Saat
itu, aku bagaikan Isim Mufrod, tunggal – hanya sendiri saja. Seperti halnya
kalimat huruf, sendiri tak bermakna. Laksana Fi’il laazim, mencinta namun tak
ada yang dicinta. Tak mau terpuruk dan terdiam, aku harus jadi mubtada’,
memulai sesuatu. Menjadi seorang fa’il, yang berawal dari fi’il.
Tapi
aku seperti Fi’il Mudhoori’ alladzii lam yattashil biaakhirihii syai’. Mencari
sesuatu, tapi tak bertemu sesuatupun di akhir. Berjumpa denganmu adalah Khobar
Muqoddam, sebuah kabar yang tak disangka. Aku pun menjadi Mubtada’ Muakkhor,
perintis yang kesiangan.
Aku
mulai dengan sebuah kalam, dari susunan beberapa lafadz, yang mufid, terkhusus
untuk dirimu dengan penuh mak’na. Dari sinilah semua bermula, aku dan kamu
bagaikan idhofah. Aku Mudhof, kamu Mudhof Ilaih. Tak bisa dipisahkan.
Cintaku
padamu, beri’rob rofa’. Tinggi. Bertanda Dhammah. Bersatu Cinta kita bersatu,
mencapai derajat yang tinggi. Saat-saat mengejar cintamu, aku hanyalah isim
beri’rob Nashob. Susah payah. Bertanda fathah. Terbuka. Hanya dengan bersusah
payah maka jalan itu kan terbuka.
Setelah
mendapatkan cintamu, tak mau aku seperti Isim yang Khofdh. Hina dan rendah.
Bertanda Kasroh. Tercerai berai. Jika kita berpecah belah tak bersatu,
rendahlah derajat cinta kita.
Karenanya,
kan kujaga cinta kita, layaknya Isim yang ber-I’rob jazm. Penuh kepastian. Bertanda
dengan sukun. Ketenangan. Kan kita gapai cinta yang penuh damai saat semua
terikat dengan kepastian tanpa ragu-ragu
Komentar:
0 comments: