Ketaatan istri kepada suami adalah salah satu pilar harmonis rumah
tangga. Ibarat sebuah aliran air di atas hamparan ladang yang kering dan
gersang.
Ketaatan tersebut memberi pengertian penting bagi kelangsungan
sebuah keluarga. Tak mungkin ladang yang kering bisa dicangkul apalagi untuk
ditanami? Itulah mengapa syariat memposisikan ketaatan istri kepada suami
setingkat lebih rendah setelah ketaatan Allah dan Rasul-Nya. Untuk mengetahui
lebih jelas, mari kita simak penuturan redaksi hadits berikut:
حدثنا واصل بن عبد الأعلى حدثنا محمد بن فضيل عن عبد الله بن عبد الرحمن
أبي نصر عن مساور الحميري عن أمه عن أم سلمة قالت: قال رسول الله -صلى الله عليه وسلم-:
أيما امرأة ماتت وزوجها عنها راض دخلت الجنة.
قال: أبو عيسى هذا حديث حسن غريب
“Siapapun wanita yang
meninggal dunia dan suaminya merasa ridha terhadapnya, maka ia akan masuk
surga“.
Seputar Periwayatan Hadits
Mengomentari hadits tersebut, Imam Tirmidzi t berpendapat bahwa
hadits di atas termasuk hadits gharib sedangkan Imam Hakim t dalam kitabnya al
Mustadrak fî as Shahîhainberpendapat bahwa hadits tersebut shahih meskipun Imam
Bukhari dan Muslim tidak mengeluarkan
haditsnya. Imam Ibn Majah t juga mengutip hadits tersebut dalam kitabnya dengan
urutan hadits ke 1854 dari jalur Abi
Syaibah dari Musawir al Humairiy dari ibunya dari Sy. Ummu Salamah رضي الله عنها. Begitu pula Imam Thabaraniy ikut menukil
hadits serupa pada kitab beliau al Mu’jam al Kabîr 23/374 dengan meletakkannya
pada urutan hadits ke 884. Imam Dzahabi ikut berkomentar dalam kitabnya at
Talkhîs, meskipun beberapa pakar hadits menghukumi hadits riwayat Sy. Ummu
Salamah dari jalur Abi Syaibah dari Musawir al Humairiy sebagai hadits
dhaifnamun status hadits tersebut tidak menggoyahkan kehujjahan sebagai hadits
fadhail amal(pembahasan tentang keutamaan amal dengan tingkatan pahala
tertentu). Maka diharapkan adanya ketercapaian pahala sebagaimana yang telah
tercantum dalam redaksi hadits yang telah disebutkan.
Riwayat Hadits lain yang Senada
Dalam redaksi ayat Al-Qur’an dan hadits yang masih senada dengan
topik pembahasan hadits yang diriwayatkan oleh Ummu Salamahرضي الله عنها disebutkan:
ومنها قوله صلى الله عليه وسلم: إذا صلت المرأة خمسها، وحصنت فرجها، وأطاعت
بعلها. دخلت من أي أبواب الجنة شاءت. رواه ابن حبان في صحيحه.
“Apabila seorang wanita mengerjakan sholat lima waktu, berpuasa
ramadhan dan mentaati suaminya, maka ia akan masuk ke dalam surga melalui pintu
mana saja yang ia kehendaki“.
( أريت النار فإذا أكثر أهلها النساء، يكفرن.
قيل : أيكفرن بالله؟ قال : يكفرن العشير، ويكفرن الإحسان، لو أحسنت إلى إحداهن الدهر،
ثم رأت منك شيئا، قالت : ما رأيت منك خير قط )
( صحيح – البخاري – الجامع الصحيح – رقم
29 ) 0
"Diperlihatkan kepadaku neraka. Ternyata sebagian besar penghuninya
adalah perempuan yang kufur (ingkar). Ditanyakan kepada beliau: Apakah mereka
kufur kepada Allah?” Beliau menjawab: “Tidak, tapi mengingkari kebaikan
suaminya. Jika kalian berbuat baik kepada salah seorang istri kalian sepanjang
hari, lalu ia mendapati suatu kejelekan pada dirimu, maka ia berkata: aku tak
pernah dapatkan kebaikan darimu sama sekali.”
لَوْ كُنْتُ آمِرًا أَحَدًا أَنْ يَسْجُدَ لأَحَدٍ لأَمَرْتُ النِّسَاءَ
أَنْ يَسْجُدْنَ لأَزْوَاجِهِنَّ لِمَا جَعَلَ اللَّهُ لَهُمْ عَلَيْهِنَّ مِنَ الْحَقِّ
“Seandainya aku memerintahkan seseorang untuk bersujud kepada
seseorang, pasti aku akan memerintahkan para wanita untuk bersujud kepada suami
mereka karena besarnya hak suami yang telah Allah jadikan atas mereka.” (HR.
Abu Daud no. 2140, Tirmidzi no. 1159, Ibnu Majah no. 1852 dan Ahmad 4: 381.
قِيلَ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّ النِّسَاءِ
خَيْرٌ قَالَ الَّتِي تَسُرُّهُ إِذَا نَظَرَ وَتُطِيعُهُ إِذَا أَمَرَ وَلَا تُخَالِفُهُ
فِي نَفْسِهَا وَمَالِهَا بِمَا يَكْرَهُ
Rasulullah pernah ditanya tentang siapakah wanita yang paling
baik?” Beliau menjawab:“Yaitu yang paling menyenangkan jika dilihat suaminya,
mentaati suami jika diperintah dan tidak menyelisihi suami pada dirinya dan
hartanya dengan sesuatu yang dibenci oleh suaminya.”
(HR. An-Nasai no. 3231 dan Ahmad 2: 251).
رقم الحديث: 522
)حديث مرفوع) حَدَّثَنَا إِسْحَاقُ بْنُ
إِسْمَاعِيلَ ، حَدَّثَنَا جَرِيرٌ ، عَنْ يَحْيَى بْنِ سَعِيدٍ ، عَنْ بَشِيرِ بْنِ
يَسَارٍ ، عَنْ حُصَيْنِ بْنِ مِحْصَنٍ ، وَحَدَّثَنَا أَبُو خَيْثَمَةَ، حَدَّثَنَا
يَزِيدُ ، أَخْبَرَنَا يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ ، أَنَّ بَشِيرَ بْنَ سِنَانٍ أَخْبَرَهُ
, عَنْ حُصَيْنِ بْنِ مِحْصَنٍ ، أَنَّ عَمَّةً لَهُ أَتَتِ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي حَاجَةٍ لَهَا فَفَرَغَتْ مِنْ حَاجَتِهَا ، فَقَالَ لَهَا
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : " أَذَاتُ زَوْجٍ أَنْتِ
؟ " قَالَتْ : نَعَمْ ، قَالَ : " فَكَيْفَ أَنْتِ لَهُ ؟ " قَالَتْ
مَا آلُوهُ إِلا مَا عَجَزْتُ عَنْهُ ، قَالَ : " انْتَظِرِي أَيْنَ أَنْتِ مِنْهُ
فَإِنَّمَا هُوَ جَنَّتُكِ وَنَارُكِ "
“Apakah engkau sudah bersuami?” Bibi Al-Hushain menjawab, “Sudah.”
Rasulullah r bertanyakembali: “Bagaimana (sikap) engkau terhadap suamimu?”. Ia
menjawab, “Aku tidak pernah mengurangi haknya kecuali dalam perkara yang aku
tidak mampu.” Kemudian Rasulullah r bersabda: “Lihatlah dimana kedudukanmu
dalam dirinya, maka sesungguhnya suamimu adalah surga dan nerakamu.”
Intisari Hadits
Sekilas dari kutipan redaksi hadits di atas, kita bisa menangkap
sebuah pemahaman tentang pentingnya kewajiban taat bagi istri kepada suami.
Terlebih lagi jika ketaatan tersebut sebagai unsur penting untuk meraih ridha
suami, sehingga keridhaan suami tersebut menjadi sebab yang mampu mengantarkan
seorang muslimah ke dalam surga Allah U. Tentu dengan beralihnya status
muslimah lajang menjadi ibu muslimah memberi artian tentang beralihnya
kewajiban taat dari orang tua menuju kewajiban taat kepada suami sebagai kepala
rumah tangga.Bahkan dalam beberapa kondisi, kewajiban taat kepada suami harus
didahulukan oleh seorang istri daripada ibadah-ibadah yang bersifat sunnah.
Syariat menjadikan ketaatan[1]tersebut sebagai ladang pahala tanpa
harus bersusah payah sebagaimana ibadah lain pada umumnya. Setiap perbuatan
baik kepada suami dinilai sebagai sebuah ibadah. Ibadah yang mampu membuat sang
suami senantiasa merindukan kehadirannya dan ibadah yang mampu mendekatkan
langkahnya menuju surga. Dan hikmah dari melaksanakan dengan tulus semua
ketetapan Allah U di atas adalah berlangsungnya bahtera rumah tangga yang harmonis,
mawaddah warahmah, penuh dengan kenyamanan dan keberkahan.
Wallahu ‘alam.
Sumber:
· Salman al Audah,
“Wahai Putriku”, Jakarta: Mutiara Publising, 2014
· Ahmad Rifa’I
Rif’an,“The Pefect Muslimah”, Jakarta: PT. Elex Media Komputindo, 2012
· Taklim.net
· Ashefaa.com
· Fast-messages.blogspot.com
[1] selama suami tidak memerintahkan kepada maksiat kepada Allah U
dan selain itu seperti suami memerintahkan suatu hal yang baik dan sesuai
dengan kemampuan, maka wajib atas istri untuk melakukannya sebagaimana hadits
Rasul r:
لاَ طَاعَةَ فِى مَعْصِيَةٍ ، إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِى الْمَعْرُوفِ
“Tidak ada ketaatan dalam perkara maksiat. Ketaatan itu hanyalah
dalam perkara yang ma’ruf (kebaikan).” (HR. Bukhari no. 7145 dan Muslim no.
1840)
Komentar:
0 comments: