"Aku baru saja berdiri
dari tempat duduk ketika kusadari mataku basah oleh sedikit rembesan air mata.
Sebuah buku telah menghisapku sedemikian dalam ke seluruh pori-pori katanya,
membuat apa yang terkatakan menjadi tak terkatakan, dan menjadikan waktu dan
detak jantung seperti sepakat untuk berhenti bersama. Aku tahu ini hanyalah
fiksi, cerita yang telah menjadi sebuah legenda dari masa ke masa, namun bagi
otak bawah sadarku ini adalah fakta yang nyata. Toh, apalah arti fakta dan
fiksi di bawah dunia fana ini—yang barangkali hanyalah “rekaan” bagi pikiran
Dia Sang Maha di langit sana?"
Itulah
sejumput kutipan dari buku Layla Majnun, yang bukanlah sebuah
buku biasa. Tadi sore tanpa sengaja ane memilihnya, ketika ane hendak
mengembalikan buku ke perpustakan. Tak terpikirkan olehku bahwa ane akan
membaca novel yang judulnya sudah lama kutahu itu, dan bagiku tampak klise. Ane
menyadari bahwa sangkaanku salah: buku ini—jika kau pernah membacanya,
sebaiknya kau tak beranjak sedikit pun sampai kau benar-benar mengkhatamkannya.
Terpujilah
untuk penerjemah dan penyunting buku ini, yang berhasil menyuguhkan suatu
bacaan yang sangat hidup dan “sempurna” ke sidang pembacanya. Kalian berdua
adalah pasangan serasi, ibarat Majnun dan Layla. Terpujilah untuk penerbit buku
ini, yang mau menerbitkan buku yang akan memperkaya khazanah
Terpujilah Nizami sang
pengarang, seorang pujangga Persia abad ke-12, yang mau menggubah kisah ini
dengan kecemerlangan yang sulit ditandingi. Dan tentu saja, tak akan pernah
lupa, terpujilah untuk Dia yang menciptakan Layla dan Majnun ke
dunia ini, yang untuk cinta-Nya Nizami dan para pengarang-sufi lainnya
berkarya.
Perlukah
bagiku untuk menceritakan kembali isi buku yang tak biasa ini? Jika kau membaca
sendiri buku ini, kau akan mengerti kenapa kata-kata seperti harus meluap-luap
untuk menggambarkan nuansanya.
Ane yang baru
membacanya sekali, seperti ingin berteriak kegirangan dan menari sejenak walau
cuma dalam imajinasi. Bagaimana dengan William Shakespeare, yang tergerak
menulis Romeo and Juliet untuk meniru keindahan buku ini? Bagaimana dengan
Jalaluddin Rumi, yang menjadikan karya ini inspirasi terpenting bagi
Matsnawi-nya? Terbayangkankah betapa mereka tak cuma girang dan menangis, tapi
juga menari? Seperti al-Hallaj yang berteriak sempoyongan karena ketergilaannya
pada Tuhan, sang Mawlana—Rumi—pastilah ekstase setelah membaca karya ini.
Sejatinya
Layla Majnun adalah kisah “tragis” tentang cinta yang tak sampai antara dua
orang manusia. Seseorang bernama Qays, dan seseorang lagi bernama Layla. Mereka
bertemu, saling jatuh cinta, namun hubungan mereka tak direstui.
Mereka
kemudian berpisah secara menyakitkan, ketika cinta mereka sedang di puncak
baranya. Qays begitu tergila-gila pada Layla hingga menyebutnya sepanjang
waktu, menyanyikan sajak-sajak cinta di mana pun ia berada-hingga orang
mencapnya “Majnun” alias sinting. Ia menelantarkan studinya karena cintanya
pada Layla, ia merendahkan harga dirinya karena cinta, dan menggelandang kesana
kemari hanya untuk mengungkapkan cintanya kepada Layla.
Padahal
Qays adalah anak bangsawan kaya. Dan ayahnya, tahu dan sedih dengan kondisi
Qays, berminat melamar Layla, namun lamaran itu ditolak mentah-mentah oleh ayah
Layla. Qays semakin majnun, semakin tenggelam dia dalam kegilaannya, dan
orang-orang terus mencemooh dan mencacinya karena ketidakwarasan itu, hingga
kemudian ada seorang kesatria Arab bernama Naufal membantu ingin merebut Layla
dari sukunya dan mempertemukan Layla dengan Qays
Terjadi
perang besar, suku Layla kalah, namun ayah Layla tak mau menyerahkan Layla
kepada Naufal. Qays tetap merana dalam kesendiriannya. Ia berkelana ke
gurun-gurun pasir tanpa kejelasan nasib, pikirannya terlalap api cinta, dan
tubuhnya semakin menderita, kurus ceking dan tinggal tulang belulang.
Sementara,
Layla diincar oleh seorang pemuda Arab bernama Ibnu Salam yang datang melamar
ke keluarga Layla dan diterima. Layla pun dinikahkan dengan Ibnu Salam,
walaupun lelaki itu tak pernah dicintainya. Dan benar, selama bersama dengan
Ibnu Salam, kesucian Layla tetap terjaga; lelaki itu, meski jadi suaminya, tak
pernah bisa menyentuhnya.
Selama
masa-masa perpisahan itu, Qays si Majnun hidup di hutan, berkawan dengan rimba,
dengan binatang-binatang, dan kehilangan akal kemanusiaannya. Terasing dari
keluarganya, dari sukunya, dan bahkan dari manusia, dia memilih hidup untuk
merawat cinta, sendiri di ganasnya hutan belantara.
Sementara
Layla berhari-hari memendam rindunya pada Qays, Qays membalas rindunya pada
Layla dengan sajak-sajak cinta yang dititipkannya pada alam raya. Hingga
keduanya mati, mereka hanya bertemu sekali di ujung perpisahan panjang itu.
Layla mati, dan Qays pun menyusul kekasihnya ke gerbang kematian. Demikianlah,
seseorang kemudian bermimpi melihat keduanya bercengkerama bersama dan saling
bermesra ria di surga…
Tak ada
yang pernah dapat menceritakan kembali keanggunan Layla Majnun hanya dalam
satu-dua halaman, kecuali kau menjelma Nizami, dan kalaupun ada yang mau
meringkasnya, jangan pernah percaya sebelum kau membacanya dengan mata kepala.
Layla Majnun bagiku bukan untuk diceritakan ulang; karya ini untuk dibaca dan
dihayati, terutama jika kau pernah mencecap apa yang disebut “cinta”.
Layla
Majnun bukan kisah cinta biasa. Cinta antara jantan dan betina, antara dua jiwa
yang sekadar ingin bersama. Ia bukan cinta yang sering kali berselubung nafsu
dan berahi. Jika saja kau benar-benar merasakannya, mencecapnya hingga
kata-kata terakhir di dalamnya, kau akan tahu betapa karya ini sebenarnya
berbicara tentang cinta yang lebih hakiki, cinta seorang hamba pada Tuhannya.
Majnun
adalah tipikal seorang hamba yang diperbudak oleh cintanya. Sedangkan Layla
adalah tipikal seorang kekasih yang mendamba untuk dicintai. Majnun adalah
seorang pencari cinta, sedangkan Layla adalah penunggu cinta. Majnun adalah
budak cinta yang menghamba untuk diizinkan mencintai, sedangkan Layla adalah
majikan yang tak sabar untuk segera dicintai.
Bukankah
semua ini cukup menggambarkan hubungan antara seorang hamba dengan
Tuhannya?Tuhan, seperti pernah dikatakannya dalam sebuah hadis Qudsi, adalah
Khazanah Tersembunyi. Ia ingin dikenal, maka ia ciptakan semesta dan seisinya.
Ia mencipta bukan karena Ia butuh kepada ciptaannya, tapi agar Ia kelak dikenal
dan dirindu—serta dicumbu—oleh ciptaannya.
Layla
Majnun memberi kita ruang untuk menafsiri cinta sesuka hati kita, seturut
nurani pembacanya. Namun, pembaca yang satu ini lebih memilih menafsiri dengan
kegilaan yang sudah lama tak dirasakannya—kegilaan yang dulu membuatnya begitu
gandrung pada al-Hallaj dan sufi-sufi sinting lainnya.
Dalam
kegilaannya, yang hanya sepersekian persen dari kegilaan Majnun, pembaca yang
satu ini menuliskan satu pasase di halaman pertama buku yang baru dibelinya:
sebuah tanda tangan dan sebuah doa “Semoga Allah selalu merahmati Nizami dengan
keluhuran karyanya…”.
(*Persembahan untuk edisi
Layla Majnun [yang sementara ini tampaknya merupakan edisi terbaik dalam bahasa
Indonesia] karya Nizami, diterjemahkan dari bahasa Inggris oleh Ali Noer Zaman
dan disunting oleh Salahuddien Gz, Kayla Pustaka, Jakarta, cet. I Februari
2009… dan juga persembahan untuk Layla-ku, “masihkah kau selalu jadi Layla bagi
Majnun-mu?”)
Sang Perajut Kisah
Kisah Layla Majnun dirajut oleh Syeikh Nezāmi-ye
Ganjavī (bahasa Persia: نظامی گنجوی; bahasa Azerbaijan: Nizami Gəncəvi; 1141 –
1209), atau Nezāmī (bahasa Persia: نظامی), yang nama lengkapnya adalah Nizām ad-Dīn Abū Muhammad
Ilyās ibn-Yusūf ibn-Zakī ibn-Mu'ayyid, adalah penyair yang dianggap sebagai
penyair epik romantik terbesar dalam literatur Persia, yang membawa gaya
realistik epik Persia. Kebudayaannya secara luas diapresiasikan dan terbagi di
Azerbaijan, Iran, Afganistan dan Tajikistan. Nezami juga disebut Nizami di
beberapa literatur barat, Rusia, Azerbaijan dan beberapa dialek Persia.