Muawiyah bin Hudaij radhiallahu ‘anhu datang menemui Umar
setelah penaklukkan Iskandariyah. Lalu ia menderumkan hewan tunggannya.
Kemudian keluarlah seorang budak wanita. Budak itu melihat penat Umar
setelah bersafar. Ia mengajaknya .
masuk. Menghidangkan roti, zaitun, dan
kurma untuk Umar. Umar pun menyantap hidangan tersebut. Kemudian berkata
keapda Muawiyah, “Wahai Muawiyah, apa yang engkau katakan tadi ketika
engkau mampir di masjid?” “Aku katakan bahwa Amirul Mukminin sedang
tidur siang”, jawab Muawiyah. Umar berkata, “Buruk sekali apa yang
engkau ucapkan dan alangkah jeleknya apa yang engkau sangkakan. Kalau
aku tidur di siang hari, maka aku menelantarkan rakyatku. Dan jika aku
tidur di malam hari, aku menyia-nyiakan diriku sendiri (tidak shalat
malam). Bagaimana bisa tertidur pada dua keadaan ini wahai Muawiyah?”
Mungkin Muawiyah bin Hudaij bermaksud kasihan kepada Umar. Ia ingin
Umar beristirahat karena capek sehabis bersafar. Rakyat pun akan
memaklumi keadaan itu dan juga kasihan kepada pemimpinnya, sehingga
mereka rela jika Umar beristirahat.
Tetapi Umar sendiri malah khawatir
kalau hal itu termasuk menghalangi rakyatnya untuk mengadukan
keinginannya mereka kepadanya.
Umar berkata, “Jika ada seekor onta mati karena disia-siakan tidak
terurus. Aku takut Allah memintai pertangung-jawaban kepadaku karena hal
itu2.
Karena onta tersebut berada di wilayah kekuasaannya, Umar yakin ia
bertanggung jawab atas keberlangsungan hidupnya. Ketika onta itu mati
sia-sia; karena kelaparan, atau tertabrak kendaraan, atau terjerembab di
jalanan karena fasilitas yang buruk, Umar khawatir Allah akan memintai
pertanggung-jawaban kepadanya nanti di hari kiamat. Subhanallah… kalau
rasa tanggung jawab kepada hewan pun sampai demikian, bagaimana kiranya
kepada manusia? Semoga Allah meridhai dan senantiasa merahmati Anda
wahai Amirul Mukminin…
Berkaca pada keadaan kita jalan berlubang sehingga banyak yang
celaka, banjir, macet, tidak aman di jalanan, dan lain sebagainya.
Diklaim sebagai pemimpin yang adil dan amanah. Memang standarnya
berbeda.
Pada saat haji terakhir yang ia tunaikan dalam hayatnya, Umar radhiallahu ‘anhu
duduk bersimpuh kemudian membentangkan rida’nya. Ia mengangkat tinggi
kedua tangannya ke arah langit. Ia berucap, “Ya Allah.. sungguh usiaku
telah menua dan ragaku kian melemah, sementara rakyaku semakin banyak
(karena wilayah Islam meluas pen.), cabutlah nyawaku dalam keadaan tidak
disia-siakan.”3
Perhatian Terhadap Rakyat
Perhatian Umar terhadap rakyatnya benar-benar membuat kita kagum dan
namanya pun kian mengharum, mulia bagi mereka pembaca kisah
kepemimpinannya. Doa-doa rahmat dan ridha untuknya begitu deras
mengalir. Siang-malam ia pantau keadaan rakyatnya. Ia benar-benar sadar
kepemimpinan itu adalah melayani. Kepemimpinan bukan untuk menaikkan
status sosial, menumpuk harta, yang akan menghasilkan kehinaan di
akhirat semata.
Orang hari ini kenal belusukan sebagai ciri pimpinan peduli, Umar
telah melakukannya sejak dulu dengan ketulusan hati. Ia duduk bersama
rakyatnya, mengintipi keadaan mereka, dan menanyai hajat kebutuhan.
Kepada yang kecil atau yang besar. Kepada yang kaya atau yang miskin. Ia
tidak pernah memberikan batas kepada mereka semua.
Abdullah bin Abbas radhiallahu ‘anhuma mengatakan, “Setiap
kali shalat, Umar senantiasa duduk bersama rakyatnya. Siapa yang
mengadukan suatu keperluan, maka ia segera meneliti keadaannya. Ia
terbiasa duduk sehabis shalat subuh hingga matahari mulai naik, melihat
keperluan rakyatnya. Setelah itu baru ia kembali ke rumah”.
Sebagian rakyat ada yang merasa enggan mengadukan permasalahannya.
Mereka segan karena betapa wibawanya Umar. Kemudian beberapa orang
sahabat; Ali bin Abi Thalib, Utsman bin Affan, Thalhah bin Ubaidillah,
az-Zubair bin al-Awwam, Abdurrahman bin Auf, dan Saad bin Abi Waqqash
ingin memberi tahu Umar tentang hal ini. Dan majulah Abdurrahman bin Auf
yang paling berani untuk membuka pembicaraan dengan Umar.
Serombongan sahabat ini berkata, “Bagaimana jika engkau (Abdurrahman)
berbicara kepada Amirul Mukminin. Karena ada orang yang ingin dipenuhi
kebutuhannya, namun segan untuk berbicara dengannya karena wibawanya.
Sehingga ia pun pulang menahan keperluannya.
Abdurrahman pun menemui Umar dan berbicara kepadanya. “Amirul
Mukminin, bersikaplah lemah lebut kepada orang-orang. Karena ada orang
yang hendak datang menemuimu, namun suara mereka untuk memberi tahu
kebutuhan, tercekat oleh wibawamu. Mereka pun pulang dan tidak berani
bicara”, kata Abdurrahman.
Umar radhiallahu ‘anhu menanggapi, “Wahai Abdurrahaman, aku
bertanya kepadamu atas nama Allah, apakah Ali, Utsman, Thalhah,
az-Zubair, dan Saad yang memintamu untuk menyampaikan hal ini?” “Allahumma na’am”, jawab Abdurrahman.
“Wahai Abdurrahman, demi Allah, aku telah bersikap lemah lembut
terhadap mereka sampai aku takut kepada Allah kalau berlebihan dalam hal
ini. Aku juga bersikap tegas kepada mereka, sampai aku takut kepada
Allah berlebihan dalam ketegasan. Lalu, bagaimana jalan keluarnya?”
Tanya Umar. Abdurrahman pun menangis. Lalu mengusapkan rida’nya
menghapus titik air mata. Ia berucap, “Lancang sekali mereka. Lancang
sekali mereka”.
Adapun bagi masyarakat yang tinggal jauh dari Kota Madinah; seperti
penduduk Irak, Syam, dll. Umar sering bertanya tentang keadaan mereka,
kemudian memenuhi kebutuhan mereka. Umar mengirim utusannya untuk
meneliti keadaan orang-orang di luar Madinah.
Terkadang, Umar juga mengadakan kunjungan langsung. Melihat sendiri
keadaan rakyat di bawah kepengurusan gubernurnya. Umar memenuhi
kebutuhan mereka dengan sungguh-sungguh. Sampai-sampai ia berkeinginan
janda-janda yang tidak memiliki orang yang menanggung merasa cukup
dengan bantuannya sehingga tidak butuh kepada laki-laki lainnya.
Penutup
Inilah seorang pemimpin yang memerankan kepemimpinan dalam arti
sebenarnya. Ia memberikan teladan dalam perkataan dan perbuatan. Seorang
yang shaleh secara pribadi dan cakap dalam kepemimpinan.
Sesuatu yang perlu kita sadari, pemimpin adalah kader dari
masyarakatnya. Umar bin al-Khattab adalah kader dari masyarakatnya. Dan
setiap masyarakat akan mengkader pemimpin mereka sendiri. Masyarakat
yang baik akan melahirkan kader yang baik, sehingga sekumpulan
kader-kader yang baik ini akan menunjuk yang terbaik di antara mereka
untuk memimpin mereka. Dan masyarakat yang jelek akan melahirkan kader
yang serba kekurangan. Lalu mereka menunjuk pemimpin berdasarkan hawa
nafsu dan kepentingan.
Keterngan:
1. Az-Zuhd oleh Ahmad bin Hanbal, Hal: 152. Madar atsar ini adalah
Ali Musa bin Ulya al-Lakhmi. Adz-Dzahabi mengomentarai bahwa dia orang
yang tsabit dan shaleh (al-Kasysyaf, 2: 306). Menurut Ibnu Hajar shaduq
walaupun mungkin keliru dan rijal yang lain pada riwayat Ahmad tsqat.
Atsar ini hasan.
2. Ath-Thabaqat oleh Ibnu Saad, 3: 305. Mushannaf oleh Ibnu Abi
Syaibah, 7: 99. Tarikh ath-Thabari, 2: 566. Tarikh Dimasyq oleh Ibnu
Asakir, hal: 304. Atsar ini hasan li ghairihi karena banyak jalan yang
menguatkannya.
3. Diriwayatkan oleh Malik dalam al-Muwaththa 21: 2, dll.
4. Ath-Thabaqat oleh Ibnu Saad, 3: 288. Tarikh ath-Thabari, 2: 565-566. Atsar ini hasan.
5. Ath-Thabaqat oleh Ibnu Saad, 3: 287. Tarikh ath-Thabari, 2: 568. Dll. Atsar ini hasan.
6. Adabul Mufrad oleh Bukhari, Hal: 353. Dll.
Komentar:
0 comments: