Imam an-Nawawi dalam al-Majmu’ berkata, “Bersiwak dalam kondisi
apapun tidak makruh kecuali bagi orang yang berpuasa ba’da zawal, ia makruh.
Imam asy-Syafi'i menyatakan demikian dalam al-Um, juga dalam Kitab ash-Shiyam dari Mukhtashar
al-Muzani dan lainnya,
kawan-kawan kami menyepakati demikian.
Abu Isa yakni at-Tirmidzi menyatakan
dalam Jami’nya dalam Kitab ash-Shiyam dari asy-Syafi'i bahwa beliau tidak
mempersoalkan orang yang berpuasa bersiwak ba’da zawal di pagi dan sore hari,
penukilan ini aneh walaupun kuat dari segi dalil. Ini adalah pendapat al-Muzani
dan kebanyakan ulama dan inilah yang terpilih.” Selesai ucapan Imam an-Nawawi.
Kesimpulan dari ucapan Imam an-Nawawi, beliau memilih pendapat yang menyatakan
bahwa bersiwak bagi orang yang berpuasa ba’da zawal adalah tidak makruh, alasan
beliau karena dalilnya lebih kuat, meskipun Imam asy-Syafi'i dalam penukilan
darinya yang lebih kuat menyatakannya makruh dan ini diikuti oleh mayoritas
Syafi’iyah.
Imam an-Nawawi menyatakan bahwa Ibnu al-Mundzir menyatakan bahwa pendapat yang
berkata makruh dinukil dari Imam Ahmad.
Berbeda dengan mereka Imam Abu Hanifah dan Malik, kedua Imam ini tidak
memandang makruh bersiwak bagi orang yang berpuasa ba’da zawal.
Pendapat yang berkata makruh berdalil kepada,
A. Hadits Ali bin Abu Thalib, Nabi shallallohu 'alaihi wasallam bersabda,
إِذَا صُمْتُمْ فَاسْتَاكُوْا بِالغَدَاةِ، وَلاَتَسْتَاكُوْا
بِالعَشِيِّ .
“Jika kalian berpuasa maka bersiwaklah di pagi hari dan jangan bersiwak di
sore hari.” (HR.
ad-Daraquthni). Yang dimaksud dengan sore hari adalah ba’da zawal.
B. Hadits Khabbab bin al-Arat bahwa Nabi shallallohu 'alaihi wasallam bersabda, “Jika kalian berpuasa maka
bersiwaklah di pagi hari dan jangan bersiwak di sore hari, karena tidak ada
orang yang berpuasa, kedua bibirnya kering setelah zawal kecuali keduanya
adalah cahaya di antara kedua matanya pada Hari Kiamat.” (HR. al-Baihaqi).
C. Hadits Abu Hurairah dalam ash-Shahihain, Nabi shallallohu 'alaihi wasallam
bersabda,
لَخُلُوْفُ فَمِ الصَّائِمِ أَطْيَبُ عِنْدَ اللهِ مِنْ رِيْحِ
المِسْكِ .
“Bau mulut orang yang berpuasa lebih harum di sisi Allah daripada aroma
minyak wangi miski.”
Jika bau mulut ini lebih harum dan ia timbul karena suatu ibadah maka ia tidak
patut untuk dihilangkan sementara bersiwak menghilangkan itu, seperti darah
orang yang gugur sebagai syahid.
Pendapat yang berkata tidak makruh berdalil kepada hadits-hadits shahih yang
telah dipaparkan pada pembahasan tentang anjuran dan keutamaan bersiwak, bahwa
dalam hadits-hadits tersebut tidak ada pengkhususan waktu tertentu dengan karahah.
Tarjih.
Pendapat kedua inilah yang rajih, seperti kata Imam an-Nawawi, ia lebih kuat
dari segi dalil.
Hadits Ali adalah hadits dhaif, ad-Daraquthni berkata, “Padanya
terdapat Kaisan Abu Umar, dia tidak kuat di samping itu antara dia dengan Ali
tidak dikenal.” Ibnu Hajar dalam at-Talkhish berkata, “Sanadnya dhaif.”
Hadits Khabbab juga dhaif, al-Baihaqi yang meriwayatkannya dan
mendhaifkannya.
Hadits Abu Hurairah shahih, akan tetapi ia tidak menunjukkan
makruhnya bersiwak bagi orang yang berpuasa ba’da zawal, ia hanya menetapkan
bahwa bau mulut orang yang berpuasa lebih harum dari pada minyak wangi miski.
Adapun ucapan bahwa bersiwak menghilangkan bau ini, maka ia tidak tepat karena
bau ini berasal dari perut yang kosong karena berpuasa bukan dari mulut, jadi
meskipun dia bersiwak bau ini akan tetap ada, di samping itu jika perkaranya
demikian lalu bagaimana dengan orang yang tidak berbau mulut? Atau orang yang
berbau mulut sebelum zawal, apakah makruh baginya bersiwak seperti ba’da zawal?
Dan pendapat yang mengatakan makruh ba’da zawal tidak mengatakan makruh sebelum
zawal.
Pendapat tidak makruhnya bersiwak bagi orang yang berpuasa setelah zawal ini
didukung oleh hadits Amir bin Rabi’ah –walaupun hadits ini dhaif- dia berkata,
“Aku melihat dalam hitungan yang tidak bisa aku hitung Rasulullah shallallohu
'alaihi wasallam bersiwak padahal beliau berpuasa.” (HR. Ahmad, al-Bukhari
secara muallaq dengan bahasa pasif, Abu Dawud, at-Tirmidzi. Ibnu Hajar dalam at-Talkhish menshahihkan sanadnya di satu tempat
sementara di tempat lain menyatakannya dhaif). Wallahu a'lam.
(Rujukan: al-Majmu’, Imam an-Nawawi, asy-Syarh al-Mumti’, Ibnu Utsaimin, Umdah al-Ahkam, Abdullah al-Bassam).
Komentar:
0 comments: