Dasar keyakinan yang dianut oleh
kaum teolog Ahlussunnah ialah bahwa akal sehat tidak akan pernah bertentangan dengan ajaran-ajaran syari’at.
Bahkan sebaliknya, akal sehat adalah sebagai saksi bagi kebenaran syari’at itu
sendiri. Sangat tidak logis bila Allah dan Rasul-Nya meletakan ajaran-ajaran
syari’at yang bertentangan dengan akal.
Karena bila demikian berarti penciptaan
akal sama sekali tidak memiliki faedah. Dalam pada ini al-Hafizh al-Khathib
al-Baghdadi berkata: “Segala ajaran syari’at datang sejalan dengan akal-akal
yang sehat, dan sama sekali tidak ada ajaran dalam syari’at ini yang
bertentangan dengan akal” .
Dalam tulisan ringkas ini kita
kutip pernyataan beberapa ulama dalam penjelasan dalil-dalil akal bahwa Allah
tidak membutuhkan tempat dan arah, sekaligus untuk menetapkan bahwa keyakinan
Allah bersemayam di ata arsy, atau bahwa Allah berada di arah atas, serta
keyakinan-keyakinan tasybih lainnya adalah keyakinan batil, berseberangan
dengan akidah Rasulullah dan para sahabatnya serta keyakinan yang sama sekali
tidak dapat diterima oleh akal sehat. Berikut ini kita kutip pernyataan mereka
satu persatu.
• al-Imam Abu Sa’id al-Mutawalli
asy-Syafi’i (w 478 H) dalam kitab al-Ghunyah Fi Ushuliddin menuliskan sebagai
berikut:
“Tujuan penulisan dari pasal ini
adalah untuk menetapkan bahwa Allah tidak membutuhkan tempat dan arah. Berbeda
dengan kaum Karramiyyah, Hasyawiyyah dan Musyabbihah yang mengatakan bahwa
Allah berada di arah atas.
Bahkan sebagian dari kelompok-kelompok tersebut
mengatakan bahwa Allah bertempat atau bersemayam di atas arsy. Jelas mereka
kaum yang sesat. Allah Maha Suci dari keyakinan kelompok-kelompok tersebut.
Dalil akal bahwa Allah Maha Suci
dari tempat adalah karena apabila ia membutuhkan kepada tempat maka berarti
tempat tersebut adalah qadim sebagaimana Allah Qadim.
Atau sebaliknya, bila
Allah membutkan tempat maka berarti Allah baharu sebagaimana tempat itu sendiri
baharu. Dan kedua pendapat semacam ini adalah keyakinan kufur.
Kemudian bila Allah bertempat atau bersemayam di atas arsy, seperti yang diyakini mereka, maka berarti tidak lepas dari tiga keadaan. Bisa sama besar dengan arsy, atau lebih kecil, dan atau lebih besar dari arsy. Dan semua pendapat semacam ini adalah kufur, karena telah menetapkan adanya ukuran, batasan dan bentuk bagi Allah.
Dalil akal lain bahwa Allah ada
tanpa tempat dan tanpa arah ialah jika kita umpamakan sewaktu-waktu seseorang
telah diberi kekuatan besar oleh Allah untuk dapat naik terus menerus ke arah
atas maka -sesuai keyakinan golongan sesat di atas- ia memiliki dua
kemungkinan; bisa jadi ia sampai kepada-Nya atau bisa jadi ia tidak sampai.
Jika mereka mengatakan tidak sampai maka berarti mereka telah menafikan adanya
Allah. Karena setiap dua sesuatu yang ada antara keduanya pasti memiliki arah
dan jarak. Dan seandainya salah satunya memotong jarak tersebut dengan terus
menerus mendekatinya namun ternyata tidak juga sampai maka berati sesuatu
tersebut adalah nihil; tidak ada.
Kemudian jika mereka mengatakan bahwa orang
yang naik tersebut bisa sampai kepada-Nya maka berarti dalam keyakinan mereka
Allah dapat menempel dan dapat disentuh, dan ini jelas keyakinan kufur.
Kemudian dari pada itu, keyakinan semacam ini juga menetapkan adanya dua
kekufuran lain.
Pertama; berkeyakinan bahwa alam ini qadim, tidak memiliki
permulaan. Karena -dalam keyaikinan kita- salah satu bukti yang menunjukan
bahwa alam ini baharu ialah adanya sifat berpisah dan bersatu padanya.
Kedua;
keyakinan tersebut sama juga dengan menetapkan kebolehan adanya anak dan isteri
bagi Allah” .
• al-Imam Abu Hamid al-Ghazali
asy-Syafi’i (w 505 H) dalam kitab Ihya ‘Ulumiddin menuliskan sebagai berikut:
“Dasar ke empat; ialah
berkeyakinan bahwa Allah bukan benda yang memiliki tempat dan arah. Dia Maha
Suci dari mamiliki arah. Dalil akal atas ini adalah bahwa segala benda pasti
memiliki arah khusus baginya, dan bedan tersebut tidak lepas dari dua keadaan;
dalam keadaan diam pada tempatnya atau dalam keadaan bergerak dari tempatnya
tersebut.
Artinya setiap benda tidak lepas dari sifat gerak dan diam, dan
keduanya jelas baharu. Dan segala sesuatu yang tidak lepas dari sifat baharu
maka hal tersebut menjukan bahwa sesuatu tersebut adalah baharu” .
• al-Imam Abu al-Mu’ain an-Nasafi
al-Hanafi (w 508 H) dalam kitab Tabshirah al-Adillah telah
menuliskan penjelasan yang logis dan dalil-dalil yang sangat kuat dalam
bantahan beliau atas kaum Musyabbihah. Di antaranya beliau menuliskan sebagai
berikut:
“Kaum Mujassimah memiliki tiga
kerancuan: Pertama; Pernyataan mereka bahwa setiap dua sesuatu yang ada pasti
keduanya memiliki jarak dan arah satu dari lainnya.
Kita jawab kesesatan mereka
ini; Kalian menetapkan bahwa dua sesuatu pasti memiliki jarak dan arah satu
dari lainnya bagi orang yang melihatnya, apakah kalian membolehkan sifat arah
semacam ini atas Allah? Jika mereka menjawab iya maka mereka telah membatalkan
keyakinan mereka sendiri. Karena dalam keyakinan mereka Allah tidak boleh disifati
berada di bawah alam.
Dan jika mereka menjawab tidak maka mereka juga telah
membatalkan argumen mereka sendiri bahwa dua sesuatu pasti memiliki arah satu
dari lainnya.
Jika mereka berkata; Kita tidak membolehkan arah bawah bagi Allah
karena arah ini sifat kurang dan merupakan cacian, dan Allah tidak disifati
dengan sifat kurang semacam itu. Jawab; Jika demikian berarti kalian telah
menetapkan adanya argumen perbedaan (at-tafriqah) antara Allah dengan
makhluk-Nya.
• Seorang ahli tafsir terkemuka;
al-Imam al-Fakhr ar-Razi ( w 606 H) dalam kitab tafsirnya menuliskan sebagai
berikut:
“Jika keagungan Allah disebabkan
dengan tempat atau arah atas maka tentunya
tempat dan arah atas
tersebut menjadi sifat bagi Dzat-Nya. Kemudian itu berarti bahwa keagungan Allah
terhasilkan dari sesuatu yang lain; yaitu tempat.
Dan jika demikian berarti
arah atas lebih sempurna dan lebih agung dari pada Allah sendiri, karena Allah
mengambil kemuliaan dari arah tersebut. Dan ini berarti Allah tidak memiliki
kesempurnaan sementara selain Allah memiliki kesempurnaan. Tentu saja ini
adalah suatu yang mustahil” .
Di bagian lain dari tafsirnya
dalam penafsiran firman Allah QS. Thaha: 5 menuliskan sebagai berikut:
“Masalah kedua; Kaum Musyabbihah
menjadikan ayat ini sebagai rujukan dalam
menetapkan keyakinan mereka bahwa tuhan mereka duduk, bertempat atau bersemayam
di atas arsy. Pendapat mereka ini jelas batil, terbantahkan dengan dalil akal
dan dalil naql dari berbagai segi :
Pertama: Bahwa Allah ada tanpa
permulaan. Dia ada sebelum menciptakan arsy dan tempat. Dan setelah Dia
menciptakan segala makhluk Dia tidak membutuhkan kepada makhluk-Nya, tidak
butuh kepada tempat, Dia Maha Kaya dari segala makhluk-Nya.
Artinya bahwa Allah
Azali -tanpa permulaan- dengan segala sifat-sifat-Nya, Dia tidak berubah.
Kecuali bila ada orang berkeyakinan bahwa arsy sama azali seperti Allah. -Dan
jelas ini kekufuran karena menetapkan sesuatu yang azali kepada selain Allah-”.
Kedua: Bahwa sesuatu yang duduk
di atas arsy dipastikan terjadinya bagian-bagian pada dzatnya. Bagian dzatnya
yang berada di sebelah kanan arsy jelas bukan bagian dzatnya yang berada di
sebelah kiri arsy.
Dengan demikian maka jelas bahwa sesuatu itu adalah
merupakan benda yang memiliki bagian-bagian yang tersusun. Dan segala sesuatu
yang memiliki bagian-bagian dan tersusun maka ia pasti membutuhkan kepada yang
menjadikannya dalam susunannya tersebut. Dan hal itu jelas mustahil atas Allah.
Ketiga: Bahwa sesuatu yang duduk
di atas arsy dipastikan ia berada di antara dua keadaan; dalam keadaan bergerak
dan berpindah-pindah atau dalam keadaan diam sama sekali tidak bergerak.
Jika
dalam keadaan pertama maka berarti arsy menjadi tempat bergerak dan diam, dan
dengan demikian maka arsy berarti jelas baharu. Jika dalam keadaan kedua maka
berarti ia seperti sesuatu yang terikat, bahkan seperti seorang yang lumpuh,
atau bahkan lebih buruk lagi dari pada orang yang lumpuh.
Karena seorang yang
lumpuh jika ia berkehendak terhadap sesuatu ia masih dapat menggerakan kepada
atau kelopak matanya. Sementara tuhan dalam keyakinan mereka yang berada di
atas arsya tersebut diam saja.
Keempat: Jika demikian berarti
tuhan dalam keyakinan mereka ada kalanya berada pada semua tempat atau hanya
pada satu tempat saja tidak pada tempat lain. Jika mereka berkeyakinan pertama
maka berarti menurut mereka tuhan berada di tempat-tempat najis dan menjijikan.
Pendapat semacam ini jelas tidak akan diungkapkan oleh seorang yang memiliki
akal sehat. Kemudian jika mereka berkeyakinan kedua maka berarti menurut mereka
tuhan membutuhkan kepada yang menjadikannya dalam kekhususan tempat dan arah
tersebut. Dan semacam ini semua mustahil atas Allah” .
• al-Imam Saifuddin al-Amidi (w
631 H) dalam kitab Ghayah al-Maram menuliskan sebagai berikut:
“Telah tetap bahwa apapun yang
kita saksikan dari segala yang ada ini tidak lain kecuali benda dan
sifat-sifat benda. Menetapkan adanya sesuatu yang ke tiga adalah pendapat yang
tidak diterima akal.
Dengan demikian setelah tetap bahwa segala sesuatu yang
ada -dari segala makhluk Allah- ini tidak lepas dari benda dan sifat-sifat
benda, maka berarti Allah -yang menciptakan itu semua- mustahil sebagai sifat
benda. Karena sifat benda itu selalu membutuhkan kepada benda itu sendiri,
padahal Allah mustahil membutuhkan kepada sesuatu.
Karena bila Allah
membutuhkan kepada sesuatu maka berarti sesuatu yang Ia butuhkannya tersebut
lebih agung dan lebih mulia dari dari-Nya sendiri, dan ini jelas mustahil.
Dengan demikian terbantahkan pendapat yang mengatakan bahwa Allah adalah sifat
benda. Sekarang tersisa bantahan atas mereka yang mengatakan bahwa Allah adalah
benda.
Kita katakan kepada mereka:
Sumber kerancuan kalian dalam masalah ini adalah bahwa kalian membangun
keyakinan kalian di atas prasangka. Dasar keyakinan kalian berangkat dari
prasangka kesamaan antara Allah dengan sesuatu yang tampak dengan mata (benda).
Kalian menghukumi kesamaan antara sesuatu yang tidak dapat disentuh dengan
sesuatu yang dapat disentuh. Padahal keyakinan dengan dasar prasangka semacam
ini jelas hanya khayalan, kedustaan, dan sama sekali tidak benar.
Prasangka
berkesimpulan bahwa segala sesuatu itu pasti memiliki tampat karena prasangka
ini berangkat dari pemahaman bahwa segala sesuatu itu benda. Ini berbeda dengan
kesaksian akal. Dalam kesaksian akal, alam (segala sesuatu selain Allah) tidak
berada pada tempat.
Karena alam itu sendiri mencakup segala apapun, selain
Allah, termasuk tempat dan arah itu sendiri. Bahkan ada sebagian orang yang
menjadikan prasangkanya lebih menguasai dirinya dari pada akal sehatnya.
Perumpamaannya adalah seperti orang yang menolak untuk bermalam dalam satu
rumah bersama sesosok mayat.
Rasa takutnya sebenarnya timbul dari prasangkanya
bahwa mungkin sewaktu-waktu mayat tersebut akan bergerak atau berdiri. Walaupun
pada sebenarnya pada akal sehatnya mengatakan bahwa hal semacam itu tidak akan
terjadi. Dengan demikian dapat dipaham bahwa seorang yang berakal sehat itu
adalah yang meninggalkan prasangkanya dan hanya mengambil pendapat akal sehat
untuk tuntunannya.
Dari sini kita simpulkan bahwa
mereka yang berkeyakinan Allah bertempat tidak lain hanya didasarkan kepada
prasangka belaka. Maka jalan satu-satunya untuk menetapkan keyakinan adalah
dengan membuang jauh-jauh prasangka, dan membangunnya di atas dasar akal yang
sehat.
Sementara itu akal sehat kita telah menetapkan bahwa segala sesuatu ini
pasti ada yang menciptakan. Juga akal sehat kita telah menetapkan bahwa Sang
Pencipta tersebut pasti tidak serupa dengan yang diciptakannya, baik
ciptaan-Nya yang dapat disaksikan oleh mata kita atau tidak. Dengan menetapkan
dua dasar kaedah ini menjadi jelas bahwa apa yang dinyatakan oleh prasangka
tidak lain hanyalah khayalan belaka yang tidak memiliki kebenaran.
Jika Allah itu disimpulkan
sebagai benda -seperti dalam kesimpulan prasangka- maka berarti mestilah Dia
juga memiliki ketentuan-ketantuan yang berlaku pada benda itu sendiri -yaitu
sifat-sifat benda-, dan ini jelas tertolak.
Di atasa sudah kita jelaskan bahwa
Allah bukan sifat benda. Karena bila Dia sifat benda maka ia butuh kepada benda
untuk menetap padanya. Karena sifat benda itu tidak dapat berdiri sendiri. ia
hanya ada dan menetap pada benda. Dan ini jelas mustahil atas Allah” .
Masih dalam kitab Ghayah
al-Maram, al-Imam al-Amidi menuliskan sebagai berikut:
“Jika adalah Allah berada pada
arah maka tidak lepas dari keadaan pada seluruh arah atau pada atu arah saja.
Jika Ia ada pada seluruh arah maka berarti tidak ada satu arahpun bagi kita
kecuali Allah berada pada arah tersebut. Dan ini jelas mustahil.
Kemudian jika
ia berada pada satu arah maka tidak lepas dari dua keadaan; ada yang
menjadikannya pada arah tersebut atau arah tersebut ada azali; tanpa permulaan
bersama-Nya.
Tentunya mustahil jika arah tersebut ada azali bersama-Nya. Karena
pada dasarnya seluruh arah bagi Allah itu sama, tidak khusus dengan satu arah
saja -semuanya mekhluk Allah-. Maka demikian berarti ada yang mengkhususkan-Nya
pada arah tertentu tersebut. Inipun sesuatu yang mustahil, dengan melihat
kepada dua segi:
Pertama: Bahwa yang
mengkhususkan-Nya pada arah tersebut tidak lepas dari dua keadaan; antara qadim
atau baharu (hadits). Jika qadim maka berarti ada dua yang qadim; -Allah dan
yang mengkhususkan-Nya pada arah tersebut-, ini jelas mustahil.
Dan jika baharu
maka berarti ia membutuhkan kepada lainnya. Dan lainnya ini butuh pula kepada
yang yang lainnya pula. Dan terus menerus berantai demikian tanpa penghabisan
(tasalsul). Ini tentunya mustahil.
Kedua: Bahwa menurut pendapat
yang mengatakan Allah memiliki arah berarti kekhususan arah tersebut bagi
merupakan sifat-Nya. Itu berarati adanya kekhususan sifat tersebut membutuhkan
kepada yang mengkhususkannya dan yang mengadakannya, dan secara hukum akal
berarti tidak ubahnya seperti makhluk.
Karena sesuatu yang ada yang membutuhkan
kepada yang mengadakannya berarti sesuatu tersebut adalah makhluk. Kemudian
jika ada pada Allah satu sifat saja yang baharu seperti makhluk maka
dimungkinkan adanya kebaharuan pada sifat-sifat yang lainnya juga. Padahal
Allah wajib pada seluruh sifat-sifat-Nya maha Qadim” .
• al-Imam al-Bayyadli al-Hanafi
(w 1098 H) dalam kitab Isyarat al-Maram membahas dengan sangat detail argumen
rasional bahwa Allah ada tanpa tempat dan tanpa arah. Dalam kitab ini beliau
menjelaskan ungkapan al-Imam Abu Hanifah dalam kitab al-Fiqh al-Akbar bahwa
adanya Allah Azali; tanpa permulaan. Dia ada sebelum ada makhluk-Nya.
Ada sebelum
Dia menciptakan tempat dan arah. Dialah Pencipta segala sesuatu. Maka setelah
menciptakan segala sesuatu Dia tetap tidak membutuhkan kepada segala sesuatu.
Dia maha Qadim, sementara tempat dan arah itu baharu.
Dari ungkapan al-Imam Abu Hanifah
dalam kitab al-Fiqh al-Akbar tersebut al-Imam al-Bayyadli menyimpulkan beberapa
poin penjelasan penting berikut ini :
Pertama: Dari pernyataan al-Imam
Abu Hanifah di atas terdapat argumen yang sangat kuat. Ialah bahwa jika Allah
ada pada tempat dan arah maka berarti arah dan tempat tersebut mesti qadim, dan
berarti pula bahwa Allah adalah benda.
Karena definisi tempat adalah ruang
kosong yang dipenuhi oleh suatu benda. Dan definisi arah adalah nama bagi objek
penghabisan bagi suatu isyarat. Keduanya; tempat dan arah hanya berlaku bagi
suatu benda dan apapun yang memiliki bentuk. Semua ini mustahil atas Allah
sebagaimana telah kita jelaskan.
Inilah yang dimaksud oleh al-Imam Abu Hanifah
dalam perkataannya: “Dia ada sebelum ada makhluk-Nya. Ada sebelum Dia
menciptakan tempat dan arah. Dan Dialah Pencipta segala sesuatu”. Dengan
demikian adalah batil apa yang diungkapkan oleh Ibn Taimiyah bahwa arsy tidak
memiliki permulaan, sebagaimana penjelasan bantahan atasnya telah panjang lebar
dalam kitab Syarah al-‘Aqidah al-Adludiyyah.
Kedua: Perkataan al-Imam Abu
Hanifah adalah merupakan jawaban bahwa Allah tidak boleh dikatakan di dalam
alam; karena tidak bisa diterima akal Sang pencipta berada di dalam yang
diciptakannya. Juga tidak boleh dikatakan bahwa Allah berada di luar alam
dengan mengatakan bahwa Dia di arah tertentu dari alam ini.
Hal ini karena
Allah ada sebelum menciptakan segala makhluk-Nya, ada sebelum segala arah dan
tempat. dan Dialah Pencipta segala sesuatu. Allah berfirman: “Dia -Allah-
Pencipta segala sesuatu” (QS. al-An’am: 102). Keyakinan ini dibangun di atas
akal sehat bukan di atas prasangka”.
• Seorang teolog terkemuka, ahi
fiqih dan pakar sejarah, al-Imam Ibn al-Mu’allim al-Qurasyi ad-Damasyqi (w 725
H) mengutip perkataan seorang ulama terkenal; al-Imam Abu Abdillah Muhammad ibn
Umar al-Anshari al-Qurthubi dalam menafikan arah dan tempat dari Allah.
Argumentasi logis dari al-Qurthubi ini sekaligus disepakati oleh ibn
al-Mu’allim sendiri, sebagai berikut:
“Al-Imam Abu Abdillah Muhammad
ibn Umar al-Anshari al-Qurthubi berkata: Di antara yang dapat membatalkan
pendapat adanya tempat dan arah pada Allah adalah apa yang telah kami sebutkan
dari perkataan guru kita dan ulama lainnya. Ialah dengan melihat kepada dua
hal:
Pertama: Bahwa arah jika benar
ada pada Allah maka hal itu akan menafikan kesempurnaan-Nya. Sesungguhnya
Pencipta segala makhluk itu maha sempurna dan maha kaya. Ia tidak membutuhkan
kepada sesuatu apapun untuk menjadikan-Nya sempurna.
Kedua: Jika Allah ada pada tempat
dan arah maka tidak lepas dari dua hal; tempat dan arah tersebut qadim atau
keduanya baharu. Jika arah dan tempat tersebut qadim maka hal itu menghasilkan
dua perkara mustahil.
Salah satunya ialah berarti bahwa tampat dan arah
tersebut azali; tanpa permulaan, ada bersama Allah. Dan jika ada dua sesuatu
yang qadim bagaimana mungkin salah satunya bertempat pada yang lainnya. Kalau
demikian berarti Ia membutuhkan kepada yang mengkhususkan-Nya pada arah dan
tempat tersebut. Ini adalah perkara mustahil” .
• Al-Hafizh al-Muhaddits al-Imam
as-Sayyid Muhammad Murtadla az-Zabidi al-Hanafi (w 1205 H) dalam kitab Ithaf
as-Sadah al-Muttaqin menjelaskan panjang lebar perkataan al-Imam
al-Ghazali bahwa Allah mustahil bertempat atau bersemayam di atas arsy. Dalam
kitab Ihya’ ‘Ulum ad-Din, al-Imam al-Ghazali menuliskan sebagai berikut:
“al-Istiwa’ jika diartikan dengan makna bertempat atau bersemayam maka hal ini
mengharuskan bahwa yang berada di atas arsy tersebut adalah benda yang
menempel. Benda tersebut bisa jadi lebih besar atau bisa jadi lebih kecil dari
arsy itu sendiri. Dan ini adalah sesuatu yang mustahil atas Allah” .
Dalam penjelasannya al-Imam az-Zabidi menuliskan sebagai berikut:
“Penjabarannya ialah bahwa jika
Allah berada pada suatu tempat atau menempel pada suatu tempat maka berarti
Allah sama besar dengan tempat tersebut, atau lebih besar darinya atau bisa
jadi lebih kecil. Jika Allah sama besar dengan tempat tersebut maka berarti Dia
membentuk sesuai bentuk tempat itu sendiri. Jika tempat itu segi empat maka Dia
juga segi empat.
Jika tempat itu segi tiga maka Dia juga segi tiga. Ini jelas
sesuatu yang mustahil. Kemudian jika Allah lebih besar dari arsy maka berarti
sebagian-Nya di atas arsy dan sebagian yang lainnya tidak berada di atas arsy.
Ini berarti memberikan paham bahwa Allah memiliki bagian-bagian yang satu sama
lainnya saling tersusun. Kemudian kalau arsy lebih besar dari Allah berarti
sama saja mengatakan bahwa besar-Nya hanya seperempat arsy, atau seperlima arsy
dan seterusnya. Kemudian jika Allah lebih kecil dari arsy, -seberapapun ukuran
lebih kecilnya-, itu berarti mengharuskan akan adanya ukuran dan batasan bagi
Allah.
Tentu ini adalah kekufuran dan kesesatan. Seandainya Allah -Yang Azali-
ada pada tempat yang juga azali maka berarti tidak akan dapat dibedakan antara
keduanya, kecuali jika dikatakan bahwa Allah ada terkemudian setelah tempat
itu. Dan ini jelas sesat karena berarti bahwa Allah itu baharu, karena ada
setelah tempat.
Kemudian jika dikatakan bahwa Allah bertempat dan menempel di
atas arsy maka berarti boleh pula dikatakan bahwa Allah dapat terpisah dan
menjauh atau meningalkan arsy itu sendiri. Padahal sesuatu yang menempel dan
terpisah pastilah sesuatu yang baharu.
Bukankah kita mengetahui bahwa setiap
komponen dari alam ini sebagai sesuatu yang baharu karena semua itu memiliki
sifat menempel dan terpisah?! Hanya orang-orang bodoh dan berpemahaman pendek
saja yang berkata: Bagaimana mungkin sesuatu yang ada tidak memiliki tempat dan
arah? Karena pernyataan semacam itu benar-benar tidak timbul kecuali dari
seorang ahli bid’ah -yang menyerupakan Allah denganmakhluk-Nya-. Sesungguhnya
yang menciptakan sifat-sifat benda (kayf) mustahil Dia disifati dengan
sifat-sifat benda itu sendiri. -Artinya Dia tidak boleh dikatakan “bagaimana
(kayf)” karena “bagaimana (kayf)” adalah sifat benda.
Di antara bantahan yang dapat
membungkam mereka, katakan kepada mereka: Sebelum Allah menciptakan alam ini
dan menciptakan tempat apakah Dia ada atau tidak ada? Tentu mereka akan
menjawab: Ada. Kemudian katakan kepada mereka: Jika demikian atas dasar
keyakinan kalian -bahwa segala sesuatu itu pasti memiliki tempat- terdapat dua
kemungkinan kesimpulan.
Pertama; Bisa jadi kalian berpendapat bahwa tempat,
arsy dan seluruh alam ini qadim; ada tanpa permulaan -seperti Allah-. Atau
kesimpulan kedua; Bisa jadi kalian berpendapat bahwa Allah itu baharu -seperti
makhluk-. Dan jelas keduanya adalah kesesatan, ini tidak lain hanya merupakan
pendapat orang-orang bodoh dari kaum Hasyawiyyah.
Sesungguhnya Yang Maha Qadim
(Allah) itu jelas bukan makhluk. Dan sesuatu yang baharu (makhluk) jelas bukan
yang Maha Qadim (Allah). Kita berlindung kepada Allah dari keyakinan yang
rusak” .
Masih dalam kitab Ithaf as-Sadah
al-Muttaqin, al-Imam Murtadla az-Zabidi juga menuliskan sebagai berikut:
“Peringatan: Keyakinan bahwa
Allah ada tanpa tempat dan tanpa arah adalah akidah yang telah disepakati di
kalangan Ahlussunnah. Tidak ada perselisihan antara seorang ahli hadits dengan
ahli fiqih atau dengan lainnya. Dan di dalam syari’at sama sekali tidak ada
seorang nabi sekalipun yang menyebutkan secara jelas adanya arah bagi Allah.
Arah dalam pengertian yang sudah kita jelaskan, secara lafazh maupun secara
makna, benar-benar dinafikan dari Allah. Bagaimana tidak, padahal Allah telah
berfirman: “Dia Allah tidak menyerupai sesuatu apapun” (QS. as-Syura: 11).
Karena jika Dia berada pada suatu tempat maka akan ada banyak yang serupa
dengan-Nya” .
Jangan pernah anda berkeyakinan
Allah memiliki tempat, karena tampat adalah makhluk Allah, dan Allah tidak
diliputi oleh makhluk-Nya sendiri....
Waspadai ajaran Wahhabi yang mengatakan bahwa Allah bertempat di atas arsy..
Bagaimana dikatakan di atas arsy, padahal arsy adalah makhluk Allah sendiri. sebelum menciptakan arsy; Allah ada tanpa arsy. apa kemudian setelah Dia menciptakan arsy menjadi berubah membutuhkan kepada arsy.. A'udzu Billah!!!!
Komentar:
0 comments: