Bid’ah dalam pengertian bahasa adalah:
مَا أُحْدِثَ عَلَى غَيْرِ مِثَالٍ سَابِقٍ
“Sesuatu yang diadakan tanpa ada contoh sebelumnya”.
Seorang ahli bahasa terkemuka, Ar-Raghib al-Ashfahani dalam kitab Mu’jam Mufradat Alfazh al-Qur’an, menuliskan sebagai berikut:
Seorang ahli bahasa terkemuka, Ar-Raghib al-Ashfahani dalam kitab Mu’jam Mufradat Alfazh al-Qur’an, menuliskan sebagai berikut:
اَلإِبْدَاعُ إِنْشَاءُ صَنْعَةٍ بِلاَ احْتِذَاءٍ وَاقْتِدَاءٍ.
وَإِذَا اسْتُعْمِلَ فِيْ اللهِ تَعَالَى فَهُوَ إِيْجَادُ الشَّىْءِ بِغَيْرِ
ءَالَةٍ وَلاَ مآدَّةٍ وَلاَ زَمَانٍ وَلاَ مَكَانٍ، وَلَيْسَ ذلِكَ إِلاَّ للهِ.
وَالْبَدِيْعُ يُقَالُ لِلْمُبْدِعِ نَحْوُ قَوْلِهِ: (بَدِيْعُ السّمَاوَاتِ
وَالأرْض) البقرة:117، وَيُقَالُ لِلْمُبْدَعِ –بِفَتْحِ الدَّالِ- نَحْوُ
رَكْوَةٍ بَدِيْعٍ. وَكَذلِكَ الْبِدْعُ يُقَالُ لَهُمَا جَمِيْعًا، بِمَعْنَى
الْفَاعِلِ وَالْمَفْعُوْلِ. وَقَوْلُهُ تَعَالَى: (قُلْ مَا كُنْتُ بِدْعًا مِنَ
الرُّسُل) الأحقاف: 9، قِيْلَ مَعْنَاهُ: مُبْدَعًا لَمْ يَتَقَدَّمْنِيْ
رَسُوْلٌ، وَقِيْلَ: مُبْدِعًا فِيْمَا أَقُوْلُهُ.اهـ
“Kata Ibda’ artinya
merintis sebuah kreasi baru tanpa mengikuti dan mencontoh sesuatu sebelumnya.
Kata Ibda’ jika digunakan pada hak Allah, maka maknanya adalah penciptaan terhadap
sesuatu tanpa alat, tanpa bahan, tanpa masa dan tanpa tempat.
Kata Ibda’ dalam makna ini
hanya berlaku bagi Allah saja.
Kata al-Badi’ digunakan
untuk al-Mubdi’ (artinya yang merintis sesuatu yang baru). Seperti dalam firman
(Badi’ as-Samawat Wa al-Ardl),
artinya:
“Allah Pencipta langit dan
bumi…”. Kata al-Badi’ juga digunakan untuk al-Mubda’ (artinya sesuatu yang
dirintis). Seperti kata Rakwah Badi’,
artinya:
“Bejana air yang unik
(dengan model baru)”.
Demikian juga kata
al-Bid'u digunakan untuk pengertian al-Mubdi’ dan al-Mubda’, artinya berlaku
untuk makna Fa’il (pelaku) dan berlaku untuk makna Maf’ul (obyek).
Firman Allah dalam QS.
al-Ahqaf: 9 (Qul Ma Kuntu Bid’an Min ar-Rusul), menurut satu pendapat maknanya
adalah: “Katakan Wahai Muhammad, Aku bukan Rasul pertama yang belum pernah
didahului oleh rasul sebelumku” (artinya penggunaan dalam makna Maf’ul)”,
menurut pendapat lain makna ayat tersebut adalah: “Katakan wahai Muhammad, Aku
bukanlah orang yang pertama kali menyampaikan apa yang aku katakan” (artinya
penggunaan dalam makna Fa’il)” (Mu’jam
Mufradat Alfazh al-Qur’an, h. 36).
Dalam pengertian syari’at, bid’ah adalah:
Dalam pengertian syari’at, bid’ah adalah:
اَلْمُحْدَثُ الَّذِيْ لَمْ يَنُصَّ عَلَيْهِ الْقُرْءَانُ وَلاَ جَاءَ فِيْ السُّـنَّةِ
.
“Sesuatu yang baru yang tidak terdapat penyebutannya secara tertulis, baik di dalam al-Qur’an maupun dalam hadits”. (Sharih al-Bayan, j. 1, h. 278)
Seorang ulama bahasa terkemuka, Abu Bakar Ibn al-‘Arabi menuliskan sebagai berikut:
“Sesuatu yang baru yang tidak terdapat penyebutannya secara tertulis, baik di dalam al-Qur’an maupun dalam hadits”. (Sharih al-Bayan, j. 1, h. 278)
Seorang ulama bahasa terkemuka, Abu Bakar Ibn al-‘Arabi menuliskan sebagai berikut:
لَيْسَتْ البِدْعَةُ وَالْمُحْدَثُ مَذْمُوْمَيْنِ لِلَفْظِ بِدْعَةٍ
وَمُحْدَثٍ وَلاَ مَعْنَيَيْهِمَا، وَإِنَّمَا يُذَمُّ مِنَ البِدْعَةِ مَا
يُخَالِفُ السُّـنَّةَ، وَيُذَمُّ مِنَ الْمُحْدَثَاتِ مَا دَعَا إِلَى
الضَّلاَلَةِ.
“Perkara yang baru (Bid’ah
atau Muhdats) tidak pasti tercela hanya karena secara bahasa disebut Bid’ah
atau Muhdats, atau dalam pengertian keduanya. Melainkan Bid’ah yang tercela itu
adalah perkara baru yang menyalahi sunnah, dan Muhdats yang tercela itu adalah
perkara baru yang mengajak kepada kesesatan”.
Macam-Macam Bid’ah
Bid’ah terbagi menjadi dua bagian:
Macam-Macam Bid’ah
Bid’ah terbagi menjadi dua bagian:
Pertama: Bid’ah Dlalalah.
Disebut pula dengan Bid’ah Sayyi-ah atau Sunnah Sayyi-ah. Yaitu perkara baru
yang menyalahi al-Qur’an dan Sunnah.
Kedua: Bid’ah Huda atau
disebut juga dengan Bid’ah Hasanah atau Sunnah Hasanah. Yaitu perkara baru yang
sesuai dan sejalan dengan al-Qur’an dan Sunnah.
Al-Imam asy-Syafi’i
berkata :
الْمُحْدَثَاتُ مِنَ اْلأُمُوْرِ ضَرْبَانِ : أَحَدُهُمَا : مَا أُحْدِثَ ِممَّا يُخَالـِفُ كِتَابًا أَوْ سُنَّةً أَوْ أَثرًا أَوْ إِجْمَاعًا ، فهَذِهِ اْلبِدْعَةُ الضَّلاَلـَةُ، وَالثَّانِيَةُ : مَا أُحْدِثَ مِنَ الْخَيْرِ لاَ خِلاَفَ فِيْهِ لِوَاحِدٍ مِنْ هذا ، وَهَذِهِ مُحْدَثَةٌ غَيْرُ مَذْمُوْمَةٍ (رواه الحافظ البيهقيّ في كتاب " مناقب الشافعيّ(
“Perkara-perkara baru
itu terbagi menjadi dua bagian.
Pertama: Perkara baru yang
menyalahi al-Qur’an, Sunnah, Ijma’ atau menyalahi Atsar (sesuatu yang dilakukan
atau dikatakan sahabat tanpa ada di antara mereka yang mengingkarinya), perkara
baru semacam ini adalah bid’ah yang sesat.
Kedua: Perkara baru yang
baru yang baik dan tidak menyalahi al-Qur’an, Sunnah, maupun Ijma’, maka
sesuatu yang baru seperti ini tidak tercela”.
(Diriwayatkan oleh al-Baihaqi dengan sanad yang Shahih dalam kitab Manaqib
asy-Syafi’i) (Manaqib asy-Syafi’i, j. 1, h. 469).
Dalam riwayat lain al-Imam
asy-Syafi’i berkata:
اَلْبِدْعَةُ بِدْعَتَانِ: بِدْعَةٌ مَحْمُوْدَةٌ وَبِدْعَةٌ
مَذْمُوْمَةٌ، فَمَا وَافَقَ السُّـنَّةَ فَهُوَ مَحْمُوْدٌ وَمَا خَالَفَهَا
فَهُوَ مَذْمُوْمٌ.
“Bid’ah ada dua macam:
Bid’ah yang terpuji dan bid’ah yang tercela. Bid’ah yang sesuai dengan Sunnah
adalah bid’ah terpuji, dan bid’ah yang menyalahi Sunnah adalah bid’ah tercela”. (Dituturkan oleh al-Hafizh Ibn Hajar dalam Fath al-Bari)
Pembagian bid’ah menjadi
dua oleh Imam Syafi'i ini disepakati oleh para ulama setelahnya dari seluruh
kalangan ahli fikih empat madzhab, para ahli hadits, dan para ulama dari
berbagai disiplin ilmu.
Di antara mereka adalah
para ulama terkemuka, seperti al-‘Izz ibn Abd as-Salam, an-Nawawi, Ibn ‘Arafah,
al-Haththab al-Maliki, Ibn ‘Abidin dan lain-lain.
Dari kalangan ahli hadits
di antaranya Ibn al-'Arabi al-Maliki, Ibn al-Atsir, al-Hafizh Ibn Hajar,
al-Hafzih as-Sakhawi, al-Hafzih as-Suyuthi dan lain-lain. Termasuk dari
kalangan ahli bahasa sendiri, seperti al-Fayyumi, al-Fairuzabadi, az-Zabidi dan
lainnya.
Dengan demikian bid’ah
dalam istilah syara’ terbagi menjadi dua: Bid’ah Mahmudah (bid’ah terpuji) dan
Bid’ah Madzmumah (bid’ah tercela).
Pembagian bid’ah menjadi
dua bagian ini dapat dipahami dari hadits ‘Aisyah, bahwa ia berkata: Rasulullah
bersabda:
مَنْ أَحْدَثَ فِيْ أَمْرِنَا هذَا
مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ (رواه البخاريّ ومسلم(
“Barang siapa yang
berbuat sesuatu yang baharu dalam syari’at ini yang tidak sesuai dengannya,
maka ia tertolak”. (HR. al-Bukhari dan
Muslim)
Dapat dipahami dari sabda
Rasulullah: “Ma Laisa Minhu”, artinya “Yang tidak sesuai dengannya”, bahwa
perkara baru yang tertolak adalah yang bertentangan dan menyalahi syari’at.
Adapun perkara baru yang tidak bertentangan dan tidak menyalahi syari’at maka ia
tidak tertolak.
Bid’ah dilihat dari segi
wilayahnya terbagi menjadi dua bagian; Bid’ah dalam pokok-pokok agama
(Ushuluddin) dan bid’ah dalam cabang-cabang agama, yaitu bid’ah dalam Furu’,
atau dapat kita sebut Bid’ah ‘Amaliyyah.
Bid’ah dalam pokok-pokok
agama (Ushuluddin) adalah perkara-perkara baru dalam masalah akidah yang
menyalahi akidah Rasulullah dan para sahabatnya.
Komentar:
0 comments: