Lirboyo, awalnya adalah nama sebuah desa terpencil yang terletak di
Kecamatan Mojoroto Kota Kediri Jawa Timur. dahulu desa ini merupakan
sarang penyamun dan perampok, hingga pada suatu ketika atas prakarsa
Kyai Sholeh, seorang yang Alim dari desa Banjarmelati dan dirintis oleh
salah satu menantunya yang bernama KH. Abdul Karim, seorang yang
Alim berasal dari Magelang Jawa Tengah.
Sejarah berdirinya Pondok Pesantren Lirboyo erat sekali hubungannya dengan awal mula KH. Abdul Karim menetap di Desa Lirboyo sekitar tahun 1910 M. setelah kelahiran putri pertama beliau yang bernama Hannah dari perkawinannya dengan Nyai Khodijah (Dlomroh), putri Kyai Sholeh Banjarmelati.
Perpindahan KH. Abdul Karim ke desa Lirboyo dilatar belakangi, dorongan dari mertuanya sendiri yang pada waktu itu menjadi seorang da’i, karena Kyai Sholeh berharap dengan menetapnya KH. Abdul Karim di Lirboyo, maka syiar Islam lebih luas. Disamping itu, juga atas permohonan kepala desa Lirboyo kepada Kyai Sholeh agar berkenan menempatkan salah satu menantunya di desa Lirboyo. Dengan hal ini diharapkan Lirboyo yang semula angker dan rawan kejahatan menjadi sebuah desa yang aman dan tentram.
Harapan kepala desa menjadi kenyataan. Konon ketika pertama kali kyai Abdul Karim menetap di Lirboyo, tanah tersebut diadzani, saat itu juga semalaman penduduk Lirboyo tidak bisa tidur karena perpindahan makhluk halus yang lari tunggang langgang menyelamatkan diri.
Tiga puluh lima hari setelah menempati tanah waqaf tersebut, KH. Abdul Karim mendirikan surau mungil nan sederhana untuk mendekatkan diri kepada sang pencipta.
Santri Perdana dan Pondok Lama
Adalah seorang bocah lugu yang bernama Umar asal Madiun, dialah santri
pertama yang menimba ilmu dari KH. Abdul Karim di Pondok Pesantren Lirboyo. Kedatangannya disambut baik oleh KH. Abdul Karim, karena kedatangan musafir itu untuk tholabul ilmi , menimba pengetahuan agama. Selama nyantri, Umar sangat ulet dan telaten. Ia benar-benar taat pada Kyai.
Demikian jalan yang ditempuh Umar selama di Lirboyo. Selang beberapa waktu ada tiga santri menyusul jejak Umar. Mereka berasal dari Magelang, daerah asal KH. Abdul Karim. Masing-masing bernama Yusuf, Shomad Dan Sahil. Tidak lama kemudian datanglah dua orang santri bernam Syamsuddin dan Maulana, keduanya berasal dari Gurah Kediri. Seperti santri sebelumnya, kedatangan kedua santri ini bermaksud untuk mendalami ilmu agama dari KH. Abdul Karim. Akan tetapi baru dua hari saja mereka berdua menetap di Lirboyo, semua barang-barangnya ludes di sambar pencuri. Memang pada saat itu situasi Lirboyo belum sepenuhnya aman, di Lirboyo masih ada sisa-sisa perbuatan tangan-tangan kotor. Akhirnya mereka berdua mengurungkan niatnya untuk mencari ilmu. Mereka pulang ke kampung halamannya.
Tahun demi tahun, keberadaan Pondok Pesantren Lirboyo semakin dikenal oleh masyarakat luas dan semakin banyaklah santri yang berdatangan mengikuti santri-santri sebelumnya untuk bertholabul ilmi , maka untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan seperti yang dialami oleh Syamsuddin dan Maulana, dibentuklah satuan keamanan yang bertugas ronda keliling disekitar pondok.
Berdirinya Masjid Pondok Pesantren Lirboyo
Masjid merupakan elemen yang tidak dapat dipisahkan dengan pondok pesantren, karena keberadaannya yangbegitu penting bagi perkembangan dakwah bagi ummat Islam dan sebagai sarana untuk mengadakan berbagai macam kegiatan keagamaan, sebagaimana praktek sholat berjama’ah dan lain sebagainya. Oleh sebab itu, bukan merupakan hal yang aneh jika dimana ada
pesantren disitu pula ada masjid, seperti yang dapat kita lihat di Pondok Pesantren Lirboyo.
Asal mula berdirinya masjid di Pondok Lirboyo, karena Pondok Pesantren yang sudah berwujud nyata itu kian hari banyak santri yang berdatangan, sehingga dirasakan KH. Abdul Karim, belum dianggap sempurna sebuah pesantren kalau belum ada masjidnya. Maka dua setengah tahun setelah berdirinya Pondok Pesantren Lirboyo, tepatnya pada tahun 1913 M. timbullah gagasan dari KH. Abdul Karim untuk merintis berdirinya masjid dilingkungan Pondok.
Semula masjid itu amat sederhana sekali, tidak lebih dari dinding dan atap yang terbuat dari kayu. Namun setelah beberapa lama masjid itu digunakan, lambat laun bangunan itu mengalami kerapuhan. Bahkan suatu ketika bangunan itu hancur porak poranda ditiup angin beliung dengan kencang. Akhirnya KH. Muhammad yang tidak lain adalah kakak ipar KH. Abdul Karim sendiri mempunyai inisiatif untuk membangun kembali masjid yang telah rusak itu dengan bangunan yang lebih permanen. Jalan keluar yang ditempuh KH. Muhammad, beliau menemui KH. Abdul Karim guna meminta pertimbangan dan bermusyawarah. Tidak lama kemudian seraya KH. Abdul Karim mengutus H. Ya’qub yang tidak lain adik iparnya sendiri untuk sowan berkonsultasi dengan KH. Ma’ruf Kedunglo mengenai langkah selanjutnya yang harus ditempuh dalam pelaksanaan pembangunan masjid tersebut.
Dari pertemuan antara H. Ya’qub dengan KH. Ma’ruf Kedunglo itu membuahkan persetujuan, yaitu dana pembangunan masjid dimintakan dari sumbangan para dermawan dan hartawan. Usai pembangunan itu diselesaikan, peresmian dilakukan pada tanggal 15 Rabi’ul Awwal 1347 H. / 1928 M. Acara itu bertepatan dengan acara ngunduh mantu putri KH. Abdul Karim yang kedua , Salamah dengan KH. Manshur Paculgowang.
Dalam tempo penggarapan yang tidak terlalu lama, masjid itu sudah berdiri tegak dan megah (pada masa itu) dengan mustakanya yang menjulang tinggi, dinding serta lantainya yang terbuat dari batu merah, gaya bangunannya yang bergaya klasik, yang merupakan gaya arsitektur Jawa kuno dengan gaya arsitektur negara Timur Tengah.
Untuk mengenang kembali masa keemasan Islam pada abad pertengahan, maka atas prakarsa KH. Ma’ruf pintu yang semula hanya satu, ditambah lagi menjadi sembilan, mirip kejayaan daulat Fatimiyyah.
Selang beberapa tahun setelah bangunan masjid itu berdiri, santri kian bertambah banyak. Maka sebagai akibatnya masjid yang semula dirasa longgar semakin terasa sempit. Kemudian diadakan perluasan dengan menambah serambi muka, yang sebagian besar dananya dipikul oleh H. Bisyri,
dermawan dari Branggahan Kediri. Pembangunan ini dilakukan pada tahun sekitar 1984 M.
Tidak sampai disitu, sekitar tahun 1994 M. ditambahkan bangunan serambi depan masjid. Dengan pembangunan ini diharapkan cukupnya tempat untuk berjama’ah para santri, akan tetapi kenyataan mengatakan lain, jama’ah para santri tetap saja membludak sehingga sebagian harus berjamaah tanpa menggunakan atap. Bahkan sampai kini bila berjama’ah sholat Jum’at banyak santri dan penduduk yang harus beralaskan aspal jalan umum.
Untuk menjaga dan melestarikan amal jariyyah pendahulu serta menghargai dan melestarikan nilai ritual dan histories, sampai sekarang masjid itu tidak mengalami perobahan, hanya saja hampir tiap menjelang akhir tahun dinding-dindingnya dikapur dan sedikit ditambal sulam.
Sistem pendidikan dan pengajaran di Pondok Pesantren Lirboyo, yang dikenal selama ini adalah sistem Klasikal dan sistem Klasik (bandongan, sorogan dan wethon). Sistem klasik diajarkan di Pondok Pesantren Lirboyo sebelum berdirinya Madrasah Hidayatul Mubtadi-ien tepatnya sejak berdirinya Pondok Pesantren Lirboyo, yaitu 1910 Masehi. Sementara sistem klasikal dimulai sejak berdirinya Madrasah Hidayatul Mubtadi-ien tahun 1925 Masehi hingga sekarang.
Madrasah Hidayatul Mubtadi-ien berdiri bermula dari gagasan Jamhari seorang santri senior asal Kaliwungu Kendal Jawa Tengah. Gagasan tersebut dilaksanakan setelah mendapat restu dari Romo KH. Abdul Karim, kemuadian diikuti oleh Mas Syamsi asal Gurah Kediri dan Mas Syamsi orang yang pertama memasang papan tulis disetiap kelas sebagai sarana untuk menulis dan menerangkan pelajaran. Dan saat itu secara resmi, Madrasah yang baru lahir itu diberi nama “Hidayatul Mubtadi-ien”
Berdirinya Madrasah Hidayatul Mubtadi-ien ini sangat direstuhi oleh Pendiri Pondok Pesantren Lirboyo, Hadrotus Syaikh Romo KH. Abdul Karim, sehingga beliau dawuh kepada semua santri “ SANTRI-SANTRI KANG DURUNG BISO MOCO LAN NULIS KUDU SEKOLAH “ (para snatri yang belum bisa membaca dan menulis harus mengikuti sekolah).
Tujuan berdirinya Madrasah Hidayatul Mubtadi-ien
1. Dengan adanya sistem yang sederhana (klasikal) dapat meningkatkan mutu pendidikan.
2. Menyesuaikan pada tingkat kebutuhan dan kemampuan para santri.
3. Lebih intensif dalam mendidik dan membentuk kepribadian santri.
Kendala-kendala dalam tahun-tahun pertama
Dalam tahun pertama berdiri Madrasah Hidayatul Mubtadi-ien ternyata mengalamai banyak kendala yang menyebabkan keadaan makin lama makin memburuk Karena pada waktu itu kurang berminatnya santri untuk memasuki pendidikan Madarasah karena madrasah merupakan sistem pendidikan yang masih asing, akhirnya setelah berjalan kurang lebih enam tahun Madrasah Hidayatul Mubtadi-ien mengalami kevakuman ditengah jalan.
Meskipun demikian, jangka waktu selama 6 tahun terhitung sejak tahun 1925
sampai tahun 1931 itu menghasilkan beberapa pengalaman yang cukup berharga yaitu :
1. Madrasah sudah terbagi menjadi bebrapa lokal
2. Beberapa guru dan pembimbing diantara Ustadz Sanusi (dari bangil) Ustadz Syairozi ( dari Perak) Kyai Bahri (dari kediri) dan lain-lain
Setalah mandek selama dua tahun tepatnya tahun 1931 M. sampai tahun 1933M. KH. Jauhari menantu Hadrotus Syaikh Romo KH. Abdul Karim bersama kepala Pondok pesantren Lirboyo yang kala itu dijabat Oleh K. Kholil asal Melikan Kediri serta KH. Faqih Asy’ari asal Sumber Pare Kediri menghidupkan kembali Madrasah Hidayatul Mubtadi-ien. Dan madrasah dibuka kembali pada malam Rabu bulan Muharrom 1353 H. yang bertepatan dengan tahun 1933 M. Dan saat itu setiap siswa ditarik sumbangan 5 Sen setiap bulan.
Perlu diketahui, bahwa Madrasah pada masa itu masuk malam hari yaitu ba’dal Maghrib dan dibagi dalam 8 (delapan) kelas, 3 kelas untuk Sifir (persiapan), yang terdiri dari Sifir Awal, Sifir Tsany dan Sifir Tsalis. Sedangkan 5 kelas dipergunakan untuk tingkat Ibtidaiyyah yang terdiri dari kelas I, kelasII, kelas III, kelas IV, dan kelas V kelas.
Sedangkan kurikulum yang diajarkan pada tingkat sifir adalah mata pelajaran dasar semacam pelajaran menulis huruf Arab ( Khoth) pelajaran membaca Al-qur’an, tajwid dan pelajaran Fiqh ibadah tahap permulaan. Sedangkan untuk kelas yang lebih tinggi, pelajarannya pun ditingkatkan sesuai dengan tingkatan kelasnya, dan untuk tingkatan yang paling tinggi pelajaran ketika itu adalah Al Jauharul Maknun.
Pada dasarnya Madrasah Hidayatul Mubtadi-ien semenjak berdirinya memberikan porsi lebih banyak untuk mata pelajaran Ilmu Nahwu dan shorof , sehingga menjadi ciri khas tersendiri bagi Madrasah Hidayatul Mubtadi-ien.
Ketika masa Penjajahan Jepang
Pondok Pesantren Lirboyo, sejak zaman kolonial Belanda merupakan salah satu diantara sekian banyak pesantren yang ikut berjuang mengusir penjajah dari bumi nusantara tercinta. Hal ini dapat dibuktikan pada waktu tentara Jepang datang ke Indonesia untuk menjajah dengan dalih demi kemakmuran Asia Timur Raya. Ketika mereka mengundang para Ulama le Jakarta, maka KH.
Abdul Karim selaku pengasuh Pondok Pesantren berkenan hadir bersama KH. Ma’ruf Kedunglo dan KH. Abu Bakar Bandar Kidul dengan dikawal oleh Agus Abdul Madjid Ma’ruf. Ketika Jepang mengadakan latihan di Cibasura Bogor, Residen Kediri, R. Abd. Rahim Pratalikrama memohon kesediaannya KH. Mahrus Ali untuk berangkat sebagai utusan daerah Kediri. Berhubung beliu berlangan untuk hadir, maka diutuslah beberapa santri, antara Thohir Wijaya Blitar, Agus Masrur Lasem, Mahfudz Yogyakarta dan Ridlwan Anwar Kediri.Usai menghadiri pertemuan di Bogor, segala hal dan ihwal yang mereka ketahui di sana, segera disampaikan pada seluruh santri Lirboyo. Semua itu adalah merupakan satu usaha mngambil manfaat dalam rangka kerjasama dengan pemerintah Jepang. Akan tetapi dibalik itu ada maksud lain, yaitu sebagai persiapan Indonesia merdeka. Para utusan yang telah mendapat ilmu tentang kemiliteran, segera mengadakan latihan baris berbaris di Pondok Pesantren Lirboyo. Waktu itu sekitar tahun 1943-1944 M., yang mana di Kediri sudah dibentuk barisan Hizbullah dengan kepemimpinan KH. Zainal Arifin di tingkat pusatnya.
Pada masa itu adalah merupakan masa-masa penuh harapan rakyat Indonesia untuk terlepas dari cengkraman penjajah dari kepemerintahan negara yang dikenal dengan negeri Sakura itu. Rakyat sudah muak dengan segala tindakan penjajah. Mereka sangat rindu damai dalam merdeka. Betul juga, beberapa hari sesudah Hirosima dan Nagasaki yang merupakan dua kota besar di Jepang kejatuhan bom tentara sekutu, Jepang pun menyerah tanpa syarat. Akhirnya Indonesia yang sudah lama menunggu kesempatan amas dan hari-hari bersejarah itu segera memproklamirkan kemerdekaannya, tepat pada hari Jum’at tanggal 17 Agustus 1945, kebahagiaan bangsa Indonesia termasuk
santri Lirboyo tidak dapat terlukiskan lagi.
Jabatan kepala Madrasah Hidayatul Mubtadi-ien yang semula dijabat oleh HK. Faqih Asy’ari, kemudian pada tahun 1942 diserahterimakan kepada KH. Zamroji, sebagai kepala Madrasah yang baru. Dan ditahun itu pula Jepang dengan semboyannya “GOSPEL ANDA GLORI“ mulai menjajah bangsa Indonesia tercinta serta menguras seluruh kekayaan bangsa Indonesia, sehingga pada saat itu sulit untuk mencari sandang dan pangan. Sejak saat itu pula Madrasah Hidayatul Mubtadi-ien yang semual masuk malam hari ba’da (setelah) Maghrib dirubah menjadi siang hari, karena untuk mendapatkan bahan bakar minyak sewbagai penerangan saat itu sangat sulit, hal ini berlangsung hingga tahun 1945. Dan ketika itu berkembangan Madrasah Hidayatul Mubtadi-ien menurun secara drastis. Jumlah siswa yang sebelumya mencapai 350 siswa lebih, dimasa pendudukan Jepang turun menjadi 150 siswa. Dari jumlah itupun yang bisa menyelesaikan studinya hanya sedikit sekali, bahkan pernah terjadi hanya 5 siswa yang bisa menyelesaikan pendidikan terakhir.
Setelah Merdeka
Setelah Jepang bertekuk lutut kepada sekutu bersamaan dengan dikumandangkan detik-detik Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia pada tahun 1945, barulah Madrasah Hidayatul Mubtadi-ien mengalami kemajuan yang cukup mengembirakan dengan semakin banyak siswa yang berdatangan untuk menuntut ilmu agama di Pondok Pesantren Lirboyo.
Dua tahun setelah Indonesia Merdeka, tepatnya tahun 1947 Madrasah Hidayatul Mubtadi-ien mengalami pembaharuan dengan disusunnya tingkat jenjang pendidikan. Yang semula merupakan sifir dan Ibtidaiyyah menjadi Ibtidaiyyah dan tsanawiyah adapun kulikulumnya masih mengunakan kurikulum lama. Dan pada tahun 1947 ini pula didirikan lembaga baru yang berupa Madrasah Mualimin atas gagasan KH. Zamroji yang waktu itu menjadi pengajar/Mustahiq Tingkat Tsanawiyyah, sebagai penyempurnaan, sedangkan waktu sekolah adalah malam hari dengan kurikulum, untuk Fiqh adalah fathul Wahab, Uqudul Juman (Fan Balaghoh), Jami’ul Jawami’ ( Fan Ushul Fiqh).
Masa pembenahan kurikulum
Pada tahun ajaran 1977-1978 Madrasah Hidayatul Mubtadi-ien menyediakan tingkat Aliyah. Keputusan ini disepakati dalam sidang Panitia kecil Madrasah Hidayatul Mubtadi-ien, yang pada masa itu dipimpin oleh Bapak Ilham Nadzir.
Dengan terbentuknya pendidikan tingkat aliyah ini, merupakan masa peralihan dari sistem pendidikan model lama menuju sistem modern yang diselaraskan dengan tradisi pendidikan di Pondok Pesantren Lirboyo. Dan pada tahun ini pula jenjang pendidikan disempurnakan untuk Ibtidaiyah 6 Tahun, Tsanawiyah 3 Tahun dan Aliyah 3 tahun.
Pada tahun ajaran 1983-1984 sidang Panitia kecil yang dipimpin KH. Anwar Manshur. Menetapkan penyempurnaan kurikulum dengan menambah kitab Al-Mahalli ( Fan Fiqh ) Jami’ush Shohir (Fan Hadits) dan Jam’ul Jawami’ (Fan Ushul Fiqh) kitab-kitab inilah yang menjadi kitab pelajaran Aliyah, dan kitab yang paling besar yang ada di Madrasah Hidayatul Mubtadi-ien.
Perkembangan terakhir
Perkembangan terakhir kurikulum Madrasah Hidayatul Mubtadi-ien setelah tahun 1984 sampai tahun 1997 tidak banyak mengalami perubahan, sampai tahun terakhir 2003 yang dipimpin oleh KH. Habibulloh Zaini.
Visi :
Beriman, bertaqwa, berakhlaqul karimah dan disiplin
Misi :
Mencetak muslim intelektual yang beriman, bertaqwa dan berakhlaqul karimah
serta menciptakan kader ulama yang mampu mentransformasikan ilmu agama
dalam berbagai kondisi.
sumber :
Sejarah berdirinya Pondok Pesantren Lirboyo erat sekali hubungannya dengan awal mula KH. Abdul Karim menetap di Desa Lirboyo sekitar tahun 1910 M. setelah kelahiran putri pertama beliau yang bernama Hannah dari perkawinannya dengan Nyai Khodijah (Dlomroh), putri Kyai Sholeh Banjarmelati.
Perpindahan KH. Abdul Karim ke desa Lirboyo dilatar belakangi, dorongan dari mertuanya sendiri yang pada waktu itu menjadi seorang da’i, karena Kyai Sholeh berharap dengan menetapnya KH. Abdul Karim di Lirboyo, maka syiar Islam lebih luas. Disamping itu, juga atas permohonan kepala desa Lirboyo kepada Kyai Sholeh agar berkenan menempatkan salah satu menantunya di desa Lirboyo. Dengan hal ini diharapkan Lirboyo yang semula angker dan rawan kejahatan menjadi sebuah desa yang aman dan tentram.
Harapan kepala desa menjadi kenyataan. Konon ketika pertama kali kyai Abdul Karim menetap di Lirboyo, tanah tersebut diadzani, saat itu juga semalaman penduduk Lirboyo tidak bisa tidur karena perpindahan makhluk halus yang lari tunggang langgang menyelamatkan diri.
Tiga puluh lima hari setelah menempati tanah waqaf tersebut, KH. Abdul Karim mendirikan surau mungil nan sederhana untuk mendekatkan diri kepada sang pencipta.
Santri Perdana dan Pondok Lama
Adalah seorang bocah lugu yang bernama Umar asal Madiun, dialah santri
pertama yang menimba ilmu dari KH. Abdul Karim di Pondok Pesantren Lirboyo. Kedatangannya disambut baik oleh KH. Abdul Karim, karena kedatangan musafir itu untuk tholabul ilmi , menimba pengetahuan agama. Selama nyantri, Umar sangat ulet dan telaten. Ia benar-benar taat pada Kyai.
Demikian jalan yang ditempuh Umar selama di Lirboyo. Selang beberapa waktu ada tiga santri menyusul jejak Umar. Mereka berasal dari Magelang, daerah asal KH. Abdul Karim. Masing-masing bernama Yusuf, Shomad Dan Sahil. Tidak lama kemudian datanglah dua orang santri bernam Syamsuddin dan Maulana, keduanya berasal dari Gurah Kediri. Seperti santri sebelumnya, kedatangan kedua santri ini bermaksud untuk mendalami ilmu agama dari KH. Abdul Karim. Akan tetapi baru dua hari saja mereka berdua menetap di Lirboyo, semua barang-barangnya ludes di sambar pencuri. Memang pada saat itu situasi Lirboyo belum sepenuhnya aman, di Lirboyo masih ada sisa-sisa perbuatan tangan-tangan kotor. Akhirnya mereka berdua mengurungkan niatnya untuk mencari ilmu. Mereka pulang ke kampung halamannya.
Tahun demi tahun, keberadaan Pondok Pesantren Lirboyo semakin dikenal oleh masyarakat luas dan semakin banyaklah santri yang berdatangan mengikuti santri-santri sebelumnya untuk bertholabul ilmi , maka untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan seperti yang dialami oleh Syamsuddin dan Maulana, dibentuklah satuan keamanan yang bertugas ronda keliling disekitar pondok.
Berdirinya Masjid Pondok Pesantren Lirboyo
Masjid merupakan elemen yang tidak dapat dipisahkan dengan pondok pesantren, karena keberadaannya yangbegitu penting bagi perkembangan dakwah bagi ummat Islam dan sebagai sarana untuk mengadakan berbagai macam kegiatan keagamaan, sebagaimana praktek sholat berjama’ah dan lain sebagainya. Oleh sebab itu, bukan merupakan hal yang aneh jika dimana ada
pesantren disitu pula ada masjid, seperti yang dapat kita lihat di Pondok Pesantren Lirboyo.
Asal mula berdirinya masjid di Pondok Lirboyo, karena Pondok Pesantren yang sudah berwujud nyata itu kian hari banyak santri yang berdatangan, sehingga dirasakan KH. Abdul Karim, belum dianggap sempurna sebuah pesantren kalau belum ada masjidnya. Maka dua setengah tahun setelah berdirinya Pondok Pesantren Lirboyo, tepatnya pada tahun 1913 M. timbullah gagasan dari KH. Abdul Karim untuk merintis berdirinya masjid dilingkungan Pondok.
Semula masjid itu amat sederhana sekali, tidak lebih dari dinding dan atap yang terbuat dari kayu. Namun setelah beberapa lama masjid itu digunakan, lambat laun bangunan itu mengalami kerapuhan. Bahkan suatu ketika bangunan itu hancur porak poranda ditiup angin beliung dengan kencang. Akhirnya KH. Muhammad yang tidak lain adalah kakak ipar KH. Abdul Karim sendiri mempunyai inisiatif untuk membangun kembali masjid yang telah rusak itu dengan bangunan yang lebih permanen. Jalan keluar yang ditempuh KH. Muhammad, beliau menemui KH. Abdul Karim guna meminta pertimbangan dan bermusyawarah. Tidak lama kemudian seraya KH. Abdul Karim mengutus H. Ya’qub yang tidak lain adik iparnya sendiri untuk sowan berkonsultasi dengan KH. Ma’ruf Kedunglo mengenai langkah selanjutnya yang harus ditempuh dalam pelaksanaan pembangunan masjid tersebut.
Dari pertemuan antara H. Ya’qub dengan KH. Ma’ruf Kedunglo itu membuahkan persetujuan, yaitu dana pembangunan masjid dimintakan dari sumbangan para dermawan dan hartawan. Usai pembangunan itu diselesaikan, peresmian dilakukan pada tanggal 15 Rabi’ul Awwal 1347 H. / 1928 M. Acara itu bertepatan dengan acara ngunduh mantu putri KH. Abdul Karim yang kedua , Salamah dengan KH. Manshur Paculgowang.
Dalam tempo penggarapan yang tidak terlalu lama, masjid itu sudah berdiri tegak dan megah (pada masa itu) dengan mustakanya yang menjulang tinggi, dinding serta lantainya yang terbuat dari batu merah, gaya bangunannya yang bergaya klasik, yang merupakan gaya arsitektur Jawa kuno dengan gaya arsitektur negara Timur Tengah.
Untuk mengenang kembali masa keemasan Islam pada abad pertengahan, maka atas prakarsa KH. Ma’ruf pintu yang semula hanya satu, ditambah lagi menjadi sembilan, mirip kejayaan daulat Fatimiyyah.
Selang beberapa tahun setelah bangunan masjid itu berdiri, santri kian bertambah banyak. Maka sebagai akibatnya masjid yang semula dirasa longgar semakin terasa sempit. Kemudian diadakan perluasan dengan menambah serambi muka, yang sebagian besar dananya dipikul oleh H. Bisyri,
dermawan dari Branggahan Kediri. Pembangunan ini dilakukan pada tahun sekitar 1984 M.
Tidak sampai disitu, sekitar tahun 1994 M. ditambahkan bangunan serambi depan masjid. Dengan pembangunan ini diharapkan cukupnya tempat untuk berjama’ah para santri, akan tetapi kenyataan mengatakan lain, jama’ah para santri tetap saja membludak sehingga sebagian harus berjamaah tanpa menggunakan atap. Bahkan sampai kini bila berjama’ah sholat Jum’at banyak santri dan penduduk yang harus beralaskan aspal jalan umum.
Untuk menjaga dan melestarikan amal jariyyah pendahulu serta menghargai dan melestarikan nilai ritual dan histories, sampai sekarang masjid itu tidak mengalami perobahan, hanya saja hampir tiap menjelang akhir tahun dinding-dindingnya dikapur dan sedikit ditambal sulam.
SEJARAH BERDIRINYA MADRASAH HIDAYATUL MUBTADI-IEN
PONDOK PESANTREN LIRBOYO KOTA KEDIRISistem pendidikan dan pengajaran di Pondok Pesantren Lirboyo, yang dikenal selama ini adalah sistem Klasikal dan sistem Klasik (bandongan, sorogan dan wethon). Sistem klasik diajarkan di Pondok Pesantren Lirboyo sebelum berdirinya Madrasah Hidayatul Mubtadi-ien tepatnya sejak berdirinya Pondok Pesantren Lirboyo, yaitu 1910 Masehi. Sementara sistem klasikal dimulai sejak berdirinya Madrasah Hidayatul Mubtadi-ien tahun 1925 Masehi hingga sekarang.
Madrasah Hidayatul Mubtadi-ien berdiri bermula dari gagasan Jamhari seorang santri senior asal Kaliwungu Kendal Jawa Tengah. Gagasan tersebut dilaksanakan setelah mendapat restu dari Romo KH. Abdul Karim, kemuadian diikuti oleh Mas Syamsi asal Gurah Kediri dan Mas Syamsi orang yang pertama memasang papan tulis disetiap kelas sebagai sarana untuk menulis dan menerangkan pelajaran. Dan saat itu secara resmi, Madrasah yang baru lahir itu diberi nama “Hidayatul Mubtadi-ien”
Berdirinya Madrasah Hidayatul Mubtadi-ien ini sangat direstuhi oleh Pendiri Pondok Pesantren Lirboyo, Hadrotus Syaikh Romo KH. Abdul Karim, sehingga beliau dawuh kepada semua santri “ SANTRI-SANTRI KANG DURUNG BISO MOCO LAN NULIS KUDU SEKOLAH “ (para snatri yang belum bisa membaca dan menulis harus mengikuti sekolah).
Tujuan berdirinya Madrasah Hidayatul Mubtadi-ien
1. Dengan adanya sistem yang sederhana (klasikal) dapat meningkatkan mutu pendidikan.
2. Menyesuaikan pada tingkat kebutuhan dan kemampuan para santri.
3. Lebih intensif dalam mendidik dan membentuk kepribadian santri.
Kendala-kendala dalam tahun-tahun pertama
Dalam tahun pertama berdiri Madrasah Hidayatul Mubtadi-ien ternyata mengalamai banyak kendala yang menyebabkan keadaan makin lama makin memburuk Karena pada waktu itu kurang berminatnya santri untuk memasuki pendidikan Madarasah karena madrasah merupakan sistem pendidikan yang masih asing, akhirnya setelah berjalan kurang lebih enam tahun Madrasah Hidayatul Mubtadi-ien mengalami kevakuman ditengah jalan.
Meskipun demikian, jangka waktu selama 6 tahun terhitung sejak tahun 1925
sampai tahun 1931 itu menghasilkan beberapa pengalaman yang cukup berharga yaitu :
1. Madrasah sudah terbagi menjadi bebrapa lokal
2. Beberapa guru dan pembimbing diantara Ustadz Sanusi (dari bangil) Ustadz Syairozi ( dari Perak) Kyai Bahri (dari kediri) dan lain-lain
Setalah mandek selama dua tahun tepatnya tahun 1931 M. sampai tahun 1933M. KH. Jauhari menantu Hadrotus Syaikh Romo KH. Abdul Karim bersama kepala Pondok pesantren Lirboyo yang kala itu dijabat Oleh K. Kholil asal Melikan Kediri serta KH. Faqih Asy’ari asal Sumber Pare Kediri menghidupkan kembali Madrasah Hidayatul Mubtadi-ien. Dan madrasah dibuka kembali pada malam Rabu bulan Muharrom 1353 H. yang bertepatan dengan tahun 1933 M. Dan saat itu setiap siswa ditarik sumbangan 5 Sen setiap bulan.
Perlu diketahui, bahwa Madrasah pada masa itu masuk malam hari yaitu ba’dal Maghrib dan dibagi dalam 8 (delapan) kelas, 3 kelas untuk Sifir (persiapan), yang terdiri dari Sifir Awal, Sifir Tsany dan Sifir Tsalis. Sedangkan 5 kelas dipergunakan untuk tingkat Ibtidaiyyah yang terdiri dari kelas I, kelasII, kelas III, kelas IV, dan kelas V kelas.
Sedangkan kurikulum yang diajarkan pada tingkat sifir adalah mata pelajaran dasar semacam pelajaran menulis huruf Arab ( Khoth) pelajaran membaca Al-qur’an, tajwid dan pelajaran Fiqh ibadah tahap permulaan. Sedangkan untuk kelas yang lebih tinggi, pelajarannya pun ditingkatkan sesuai dengan tingkatan kelasnya, dan untuk tingkatan yang paling tinggi pelajaran ketika itu adalah Al Jauharul Maknun.
Pada dasarnya Madrasah Hidayatul Mubtadi-ien semenjak berdirinya memberikan porsi lebih banyak untuk mata pelajaran Ilmu Nahwu dan shorof , sehingga menjadi ciri khas tersendiri bagi Madrasah Hidayatul Mubtadi-ien.
Ketika masa Penjajahan Jepang
Pondok Pesantren Lirboyo, sejak zaman kolonial Belanda merupakan salah satu diantara sekian banyak pesantren yang ikut berjuang mengusir penjajah dari bumi nusantara tercinta. Hal ini dapat dibuktikan pada waktu tentara Jepang datang ke Indonesia untuk menjajah dengan dalih demi kemakmuran Asia Timur Raya. Ketika mereka mengundang para Ulama le Jakarta, maka KH.
Abdul Karim selaku pengasuh Pondok Pesantren berkenan hadir bersama KH. Ma’ruf Kedunglo dan KH. Abu Bakar Bandar Kidul dengan dikawal oleh Agus Abdul Madjid Ma’ruf. Ketika Jepang mengadakan latihan di Cibasura Bogor, Residen Kediri, R. Abd. Rahim Pratalikrama memohon kesediaannya KH. Mahrus Ali untuk berangkat sebagai utusan daerah Kediri. Berhubung beliu berlangan untuk hadir, maka diutuslah beberapa santri, antara Thohir Wijaya Blitar, Agus Masrur Lasem, Mahfudz Yogyakarta dan Ridlwan Anwar Kediri.Usai menghadiri pertemuan di Bogor, segala hal dan ihwal yang mereka ketahui di sana, segera disampaikan pada seluruh santri Lirboyo. Semua itu adalah merupakan satu usaha mngambil manfaat dalam rangka kerjasama dengan pemerintah Jepang. Akan tetapi dibalik itu ada maksud lain, yaitu sebagai persiapan Indonesia merdeka. Para utusan yang telah mendapat ilmu tentang kemiliteran, segera mengadakan latihan baris berbaris di Pondok Pesantren Lirboyo. Waktu itu sekitar tahun 1943-1944 M., yang mana di Kediri sudah dibentuk barisan Hizbullah dengan kepemimpinan KH. Zainal Arifin di tingkat pusatnya.
Pada masa itu adalah merupakan masa-masa penuh harapan rakyat Indonesia untuk terlepas dari cengkraman penjajah dari kepemerintahan negara yang dikenal dengan negeri Sakura itu. Rakyat sudah muak dengan segala tindakan penjajah. Mereka sangat rindu damai dalam merdeka. Betul juga, beberapa hari sesudah Hirosima dan Nagasaki yang merupakan dua kota besar di Jepang kejatuhan bom tentara sekutu, Jepang pun menyerah tanpa syarat. Akhirnya Indonesia yang sudah lama menunggu kesempatan amas dan hari-hari bersejarah itu segera memproklamirkan kemerdekaannya, tepat pada hari Jum’at tanggal 17 Agustus 1945, kebahagiaan bangsa Indonesia termasuk
santri Lirboyo tidak dapat terlukiskan lagi.
Jabatan kepala Madrasah Hidayatul Mubtadi-ien yang semula dijabat oleh HK. Faqih Asy’ari, kemudian pada tahun 1942 diserahterimakan kepada KH. Zamroji, sebagai kepala Madrasah yang baru. Dan ditahun itu pula Jepang dengan semboyannya “GOSPEL ANDA GLORI“ mulai menjajah bangsa Indonesia tercinta serta menguras seluruh kekayaan bangsa Indonesia, sehingga pada saat itu sulit untuk mencari sandang dan pangan. Sejak saat itu pula Madrasah Hidayatul Mubtadi-ien yang semual masuk malam hari ba’da (setelah) Maghrib dirubah menjadi siang hari, karena untuk mendapatkan bahan bakar minyak sewbagai penerangan saat itu sangat sulit, hal ini berlangsung hingga tahun 1945. Dan ketika itu berkembangan Madrasah Hidayatul Mubtadi-ien menurun secara drastis. Jumlah siswa yang sebelumya mencapai 350 siswa lebih, dimasa pendudukan Jepang turun menjadi 150 siswa. Dari jumlah itupun yang bisa menyelesaikan studinya hanya sedikit sekali, bahkan pernah terjadi hanya 5 siswa yang bisa menyelesaikan pendidikan terakhir.
Setelah Merdeka
Setelah Jepang bertekuk lutut kepada sekutu bersamaan dengan dikumandangkan detik-detik Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia pada tahun 1945, barulah Madrasah Hidayatul Mubtadi-ien mengalami kemajuan yang cukup mengembirakan dengan semakin banyak siswa yang berdatangan untuk menuntut ilmu agama di Pondok Pesantren Lirboyo.
Dua tahun setelah Indonesia Merdeka, tepatnya tahun 1947 Madrasah Hidayatul Mubtadi-ien mengalami pembaharuan dengan disusunnya tingkat jenjang pendidikan. Yang semula merupakan sifir dan Ibtidaiyyah menjadi Ibtidaiyyah dan tsanawiyah adapun kulikulumnya masih mengunakan kurikulum lama. Dan pada tahun 1947 ini pula didirikan lembaga baru yang berupa Madrasah Mualimin atas gagasan KH. Zamroji yang waktu itu menjadi pengajar/Mustahiq Tingkat Tsanawiyyah, sebagai penyempurnaan, sedangkan waktu sekolah adalah malam hari dengan kurikulum, untuk Fiqh adalah fathul Wahab, Uqudul Juman (Fan Balaghoh), Jami’ul Jawami’ ( Fan Ushul Fiqh).
Masa pembenahan kurikulum
Pada tahun ajaran 1977-1978 Madrasah Hidayatul Mubtadi-ien menyediakan tingkat Aliyah. Keputusan ini disepakati dalam sidang Panitia kecil Madrasah Hidayatul Mubtadi-ien, yang pada masa itu dipimpin oleh Bapak Ilham Nadzir.
Dengan terbentuknya pendidikan tingkat aliyah ini, merupakan masa peralihan dari sistem pendidikan model lama menuju sistem modern yang diselaraskan dengan tradisi pendidikan di Pondok Pesantren Lirboyo. Dan pada tahun ini pula jenjang pendidikan disempurnakan untuk Ibtidaiyah 6 Tahun, Tsanawiyah 3 Tahun dan Aliyah 3 tahun.
Pada tahun ajaran 1983-1984 sidang Panitia kecil yang dipimpin KH. Anwar Manshur. Menetapkan penyempurnaan kurikulum dengan menambah kitab Al-Mahalli ( Fan Fiqh ) Jami’ush Shohir (Fan Hadits) dan Jam’ul Jawami’ (Fan Ushul Fiqh) kitab-kitab inilah yang menjadi kitab pelajaran Aliyah, dan kitab yang paling besar yang ada di Madrasah Hidayatul Mubtadi-ien.
Perkembangan terakhir
Perkembangan terakhir kurikulum Madrasah Hidayatul Mubtadi-ien setelah tahun 1984 sampai tahun 1997 tidak banyak mengalami perubahan, sampai tahun terakhir 2003 yang dipimpin oleh KH. Habibulloh Zaini.
Visi :
Beriman, bertaqwa, berakhlaqul karimah dan disiplin
Misi :
Mencetak muslim intelektual yang beriman, bertaqwa dan berakhlaqul karimah
serta menciptakan kader ulama yang mampu mentransformasikan ilmu agama
dalam berbagai kondisi.
sumber :
Komentar:
0 comments: