali ini aneh. Biasanya istri Abuya tidak pernah turun dari mobil. Beliau membaca sholawat dan qasidah dari dalam mobil. Eh, hari itu beliau dan semua anggota keluarga bersama-sama membaca al-Fatihah di makam istri pertama Rasulullah Saw.” ungkap Habib Hamid.

Malamnya, murid dan kerabat beliau berkumpul di rumah akit. Wajah beliau tidak berubah, tetap gembira, seperti tidak sedang sakit. “Sekitar jam 20.00. dokter datang, dan mengatakan Abuya sudah sembuh. Kami semua memekik, Allahu Akbar!”

      Saat Bulan Purnama Tersaput Awan

Di luar rumah sakit sesaat kemudian, Sayyid Muhammad al-Maliki meminta izin kepada dokter untuk menengok keluarga dan murid-muridnya. Tepat jam 00.00, beliau keluar dari rumah sakit. Sebelum masuk ke mobil, Abuya menghadap ke langit selama dua menit. Bilal, salah satu muridnya bertanya: “Ada apa, Abuya?”

Abuya al-Maliki menjawab: “Tidak ada apa-apa.”

Saat itu, seharusnya bulan sedang purnama sangat indah, namun malam itu justru tertutup awan. “Sebelumnya dalam beberapa hari terakhir, beliau selalu meminta agar murid-muridnya melihat bulan, dan bertanya apakah bulan sudah kelihatan?”

Dari rumah sakit, beliau tidak langsung ke rumah, tapi ke pondok pesantren, untuk menemui murid-murinya. Saat itu jam 03.00. “Saya sendiri yang membukakan pintu gerbang. Setelah itu, datang Sayyid Abbas, adiknya, bersama keluarga yang lain. Kami bersama-sama membaca qasidah, lalu terlibat dalam obrolan yang sesekali diselingi dengan tertawa lebar”, cerita Habib Hamid sambil mengenang peristiwa penting itu.

Pertemuan malam itu, katanya, diakhiri dengan sahur bersama. Sebelumnya, Abuya sempat bertemu kakaknya dan bikin perjanjian untuk berbuka puasa hanya dengan tiga buah kurma dan air zamzam. “Pas jam 04.00, beliau meminta semuanya istirahat dan bersiap shalat Shubuh. Beliau sendiri masuk ke kamar kerjanya.”

Di kamar itu, beliau ditemani Bilal dan Burhan. Tapi Bilal diminta keluar kamar. Saat itulah, Sayyid Muhammad al-Maliki tiba-tiba bertanya kepada Burhan. “Hai, Burhan. Aku sebaiknya istirahat di kursi atau di bumi (maksudnya karpet)?”

“Terserah Abuya.” Sahut Burhan bingung, karena tidak tahu harus menjawab Abuya. Bagaimana mungkin seorang murid memutuskan sesuatu untuk gurunya?

“Saya akan istirahat di bumi saja.” Kata Sayyid Muhammad al-Maliki.
Beliau kemudian duduk menghadap kiblat dan bersandar. Sesaat, sempat mengambil buku dari tangan Burhan. Tapi kemudian, diletakkan di meja, lalu beliau menengadah menyebut, “Lailaaha illallah….”

“Innalillahi wainna ilaihi raji’un...” hanya itu yang terucap dari mulut Burhan. Hari tepat tanggal 15 Ramadhan 1425 H atau 29 Oktober 2004, saat pagi mulai membuka kehidupan, Sayyid Muhammad bin Alawi bin Abbas al-Maliki al-Hasani wafat. Jenazah almarhum langsung dibawa ke rumah sakit. Dokter menyuruh semua keluarga dan murid-murid beliau untuk pulang ke Pondok Pesantren.

Tepat seusai shalat Shubuh, ambulan rumah sakit yang membawa jenazah Abuya, tiba di kediaman beliau. “Saya pingsan. Ya, sepertinya, pertemuan saya dengan beliau hanya untuk mengantarkan jenazahnya ke Ma’la, tempat beliau dimakamkan, dekat dengan makam Sayyidah Khadijah al-Kubra, yang qasidahnya dibaca setiap kali selesai shalat Tarawih.”

      Berkah Doa Al-Fatihah

Mari kita hadiahkan al-Fatihah untuk Guru kita al-‘Allamah al-Muhaddits Prof. Dr. as-Sayyid Muhammad bin Alawi al-Maliki al-Hasani. Beliau wafatnya pada hari Jum’at, malam 15 Ramadhan di waktu sahur, wafat di saat beliau beristighfar di waktu Sahur, pada malamnya beliau tidak mengajar kitab-kitab namun banyak menceritakan perihal surga dan menyatakan hasratnya untuk bertemu dengan ayahnya, Sayyid Alawi al-Maliki.

Beliau wafat hari Jumat 15 Ramadhan 1425 H bertepatan dengan tanggal 29 Oktober 2004 M dan dimakamkan di pemakaman al-Ma’la di samping makam istri Rasulallah Saw. Khadijah binti Khuailid Ra. dengan meninggalkan 6 putra, Ahmad, Abdullah, Alawi, Ali, al- Hasan dan al-Husein dan beberapa putri-putri yang tidak bisa disebut satu persatu di sini.

Ilaa hadhrotinnabiyil musthofa rosulullah shollallohu ‘alaihi wasallam, wa ila ruuhi sayyid muhammad bin alawi al-maliki qoddasallahu sirrohu wanawwaro dloriihahu, al-Fatihah...
Dari berbagai sumber.