Ummat Islam Indonesia berhaluan Ahlussunnah Wal Jama’ah,
mengikuti aliran Asy’ariyyah dalam bidang akidah dan Madzhab Syafi’i dalam
hukum fiqih.
Berikut ini penegasan beberapa ulama Indonesia tentang akidah
Ahlussunnah Wal Jama’ah:
1. Syekh Muhammad Nawawi bin Umar al Bantani (W.1314 H/1897).
Beliau menyatakan dalam Tafsirnya, at-Tafsir al Munir li Ma’alim at-Tanzil,
jilid I, hlm.282 ketika menafsirkan ayat 54 surat al A’raf (7):
ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ
Sebagai berikut:
"وَالْوَاجِبُ عَلَيْنَا أَنْ نَقْطَعَ
بِكَوْنِهِ تَعَالَى مُنَزَّهًا عَنِ الْمَكَانِ وَالْجِهَةِ...".
“Dan kita wajib meyakini secara pasti bahwa Allah ta’ala maha suci dari tempat
dan arah….”
2. Mufti Betawi Sayyid Utsman bin Abdullah bin ‘Aqil bin Yahya al ‘Alawi.
Beliau banyak mengarang buku-buku berbahasa Melayu yang hingga sekarang menjadi
buku ajar di kalangan masyarakat betawi yang menjelaskan akidah Ahlussunnah Wal
Jama’ah seperti buku beliau Sifat Dua Puluh. Dalam karya beliau “az-Zahr al
Basim fi Athwar Abi al Qasim”, hal.30, beliau mengatakan: “…Tuhan yang maha
suci dari pada jihah (arah)…”.
3. Syekh Muhammad Shaleh ibnu Umar as-Samaraniy yang dikenal dengan sebutan
Kiai Shaleh Darat Semarang (W. 1321 H/sekitar tahun 1901). Beliau berkata dalam
terjemah kitab al Hikam (dalam bahasa jawa), hlm.105, sebagai berikut:
“…lan ora arah lan ora enggon lan ora mongso lan ora werna”
Maknanya:”…dan (Allah Maha Suci) dari arah, tempat, masa dan warna”.
4. K.H.Muhammad Hasyim Asy’ari, Jombang, Jawa Timur pendiri organisasi Islam
terbesar di Indonesia, Nahdatul Ulama’ (W. 7 Ramadlan 1366 H/25 Juni 1947).
Beliau menyatakan dalam Muqaddimah Risalahnya yang berjudul: “at-Tanbihat al
Wajibat” sebagai berikut:
"وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ
وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ الْمُنَـزَّهُ عَنِ الْجِسْمِيَّةِ وَالْجِهَةِ
وَالزَّمَانِ وَالْمَكَانِ...".
Maknanya: “Dan aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan yang wajib disembah melainkan
Allah semata, tidak ada sekutu bagi-Nya, Dia maha suci dari berbentuk
(berjisim), arah, zaman atau masa dan tempat…”.
5. K.H.Muhammad Hasan al Genggongi al Kraksani, Probolinggo (W. 1955), Pendiri
Pondok pesantren Zainul Hasan, Probolinggo, Jawa Timur. Beliau menyatakan dalam
risalahnya (Aqidah at-Tauhid), hlm.3 sebagai berikut:
وُجُوْدُ
رَبِّيْ اللهِ أَوَّلُ الصِّفَاتْ بِلاَ زَمَانٍ وَمَكَانٍ وَجِهَاتْفَإِنَّهُ قَدْ
كَـانَ قَبْلَ الأَزْمِـنَةْ وَسَائِرِ الْجِهَاتِ ثُمَّ الأَمْكِنَةْ
“Adanya Tuhanku Allah adalah sifat-Nya yang pertama, (ada) tanpa masa, tempat
dan (enam) arah. Karena Allah ada sebelum semua masa, semua arah dan semua
tempat”.
6. K.H.Raden Asnawi, Kampung Bandan-Kudus (W. 26 Desember 1959). Beliau
menyatakan dalam risalahnya dalam bahasa Jawa “Jawab Soalipun Mu’taqad seket”,
hlm.18, sebagai berikut:
“…Jadi amat jelas sekali, bahwa Allah bukanlah (berupa) sifat benda (yakni
sesuatu yang mengikut pada benda atau ‘aradl), Karenanya Dia tidak membutuhkan
tempat (yakni Dia ada tanpa tempat), sehingga dengan demikian tetap bagi-Nya
sifat Qiyamuhu bi nafsihi” (terjemahan dari bahasa jawa).
7. K.H. Siradjuddin Abbas (W. 5 Agustus 1980/23 Ramadlan 1400 H). Beliau
mengatakan dalam buku “Kumpulan Soal-Jawab Keagamaan”, hal. 25: “…karena Tuhan
itu tidak bertempat di akhirat dan juga tidak di langit, maha suci Tuhan akan
mempunyai tempat duduk, serupa manusia”.
8. K.H. Djauhari Zawawi, Kencong, Jember (W.1415 H/20 Juli 1994), Pendiri
Pondok Pesantren as-Sunniyah, Kencong, Jember, Jawa Timur. Beliau menyatakan
dalam risalahnya yang berbahasa Jawa, sebagai berikut: “…lan mboten dipun
wengku dining panggenan...”, maknanya: “…Dan (Allah) tidak diliputi oleh
tempat…” (Lihat Risalah: Tauhid al-‘Arif fi Ilmi at-Tauhid, hlm.3).
9. K.H. Choer Affandi (W.1996), pendiri P.P. Miftahul Huda, Manonjaya,
Tasikmalaya, Jawa Barat. Beliau menyatakan dalam risalahnya dengan bahasa Sunda
yang berjudul “Pengajaran ‘Aqaid al Iman”, hal. 6-7 yang maknanya: ”(Sifat wajib)
yang kelima bagi Allah adalah Qiyamuhu binafsihi – Allah ada dengan Dzat-Nya,
Tidak membutuhkan tempat – Dan juga tidak membutuhkan kepada yang
menciptakan-Nya, Dalil yang menunjukkan atas sifat Qiyamuhu binafsihi,
seandainya Allah membutuhkan tempat –Niscaya Allah merupakan sifat benda
(‘aradl), Padahal yang demikian itu merupakan hal yang mustahil –Dan seandainya
Allah membutuhkan kepada yang menciptakan-Nya, Niscaya Allah ta’ala (bersifat)
baru -Padahal yang demikian itu adalah sesuatu yang mustahil (bagi Allah)”.
Komentar:
0 comments: