Siapakah yang tidak mengenal kitab Ihya
Ulumuddin karya imam al-Ghazali ? namanya sahaja sudah tidak asing di
telinga kaum muslimin, dan dibaca umat muslim dengan panduan para ulama
di seluruh penjuru dunia.
“Hampir Saja Posisi Ihya Menandingi Al-Qur’an” (maksudnya adalah karena sangat banyaknya umat muslim yang mengulang-ngulang pembacaan ihya).
Sanjungan Tersebut Disampaikan Oleh Tokoh Karismatik `Ulama’ul-Islam
Al-Imam Al-Faqih Al-Hafizh Abu Zakariya Muhyiddîn An-Nawawi Atau Lebih
Dikenal Dengan Sebutan Imam Nawawi Shahibul-Majmu`, Yang Hidup Dua Abad
Pasca Imam Ghazali.
Quthbil-’Auliya’ As-Sayyid Abdullah
Al-`Aydrus Berpesan Kepada Segenap Umat Islam Untuk Selalu Berpegang
Teguh Pada Al-Qur’an Dan Sunnah. Sedangkan Penjelasan Keduanya, Menurut
Beliau, Telah Termuat Dalam Kitab Ihya Ulumiddin Karya Imam Ghazali.
Dua Komentar Ulama Tadi Telah
Membuktikan Keagungan Kitab Ini Dan Besarnya Anugrah Yang Diraih Oleh
Imam Ghazali. Sampai-Sampai Kritikus Dan Peneliti Hadis Ihya, Al-Imam
Al-Faqih Al-Hafîzh Abul Fadhl Al-`Iraqi, Turut Memberikan Apreseasi
Positif Terhadap Kitab Yang Ditakhrijnya Itu. Beliau Menempatkan Ihya
Sebagai Salah Satu Kitab Teragung Di Tengah-Tengah Khazanah Keilmuan
Islam Yang Lain.
Begitu Pula Al-Faqih Al-`Allamah
Isma`Il Bin Muhammad Al-Hadhrami Al-Yamani Ketika Ditanya Tentang
Karya-Karya Imam Ghazali; Beliau Menjawab : “Muhammad Bin Abdillah
Adalah Sayyidul-’Anbiya’, Muhammad Bin Idris As-Syafi’i
Sayyidul-A’immah, Sedangkan Muhammad Bin Muhammad Bin Muhammad
Al-Ghazali Adalah Sayyidul-Mushannifîn“.
Imam al-Iraqi mengatakan dalam takhrij kitab Ihyanya :
إنه من أجل كتب الإسلام في
معرفة الحلال والحرام، جمع فيه بين ظواهر الأحكام، ونزع إلى سرائر دقت عن
الأفهام، لم يقتصر فيه على مجرد الفروع والمسائل، ولم يتبحر في اللجة بحيث
يتعذر الرجوع إلى الساحل، بل مزج فيه علمي الظاهر والباطن، ومرج معانيها في
أحسن المواطن، وسبك فيه نفائس اللفظ وضبطه، وسلك فيه من النمط أوسطه،
مقتدياً بقول علي كرم الله وجهه: خير هذه الأمة النمط الأوسط يلحق بهم
التالي ويرجع إليهم الغالي
“ Kitab Ihya Ulumuddin adalah
termasuk kitab Islam paling agung dalam mengetahui halal dan haram,
menghimpun hukum hakam zahir, dan mencabutnya kepada rahasia-rahasia
yang sangat dalam pemahamannya. Tidak cukup hanya masalah furu’ dan
persoalannya, dan tidak pula membiarkan mengarungi lebih dalam ke dasar
samudera sehingga tidak mampu kembali ke tepian, akan tetapi beliau
mengumpulkan antara ilmu zahir dan ilmu bathin, menghiasai
makna-maknanya dengan sebaik-baik tempatnya. Menuturkan mutiara-mutiara
lafaz dan dhabtntya. Menggunakan manhaj tengah-tengah (adil) karena
mengikuti ucapan imam Ali, “ Sebaik-baik urusna umat ini adalah yang
tengah-tengah, yang diikuti generasi selanjutnya dan orang yang
berlebihan kembali padanya “. (Ta’rif al-Ahya bi Fadhail al-Ihya : 9)
Sungguh Agung Sanjungan Ulama-Ulama
Tersebut Terhadap Kitab Ihya Dan Al-Ghazali. Karenanya, Tidak Berlebihan
Bila Syarih (Komentator) Kitab Tersebut, Murtadha Az-Zabîdi,
Memunculkan Sebuah Imege “Andaikan Masih Ada Nabi Setelah Muhammad Rasulullah, Niscaya Al-Ghazali Orangnya”. (Ittihaf as-Sadah al-Muttaqin : 1/9)
Mengenal Ihya Ulumiddin
Dalam penyalinannya, kitab Al-Ihya dianggap
sebagai kitab yang sangat hebat karena didalamnya mampu merangkum
berbagai jenis Ilmu. Awalnya penyalinan dilakukan dengan cara tulisan
tangan (makhtutoh) sebagaimana DR.Badawi, penulis kitab Muallafat Al-Ghazali, memberi keterangan, awalnya makhtutoh Al Ihya dibuat sebanyak hampir 120 makhtutoh yang kemudian di simpan di perpustakaan-perpustakaan terkenal didunia, seperti Perpustakaan Darul Kutub Al-Misriyyah, Al-Azhar, Paris, Istanbul, Algeria, Teheran dan
banyak lagi yang lainnya. Setelah zaman-zaman percetakan, cetakan terus
dilakukan dan di perbanyak sehingga menjadi tersebar ke berbagai Negara
Muslim.
Pada masa sebelum ada mesin cetak, saat masih berbentuk makhtutoh, Imam Al-Qutb Sultonul Mala’ As-Syeikh Abdullah bin Abi Bakar Al-Idrus mengatakan; “Surga bagi siapapun yang menulis kitab Ihya Ulumuddin dengan tangannya dan membaginya menjadi 40 jilid.” Maka di zaman beliau kitab Ihya Ulumuddin menjadi tersebar ke berbagai penjuru.
Setelah di baca dan pelajari, banyak
para ulama yang menjadi terkagum-kagum dengan isi kitab Ihya tersebut.
Sampai mereka mengatakan bahwa perbedaan antara Ulama yang bertaqwa
dengan Ulama dunia yang sesat adalah hubungan erat mereka dengan
kitab-kitab Imam Al-Ghazali. Ulama yang mencintai kitab Imam Ghazali adalah ulama yang bertaqwa kepada Allah sedangkan yang membencinya adalah para pecinta dunia yang hina. Sebab, Al-Ghazali dalam
kitab-kitabnya banyak mempermalukan dunia dan para pecintanya serta
para ulama yang tenggelam dalam kecintaan kepada dunia.
Disamping Karena Cakupan Materi Yang
Tersaji Di Dalamnya, Kitab Ini Juga Ditopang Oleh Jurnalistik Yang
Sistematis. Sistematika Penulisan Yang Begitu Rapi Menjadikan Ihya Lebih
Menarik Dan Mudah Dibaca Oleh Berbagai Kalangan; Sederhana, Berbobot,
Dan Tidak Terlalu Meluas Dalam Penyajian. Lagi Pula Istilah-Istilah
Rumit Juga Jarang Ditemui Dalam Pembendaharaan Kata Yang Terpakai.
Imam Ghazali Telah Mengkonsep Materi
Yang Ditulisnya Dalam Empat Klasifikasi Kajian Pokok. Dari
Masing-Masing Klasifikasi Tersebut Terdapat Sepuluh Entri Pembahasan
Utama (Kitab). Secara Global, Isi Keseluruhan Kitabnya Telah Mencakup
Tiga Sendi Utama Pengetahuan Islam, Yakni Syari`At, Thariqat, Dan
Haqiqat. Imam Ghazali Juga Telah Mengkoneksikan Ketiganya Dengan Praktis
Dan Mudah Ditangkap Oleh Nalar Pembaca. Sehingga, As-Sayyid Abdullah
Al-`Aydrus Memberikan Sebuah Kesimpulan Bahwa Dengan Memahami Kitab Ihya
Seseorang Telah Cukup Untuk Meraih Tiga Sendi Agama Islam Tersebut.
Inilah Dibeberapa Alasan Kenapa
Kitab Ini Sangat Digemari Oleh Banyak Kalangan. Oleh Fukaha, Ihya
Dijadikan Sebagai Rujukan Standar Dalam Bidang Fikih. Oleh Para Sufi,
Kitab Ini Menjadi Materi Pokok Yang Tidak Boleh Ditinggalkan. Kedua
Studi Ilmu Tersebut Telah Tercover Dalam Karya Momumental Imam Ghazali
Ini. Karenanya Al-Habîb Muhammad Luthfy Bin Yahya, Pimpinan Jam`Iyah
Thariqah Mu`Tabarah Nahdiyah Yang Sekaligus Mursyid Thariqah Naqsabandi,
Menyebut Ihya Sebagai Panduan Utama Tasawuf Bagi Pemula, Atau Dalam
Dunia Tasawuf Dikenal Dengan Istilah Tasawwuful-Fuqaha’.
Sebenarnya, Tidak Hanya Dua Kelompok
Ini Yang Banyak Mereferensi Ihya, Para Teolog Islam Juga Menganggap
Penting Untuk Menempatkan Ihya Sebagai Bahan Dasar Kajian. Paradigma
Bertauhid Yang Disajikan Imam Ghazali Di Awal Pembahasan Kitab Ihya
Sangat Membantu Pada Pencerahan Akal Dalam Proses Penggesaan Allah. Imam
Ghazali Mampu Mengarahkan Logika Pembaca Pada Sebuah Kesimpulan Yang
Benar Dalam Bertauhid Dengan Nalar Berfikir Yang Tepat Dan Berdiri Kokoh
Di Atas Dalil-Dalil Naqli. Ibnu Taimiyyah sendiri yang termasuk
pengkritik imam Ghazali, ketika membantah kaum filosof dalam kitabnya
Minhaj as-Sunnah, amat sering menukil huruf demi huruf hujjah imam
Ghazali dalam Tahafut al-Falasifah dan menyebutkan contoh-contoh yang
disebutkan oleh imam Ghazali.
Koreksi Terhadap Ihya
Meskipun Posisi Ihya Di
Tengah-Tengah Keilmuan Islam Sangat Tinggi, Bukan Berarti Kitab Ini
Terlepas Sepenuhnya Dari Koreksi Dan Kritik. Banyak Sekali Komentar
Negatif Dan Bantahan Yang Ditujukan Kepada Imam Ghazali Atas Karya
Momumentalnya Ini, Utamanya Dalam Studi Hadis Yang Beliau Sajikan.
Hadis-Hadis Ihya Ditengarai Banyak Bermasalah Oleh Beberapa Kritikus
Hadis. Keberadaannya Menjadi Sorotan Utama Dan Sebagai Bahan Pokok
Kritikan Para Rival Al-Ghazali, Semisal Al-Hafizh Abul Faraj Abdurrahman
Ibnu Al-Jauzi. Ibnul Jauzi Yang Dikenal Anti Ihya Banyak Memfonis Palsu
Pada Hadis-Hadis Yang Ditulis Imam Ghazali Dalam Kitab Tersebut.
Dinamika Inilah Yang Selanjutnya
Diangkat Kepermukaan Oleh Kelompok Ekstrimis Dan Orentalis Untuk Menolak
Sepenuhnya Isi Kitab Ihya Ulumiddin. Lebih-Lebih, Kelompok Ini Tanpa
Malu-Malu Menyebut Al-Ghazali Sebagai Pemalsu Hadis. Pemalsuan Tersebut,
Dalam Pandangan Mereka, Merupakan Hal Wajar Karena Imam Ghazali Tidak
Membidangi Studi Hadis Dalam Kajian Keislamanya.
Membela Ihya Al-Ghazali
Benarkah Al-Ghazali Pemalsu Hadis?
Atau Memang Beliau Tidak Membidangi Studi Ini? Dan Apakah Kitab Ihya
Banyak Memuat Hadis Palsu Sehingga Tidak Layak Untuk Dipelajari? Berikut Sebagai Bahan Pertimbangan Ilmiah Sebelum Pembaca Ikut Mengiyakan Tuduhan Tersebut:
Pertama,
Apabila Dikatakan Bahwa Kitab Ihya Banyak Memuat Hadis-Hadis Palsu Dan
Tidak Terdapat Landasan Ilmiah Dalam Pembelaannya, Maka Tuduhan Ini
Terlalu Tergesa-Gesa. Terhitung, Hanya Tiga Redaksi Hadis Yang Diklaim
Maudhû` Oleh Al-Hafizh Al-`Iraqi. Pernyataan tersebut muncul setelah Al
Iraqi melakukan takhrij lebih dari 4500 hadis di dalam kitab Ihya.
Al-Imam Zainuddin Al-Iraqi menulis takhrij tentang hadits-hadits yang terdapat dalam Ihya Ulumuddin.
Banyak dari hadits hadits tersebut yang sanadnya bersambung. Diantara
hadits hadits tersebut ada yang shahih, hasan, dan dhaif. Juga ada
hadits-hadits dimana Al-Imam Zainuddin Al-Iraqi tidak mengetahuinya
sehingga beliau menyatakan dengan pernyataan yang penuh adab dan
penghormatan:
لم أجد له أصل
“ saya belum mendapatkan asal usulnya. “
Ketidaktahuan Al-Imam Zainuddin Al-Iraqi tentang asal usul hadits tersebut bukan berarti hadits tersebut langsung menjadi PALSU atau MAUDHU. Beliau mungkin belum mengetahuinya, namun ulama-ulama lain mengetahuinya.
Apabila Kita Memandang Jumlah Hadis
Yang Ditampilkan Oleh Imam Ghazali Secara Keseluruhan. Setidaknya,
Kuantitas Hadis Imam Ghazali Dalam Kitab Ihya-Nya Telah Setingkat Dengan
Beberapa Kitab Sunan, Semisal Sunan Abî Dâwud, Sunan Nasâ’i, Dan Bahkan
Dapat Dikatakan Melebihi Bilangan Hadis Yang Terdapat Dalam Sunan Ibnu
Majah.
Banyak pendapat para ulama yang sering dijadikan sandaran untuk melemahkan Ihya, diantaranya pendapat Ibnu Jauzi, Al Iraqi, Assubki.
Imam Ibnu Jauzi berkata :
“Ketahuilah, bahwa kitab Ihya Ulumuddin di
dalamnya terdapat banyak kerusakan (penyimpangan) yang tidak diketahui
kecuali oleh para ulama. Penyimpangannya yang paling ringan
(dibandingkan penyimpangan-penyimpangan besar lainnya) adalah
hadits-hadits palsu dan batil (yang termaktub di dalamnya), juga
hadits-hadits mauquf (ucapan shahabat atau tabi’in) yang dijadikan
sebagai hadits marfu’ (ucapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam).
Semua itu dinukil oleh penulisnya dari referensinya, meskipun bukan dia
yang memalsukannya. Dan (sama sekali) tidak dibenarkan mendekatkan diri
(kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala) dengan hadits yang palsu, serta
tidak boleh tertipu dengan ucapan yang didustakan (atas nama Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam).” (Minhaajul Qaashidiin, sebagaimana yang dinukil dalam Majalah Al-Bayaan, edisi 48 hal. 81)
Jika kita ingin memandang lebih jauh, sebenarnya Imam Ibnu Jauzi sama sekali tidak menjatuhkan kitab ilya atau berniat menyingkirkannya dari umat.
Berkata Ibnul Jauzi tentang latar belakang dan metode penyusunan kitabnya:
“Kitab Ihya Ulumuddin karya Imam
Al-Ghazali memiliki beberapa kekurangan yang hanya pakar/ahli ilmu
(hadits) yang menyadarinya (mengenalinya), seperti pada riwayat yang
disandarkan kepada Nabi S.A.W namun ternyata maudhu atau tidak shahih.
Oleh karena itu, aku menyusun sebuah kitab yang terbebas dari masalah
tersebut tadi, dengan tetap mempertahankan keutamaan (kebaikan) dari kitab aslinya (Al-Ihya).
Dalam kitabku ini, aku bersandar hanya pada riwayat yang asli dan
terkenal, dan aku hilangkan atau tambahkan dari kitab aslinya (Al-Ihya)
apa yang dirasa perlu.”(Mukhtasar Minhajul Qashidin, Ibnu Daar Al-Manarah Mesir, bab Mukadimah)
Dari keterangan ini Ibnul Jauzi hanya berfokus kepada penelitian
ulang derajat hadits-hadits yang ada, kemudian melakukan eliminasi
terhadap hadits-hadits yang maudhu, dhaif dan mauquf dan kemudian beliau
gantikan dengan dalil yang shahih dan hasan, sehingga didapatkan sebuah
kitab yang kokoh sebagai pegangan. Dan sama sekali tidak mengatakan
kitab tersebut sesat, atau harus di singkirkan.
Pernyataan Ibnu Jauzi itu bisa menjadi perbincangan ketika munculnya berbagai sanggahan yang muncul dari banyak para muhadditsin dan ulama yang mendukung Ihya. Diantaranya adalah Imam Jalaluddin Assuyuthi dalam kitabnya Al Qaulul Hasan.
Setelah masa imam al-Iraqi, datanglah seorang ulama besar berasal dari Zabid, Yaman yang bernama Al-Imam Al-Muhaddits Al-Hujjah Muhammad bin Muhammad bin Murtadho Az-Zabidi bersama kitab beliau berisi sepuluh jilid yang merupakan syarah kitab Ihya Ulumuddin.
Dalam kitab tersebut Al-Imam Muhammad Az-Zabidi menuliskan asal usul
hadits-hadits pada Ihya Ulumuddin dengan banyak, yang mana sanad itu
tidak di ketahui oleh Imam Iraqi. Az-Zabidi berkata :
“Al-Iraqi pernah menyatakan
tentang hadits ini dan beliau berkata tidak mengetahui asal usulnya,
tetapi saya sudah mendapatkan sumber dan asal usulnya”
Az-Zabidi juga menjawab kritikan
beberapa ulama atas imam al-Ghazali seperti ath-Thurthusi, al-Marizi,
Ibnu Taimiyyah dan lainnya dengan jawaban yang cukup ilmiyyah dan
memuaskan. Beliau juga menjelaskan dengan bijak dan ilmiyyah beberapa
ucapan dalam Ihya yang dinilai para pengkritiknya bertentangan dengan
syare’at.
Beliau juga menyebutkan beberapa
hujjah dan pendapat para ulama ahli hadits atas bolehnya menyebutkan
riwayat hadits dengan makna yang sering dilakukan imam al-Ghazali di
dalam kitab Ihyanya tersebut.
Terkait takhrij yang beliau
tampilkan ketika mentakhrij hadits-hadits dalam kitab Ihya Ulumuddin
tersebut, metode beliau umumnya tidak jauh berbeda dengan para ulama
pendahulunya dan beliau pun lebih melengkapi refrensi takhirj sebelumnya
yang tidak diketahui asalnya saat itu oleh al-Iraqi. Maka hadits-hadits
Ihya Ulumuddin yang dinilai dhaif oleh al-Iraqi atau az-Zabidi,
kemungkinan imam al-Ghazali memakai isnad lainnya yang dimiliki atau
dibaca oleh al-Ghazali dan tidak sampai pada mereka apalagi kita yang
hidup sekarang ini. Dan bisa jadi al-Ghazali menggunakan rujukan kitab
selain kitab-kitab yang menjadi rujukan al-Iraqi dan az-Zabidi.
Az-Zabidi terkadang juga memiliki pandangan yang berbeda dari penilaian
ulama hadits lainnya ketika mentakhrij hadits dalam Ihya Ulumuddin.
Sebagai contoh, Hadits :
إذا طنت أذن أحدكم فليذكرني وليصل علي، وليقل: ذكر الله بخير من ذكرني
“ Jika telinga seorang dari kalian
berdenging, maka sebutlah aku dan bersholawatlah atasku serta ucapkan,
Semoga Allah menyebutkanya dengan kebaikan bagi orang yang menyebutku “.
(HR. Ath-Thabrani)
Hadits ini disebutkan dalam kitab Ihya Ulumuddin oleh al-Ghazali. Hadits ini dinilai palsu oleh Ibnul Jauzi dan al-Albani[1]
karena ada perawi bernama Muhamamd bin Ubaidillah bin Abu Rafi’
Al-Hasyimi Al-Kufi yang dinilai Munkarul hadits oleh sebagian ulama
jarh. Namun jumhur ulama hadits menilainya dhaif. Asy-Syakhawi dalam
al-Maqashid al-Hasanah menilainya dhaif[2]. Al-Iraqi juga menilai sanadnya dhaif[3]. Al-Ijluni juga menilainya dhaif[4] dan ulama hadits lainnya. Bahkan az-Zabidi sendiri memiliki pandangan berbeda yang menguatkan hadits tersebut, ia berkomentar :
لكن قال الهيثمي: إسناد
الطبراني في الكبير حسن. وهذا يبطل من زعم ضعفه فضلاً عن وضعه كابن الجوزي
والعقيلي، ونقل المناوى في شرحه على الجامع أنه رواه ابن خزيمة في صحيحه
باللفظ المذكور عن أبي رافع، وهو ممن التزم تخريج الصحيح فاعرف ذلك
“ Akan tetapi al-Haitsami mengatakan,
“ Isnad ath-Thabarani di dalam al-Mu’jam al-Kabirnya bernilai hasan “.
Ini membatalkan hujjah orang yang menilai hadits ini dhaif apalagi
menilainya palsu seperti Ibnul Jauzi dan al-‘Uqaili. Al-Munawi menukil
dalam syarh Jami’nya bahwasanya hadits itu diriwayatkan oleh Ibnu
Khuzaimah dalam sahihnya dengan lafadz tersebut dari Abi Rafi’,
sedangkan beliau (Ibnu Khuzaimah) termasuk orang yang valid di dalam
mentakhrij hadits, maka ketahuilah itu “.[5]
Ini artinya az-Zabidi memiliki
penilaian berbeda terhadap riwayat hadits tersebut, di mana al-Iraqi dan
ulama lainnya menilainya dhaif dan Ibnul Jauzi menilainya palsu, namun
az-Zabidi menilainya hasan dengan bersandar pada hujjah al-Haitsami.
Kedua,
Perlu Dipahami Bahwa hadits-hadits lemah atau beberapa hadits palsu,
bukanlah Refensi Utama Imam Ghazali, Malainkan Sekedar Tambahan Dari
Dalil Shahîh Yang Mendasari Ijtihadnya. Imam Ghazali Selalu Mendahulukan
Landasan Ijtihadnya Dengan Dasar Yang Shahîh Sebelum Kemudian
Menampilkan Dalil Lain Yang Selevel Atau Di Bawahnya.
Dan Sekali Lagi, Bilangan Tersebut
Sangatlah Kecil. Tentu Sangat Na’if Bila Bagian Kecil Dari Kekeliruan
(Untuk Tidak Mengatakan Kesalahan Karena Keduanya Memiliki Perbedaan
Makna Yang Signifikan) Tersebut Dapat Menghapus Pada Seluruh Kebenaran
Yang Terkandung Dalam Kitab Ihya. Generalisasi Seperti Ini Merupakan
Salah Satu Bentuk Paralogis Yang Biasa Dipakai Oleh Bandit Intelektual
Ketika Menghantam Lawan Pemikirannya. Atau Dalam Istilah Kita Disebut
Dengan Gebyah Uyah Tanpa Memandang Esensi Kebenaran Lain Yang Lebih
Berharga.
Al-Hafidz Ibnu Katsir lebih inshaf (bijak) memandang kitab Ihya Ulumuddin :
وهو كتاب عجيب يشتمل على
علوم كثيرة من الشرعيات ، وممزوج بأشياء لطيفة من التصوف وأعمال القلوب ،
لكن فيه أحاديث كثيرة غرائب ومنكرات وموضوعات ، كما يوجد في غيره من كتب الفروع التي يستدل بها على الحلال والحرام ، فالكتاب الموضوع للرقائق والترغيب والترهيب أسهل أمراً من غيره
“ Ia adalah kitab bagus
(mengaggumkan) yang terdiri dari ilmu-ilmu syare’at yang banyak, berisi
perkara-perkara lembut dari isu tasawwuf dan perbuatan-perbuatan hati.
Akan tetapi di dalamnya banyak hadits gharib, munkar dan palsu, sebagaimana
didapatkan (hadits-hadits itu) di kitab-kitab furu lainnya yang
dijadikan dalil atas perkara halal dan haram. Adapun kitab Ihya
Ulumuddin itu, objeknya adalah dalam isu Raqaiq, targhib dan tarhib yang
urusan haditsnya lebih ringan dari selainnya “. (al-Bidayah wa an-Nihayah : 12/174)
Bahkan al-Imam al-Hafidz Ibnu Hajar
sering berhujjah dengan kalam imam al-Ghazali dalam isu hadits di
kitabnya at-talkhish al-Habir dan lebih sering dalam kitabnya Fath
al-Bari. Demikian juga al-Hafdiz Ibnu Katsir sering membawakan kalam
imam al-Ghazali dalam kitab tafsirnya.
Ketiga,
Apabila Dikatakan Bahwa Imam Ghazali Tidak Kapabel Dalam Studi Hadis
Maka Sangat Keliru Sekali. Al-Mustashfâ Karya Al-Ghazali Di Bidang Usul
Fikih Cukup Kiranya Untuk Membuktikan Kapabelitas Beliau Dalam Bidang
Kajian Hadis. Dalam Kitab Tersebut, Tepatnya Pada Entri Pembahasan
Sunnah, Imam Ghazali Telah Panjang Lebar Menuturkan Konsep Dan
Perdebatan Ulama Mengenai Dinamika Kajian Hadis, Utamanya Yang Berkenaan
Dalam Proses Istinbâtul-Ahkâm. Bahkan, Al-Ghazali Juga Sempat
Memberikan Tarjîh Ketika Terjadi Perselisihan Alot Antara Ulama, Baik
Itu Yang Muncul Dari Kalangan Ushûliyyin Atau Muhadditsîn.
Dalam sejarah beliau, ketika kembali ke Thus, beliau justru memperdalam ilmu hadits dengan beberapa ulama ahli hadits :
وكان الغزالي لم يتفرغ
لدراسة الحديث فأقبل عليه في آخر حياته واستدعى أبا الفتيان، عمر بن أبي
الحسن الرواسي الحافظ الطوسي، و أكرمه وسمع عليه صحيحي البخاري ومسلم
“ Konon al- Ghazali tidak memfokuskan
pelajaran hadits, maka beliau mulai fokus ilmu hadits di akhir hayatnya
dan mengajak Abu al-Fatyan Umar bin al Hasan ar-Rawasi al –hafidz
ath-Thusi, beliau menghormati al- Ghazali dan mendengarkan (secara
sanad) padanya kitab Sahih Bukhari dan Muslim “. (Thabaqat asy-Syafi’iyyah al-Kubra : 6/200)
وممن سمع الغزالي عنهم الحديث: أبو سهل محمد بن عبد الله الحفصي، سمع منه صحيح البخاري
“ Dan di antara ulama yang al-Ghazali
belajar hadits darinya adalah; Abu Sahl Muhammad bin Abdullah al-Hafshi,
ia belajar (dengan sanad) sahih Bukhari darinya “ (Thabaqat
asy-Syafi’iyyah al-Kubra : 6/210)
والحاكم أبو الفتح الحاكمي الطوسي سمع منه سنن أبي داود
“ Dan al-Hakim Abul Fath al-Hakimi ath-Thusi, beliau mendengar darinya Sunan Abu Dawud “. (Thabaqat asy-Syafi’iyyah al-Kubra : 6/210)
Keempat,
Ancaman Rasulullah SAW Kepada Para Pemalsu Hadis Hanya Tertuju Kepada
Pemalsu Yang Sengaja Berspekulatif. Hal Tersebut Terbukti Dari Tambahan
Redaksi `Amdan Atau Muta`Ammi dan Dalam Beberapa Riwâyat Shahîh Dari
Kutubis-Sittah. Husnuzh-Zhan Kita, Kesengajaan Dalam Pemalsuan Hadis
Tidak Akan Terjadi Pada Ulama Sekaliber Al-Ghazali. Terlalu Rendah
Intelektualisme Al-Ghazali Bila Harus Memalsukan Hadis Untuk Menopang
Pemikirannya. Imam Ghazali Sendiri Telah Meletakkan Sebuah Prinsip Bahwa
Pemalsuan Hadis Dengan Alasan Apapun Tidak Diperkenankan. Pernyataan
Tersebut Sebagai Penangkis Terhadap Dugaan Bolehnya Memalsukan Hadis
Untuk Fadha’ilul-A`Mal Atau Pencegah Tindakan Tercela. Menurut
Al-Ghazali Keberadaan Ayat Dan Hadis Sahih Telah Cukup Untuk Memenuhi
Tujuan Tersebut.
Dari Sini, Kita Dapat Menyimpulkan
Bahwa Penulisan Hadis Palsu Dalam Literatur Imam Ghazali Muncul Dari
Unsur Ketidak Sengajaan Atau Keliru. Dalam Pembendaharaan Kata Arab
Istilah Yang Dipakai Untuk Menyatakan Makna Ini Adalah Kata Khatha’
Bukan Ghalath. Abu Hilal Al-Hasan Abdullah Bin Sahal Al-`Askari
Membedakan Antara Keduanya Dengan Menitiktekankan Terhadap Ada Dan
Tidaknya Unsur Kesengajan. Jika Memang Sengaja Maka Disebut Ghalath Dan
Khata’ Apabila Sebaliknya.
Kemudian, Kesimpulan Ini Dihadapkan Pada Sabda Nabi Shalllahu ‘alaihi wa sallam “Rufi`A `An Ummati Al-Khata’“,
Yakni Diantara Perbuatan Umat Islam Yang Dimaklumi (Dimaafkan) Adalah
Tindakan Yang Muncul Tanpa Adanya Unsur Kesengajaan (Khatha’); Bukan
Yang Memang Bertujuan Salah (Ghalath). Karenanya, Tiada Dosa Bagi
Tindakan Yang Muncul Tanpa Disengaja. Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-`Asqalani
Telah Mengutip Adanya Konsesus Ulama Akan Hal Ini, Termasuk Keliru Dalam
Meriwayatkan Hadis.
Bahkan imam Al-`Iraqi Juga
Memberikan Sebuah Pembelaan Bahwa Sebagaian Dari Hadis Maudhû` Tadi
Disampaikan Tanpa Memakai Shighat Riwayat. Sehingga, Dalam Studi
Methodologi Hadis, Imam Ghazali Tidak Dapat Diposisikan Sebagai Perawi
Yang Mendapat Ancaman Dari Baginda Nabi Muhammad Shallahu ‘alaihi wa
sallam.
Kelima,
Apabila Kita Bercermin Pada Takhrij Al-Hafizh Al-Iraqi, Maka Tidak Akan
Ditemukan Lebih Dari Tiga Hadis Yang Disepakati Kepalsuannya. Namun,
Berbeda Apabila Kita Mengacu Pada Komentar Al-Hafizh Ibnu Al-Jauzi.
Terdapat Sekitar Dua Puluh Lima Hadis Yang Diklaim Maudhû` Olehnya.
Ibnul Jauzi Memang Dikenal Sebagai Ulama Yang Sembrono Dalam Memfonis
Palsu Sebuah Hadis. Sikap Kontroversi Ibnul Jauzi Ini Banyak Mendapat
Sorotan Kritis Dari Para Muhadditsîn. Sehingga, Banyak Klaim Yang
Dilontarkan Ibnul Jauzi Justru Mendapat Bantahan Balik.
Al-Hafizh Al-`Iraqi Dan Al-Hafizh
Ibnu Hajar Al-`Asqalani Memberikan Sanggahan Khusus Terhadap Tuduhan
Palsu Ibnul Jauzi Akan Kesahihan Beberapa Riwayat Imam Ahmad. Sedangkan
Al-Hafizh Jalaluddîn As-Suyûthi Menulis Al-Qaul Al-Hasan Fîdz-Dzabbi
`Anis-Sunnan Yang Secara Umum Membantah Segenap Tuduhan Palsu Ibnul
Jauzi Terhadap Riwayat Imam Bukhari, Muslim, Ahmad, Dâwud, Turmuzi,
Nasâ’i, Ibnu Majah, Mustadrak Al-Hakim, Dan Beberapa Hadis Lagi Di
Berbagai Literatur Yang Lain.
Ringkasnya, Sebagaimana Yang Telah
Disimpulakan Oleh As-Syaikh Muhammad Mahfûzh Bin Abdullah At-Turmusi,
Mayoritas Hadis Yang Diklaim Palsu Oleh Ibnul Jauzi Dalam Beberapa Karya
Kritisnya, Semisal Al-Maudhû`At Dan Al-`Ilal Al-Mutanâhiyah, Adalah
Hadis Shahîh, Hasan Atau Juga Dha`Îf. Kesimpulan Ini Diperkuat Dengan
Adanya Pernyataan Ibnu Shalah Bahwa Ibnul Jauzi Memang Banyak Memfonis
Palsu Terhadap Hadis Dha`Îf Tanpa Ada Dasar Kepalsuan.
Fakta Lain Berbicara Mengejutkan
Ketika Kita Menyimak Berbagai Karya Ibnul Jauzi; Tidak Hanya Kedua Kitab
Di Atas, Utamanya Di Bidang Mawâ`Izh Dan Tasawuf, Semisal Bahrud-Dumu`
Dan Al-Wafâ Fî Ahwâlil-Mushtafâ. Kedua Kitab Ini Banyak Memuat Hadis
Palsu Lebih Dari Isi Kitab Yang Ia Kritisi. Sampai-Sampai, Dr. Ibrâhîm
Bâjis Bin Abdul Majid Dan Dr. Mushtafâ Abdul Qadîr `Atha Terkejut Akan
Kenyataan Ini. Sosok Ibnul Jauzi Yang Terbilang Berlebihan Dalam Kritik
Hadis Dan Keras Menentang Cerita-Cerita Aneh, Justru Karya-Karyanya
Dipenuhi Oleh Kedua Hal Tersebut. Ibnul Atsir Sejarawan Abad VII Juga
Menyatakan Keterkejutan Serupa Dalam Al-Kâmil Fî At-Târikh-Nya.
Untuk Itu Tidak Salah Apabila
Al-Imam Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-`Asqalani Memberikan Sebuah Kritik Pedas
Bahwa “Mayoritas Riwayat Yang Termuat Dalam Karya-Karya Ibnul Jauzi
(Selain Kitab Kritik Hadisnya) Adalah Maudhû’. Riwayat Yang Perlu
Dikritisi Lebih Banyak Daripada Yang Tidak”. Bahkan Ibnul Jauzi Tidak
Segan Untuk Mengutip Sebuah Riwayat Dari Karya Yang Pernah Dikritisinya,
Atau Sekedar Menukil Hadis-Hadis Yang Telah Difonis Palsu Dalam Kitab
Al-Maudhû`Ât-Nya.
Namun, Bukan Berarti Menyerang Balik
Terhadap Sebuah Kenyataan Yang Sama Pahitnya. Menyimak Fakta Ini, Kita
Juga Perlu Bersikap Bijak Tanpa Mengkesampingkan Etika Intelektualitas
Melalui Sisi Pandang Kebenaran Yang Lain.
Keenam
Mengenai Perselisihan Dalam Status Hukum Maudhû` Yang Muncul Dari
Penilaian Imam Hadis Selain Ibnul Jauzi, Cukup Kiranya Diketahui Bahwa
Hal Tersebut Masih Dalam Ranah Ijtihadi Yang Tidak Perlu Dielukan.
Penilaian Muhaddits Dalam Studi Kritiknya Memang Cenderung Beragam,
Karena Fonis Palsu Dalam Kritik Hadis Hanyalah Aplikasi Dari Sebuah
Praduga Yang Tidak Menutup Adanya Kemungkinan Keliru. Lebih-Lebih,
Apabila Kritik Diarahkan Pada Mata Rantai Periwayatan.
Dan Lagi, Jumlah Yang
Diperselisihkan Itu Terbilang Sangat Sedikit; Tidak Lebih Dari Tiga
Redaksi Hadis. Diantaranya Adalah Hadis Yang Menyebutkan Keutamaan
Membaca Fâtihatul-Kitâb Dan Dua Ayat Dari Surat Ali ImranYang Diklaim
Palsu Oleh Imam Ibnu Hibbân. Di Dalam Rangkaian Sanad Hadis Tersebut
Terdapat Al-Haris Bin ‘AmirYang Menurut Ibnu Hibbân Sebagai Sosok
Periwayat Hadis Palsu. Namun, Tuduhan Ini Dibantah Oleh Al-Hafizh
Al-`Iraqi. Al-Hafizh Melandasi Bantahannya Pada Label Tsiqqah Yang Telah
Diberikan Oleh Hammad Bin Zaid, Ibnu Mu`In, Abu Zar`Ah, Abu Hatim, Dan
Imam Nasâ’i Kepada Al-Haris Bin `Amîr.
Penutup
Wal Hasil, Sebesar Apapun Kritikan Terhadap Ihya Ulumiddin Secara Khusus
Dan Literatur-Literatur Salaf Yang Lain Secara Umum Tidak Akan
Mengurangi Nilai Kebesaran Yang Telah Diraihnya. Pembuktian Secara
Ilmiyah Dan Obyektif Telah Memberikan Bantahan Nyata Terhadap Kritik Dan
Tuduhan Yang Tidak Berdasar Itu. Sejarah Juga Turut Menjadi Bukti Akan
Kebesaran Mereka. Mereka Telah Memberikan Sumbangsih Yang Tiada Ternilai
Untuk Islam. Lalu Apa Yang Telah Kita Berikan Kepada Islam ?
Wallahu A`Lam.
Disadur dari majalah Cahaya Nabawiy
(Ponpes Sunniyyah Salafiyyah-Pasuruan) dengan beberapa tambahan dari
kitab Mu’allafat al-Ghazali, karya Dr Badawi, al-Imam Ghazali baina
Madihih wa Naqidih, Dr Yusuf al-Qardhawi, Ittihaf as-Sadah al-Muttaqin
(syarh Ihya), al-Murtadha az-Zabidi dan kitab lainnya.