Wudhu'nya ringkas tapi
tepat’ bila berniat (dalam ibadah) cepat jadi. Bahakn dia mencela orang-orang
yang dam niat waswas dan lama. Padahal ia seorang faqih (ahli fikih) yang menjadi Qadhi
al-Qudhat (Hakim Agung) Mazhab Syafi’I selama kiraj-kira 20 tahun dan
di bidang hadits bergelar Amirul Mukminin.
Al-Hafizh Ibnu Hajar
al-‘Asqalani, begitulah ia dikenal orang. Nama lengkapnya Abul Fadl Ahmad bin
Ali bin Muhammad al’Asqalani al-Misri al-Qahiri.
Nenek moyangnya berasal
dari Asqalan, kota kuno yag terletak di pantai Suria dan palestina. Oleh karena
itu ia bernisbah al-‘Asqalani. Salah seorang kakeknya berjuluk Ibnu
Hajar.
Kemudian julukan itu
merembet kepadanya. Kikenallah ia dengan julukan Ibnu Hajar.
Di lahirkan di pasangan
Nuruddin Ali dan Nijar Bintia;-Fakhr Abi Bakar pada 22 Sya’ban 773 H. Sudah
menjadi yatim piatu sejak kecil.
Ayahnya yang dikenal alim,
hafal al-Qur’an lengkap dengan Qira’ah Sa’ahnya dan hafal al-Hawi as-Shaghir meninggal
dunia ketika Ibnu hajar berumur 4 tahun (23 Rajab 777). Sedang sang ibu
meninggal lebih dulu.
Untung saja Ibnu hajar dari
keluarga kaya. Ayahnya adalah seorang pedagang di Mishr al-kharrubi, desa
kelahiran Ibnu hajar.
Si ibu berasal dari keluarga
saudagar kaya. Dari harta yang diwariskan orang tuanya ini, Ibnu hajar
membiayai hidupnya. Kekayaan yang melimpah itu dimanfaatkan untuk bekal
menuntut ilmu di kebelakang hari.
Setelah kematian orang
tuanya, Ibnu hajar di asuh oleh zakiyuddin Abu Bakar al-Kharubi, saudagar besar
yang menerima wasiat dari ayah Ibnu hajar. Al-Kharrubi memperhatikan Ibnu hajar
dengan sungguh-sungguh.
Setelah Ibnu Hajar sempurna
berumur lima tahun, al-Kharubi memondokkannya ke Maktab. Ibnu Hajar hafal
keseluruhan al-Qu’an ketika ia berusia 9 tahun di Maktab itu. Hal itu ia
lakukan di bawah arahan gurunya Syadruddin Muhammad bin Muhammad as-Safthi,
seorang alim ahli qira’ah.
Ibnu Hajar menemani
al-Kharubi berhaji pada tahun 784 (umur 11 tahun). Al-Kharrubi, sang bapak asuh
yang hafal al-Qur’an dan punya nama di kalangan penguasa ini menyediakan
suasana yang tepat bagi Ibnu Hajar.
Di Mekkah Ibnu Hajar yang
masih ingusan itu di pertemukan dengan ulama Mekkah.
Di antaranya adalah Syekh
Afifuddin Abdullah an-Nisywari (705-795). Di depannya, Ibnu Hajar mendengarkan
hadits Shahih Bukhari (tahun 785). An-Nisywari guru pertama Ibnu Hajar dalam
ilmu hadits. Begitulah permulaan perjalanan ilmiah Ibnu Hajar. Ketika ia
berumur 12 tahun.
Kemudian Ibnu Hajar da
al-Kharrubi kembali ke Mesir pad tahun 786. Ibnu Hajar mulai sibuk dengan ilmu.
Ia tekun menghafal beberapa kitab. Kecerdasan dan daya ingatnya yang kuat ikut
membantunya.
Umdah al-Ahkam,
al-Hawi as-Shaghir, Mukhtashar Ibn al-Hajib, Milhah al-I’rab, Minhaj al-Wushul,
Alfiyah al-Hadits, Alfiyah Ibnu Malik dan ati-Tanbih serta
kitab lain dapat ia hafal plus pengertiaannya.
Ketika Ibnu Hajar berumur
14 tahun al-kharrubi wafat (787 H). selama tiga tahun ketekunan Ibnu Hajar agak
mengendur dengan wafatnya al-Kharrubi. Baru pada umur 17 tahun Ibnu Hajar
kembali memantapkan niatnya.
Deseraplah ilmu-ilmu daru
para ulama kala itu. Ia juga melakukan perjalanan studi ke berbagai Negara. Di
antaranya ke Syam, Hijaz, Yaman, Palestina disamping di dalam Mesir sendiri.
Dama perjalanan itu ia berguru kepada para ulama yang ia jumpai.
Kesungguhan Ibnu Hajar
dalam menimba ilmu bisa dibaca dari banyaknya guru yang ia punya. Setelah
penelitian mendetail yang dilakukan al-Sakhawi, murid Ibnu Hajar.
jumlah guru Ibnu Hajar
sebanyak 628 orang, lebih banyak dari yang disebut Ibnu Hajar sendiri dalam al-ajma’
al-Mu’assas fi al-Mu’jam al-Mufahras (450 orang). 55 di antaranya
wanita. Kebanyakan gurunya Ibnu Hajar memberi rekomendasi padanya untuk mebuka
pengajaran.
Beberapa guru terpenting
Ibnu Hajar:
1.at-Tannykhi (709-800),
gurunya dalam qira’ah.
2.Umar al Bulqini (724-805)
di bidang fikih.
3.Ibnu jama’ah (749-819)
dalam ushul fikih.
4.al-Firuzabadi (729-817)
dalam bahasa, nahwu dan sastra.
5.al-Hafish al-Iraqi (725-804),
guru utamanya dalam hadits. Sepuluh tahun Ibnu Hajar belajar kepadanya.
Guru bagi Ibnu Hajar yang
bermulut kecil ini begitu berharga. Ibnu Hajar hafal dan mengerti sejarah hidup
guru-gurunya itu.
Ia menghimpunnya dalam dua
kitabnya al-Majma’al-Muassas fi al-Ahkam al-Mufahras dan Tajrid
Asani al-Kutub al-Masyhurah. Kedua kitab ini masih dalam
bentukmanuskrip.
Kecerdasan yang tertandingi
disertai kesungguhan tak kenal lelah membuat Ibnu Hajar unggul menjadi bintang
dalam berbagai disiplin ilmu, khususnya Hadits.
Maka masyhurlah Ibnu Hajar
sebagai bahasawan, sastrawan, penyair, sejarawan, mufassir, pakr hukum dan ahli
hadits.
Dalam hadits, Ibnu Hajar
yang walau sudah tua bergigi lengkap dan putih bersih adalah laut yang tak
betepi. Ibnu Hajar sangat menguasai bidang yang satu ini.
As-Suyuthi menyebutnya
dengan bebagai gelar ahli hadits yang menakjubkan. Salah satunya ialah Dzahabi
Hadza al-Ashr (Imam Dzahabinya masa itu). Disamping banyak berguru dan
usaha lain, Ibnu Hajar juga meminum air Zamzam untuk meraih tingkatan yang di
peroleh Imam adz-Dzahabi. Barakah air Zamzam juga ikut mewujudkan cita-citanya.
Ibnu Hajar bercerita
mengenai hal itu; “aku meminum air Zamzam dengan tiga tujuan. Salah
satunya dengan niatan agar aku meraih martabat Imam Hafizh adz-Dzahabi.” Kejadian
itu terjadi ketika Ibnu Hajar berhaji di tahun 800/805 H.
Dua puluh tahun kemudian
Ibnu Hajar berhaji lagi. “di hatiku timbul keinginan meminta kepada
Allah lebih dari itu (martabat Imam al-Hafizh adz-Dzahabi). Maka aku memohon
derajat yang lebih tinggi. Mudah-mudahan Allah mengabulkan,” ucap Ibnu
Hajar. As-Sakhawi, murid Ibnu Hajar, berkata: “ Allah telah menjadikan harapan
Ibnu Hajar sebuah kenyataan. Banyak orang yang menyaksikan hal itu.”
Dikala Zainuddin al-Iraqi,
guru Ibnu Hajar dan ahli hadits, menjelang wafat, seorang bertanya; “Siapakah
penggantimu ?, “Ibnu Hajar. Kemudian anakku, Abu Zar’ah.
Kemudian al-Haistami,” jawab al-Iraqi. Al-Iraqi wafat ketika Ibnu Hajar berumur
33 tahun (806 H).
Berbagai kesibukan
menyertai kehidupan Ibnu Hajar. Beberapa pekerjaan penting, jabatan agung dan
tugas mulia ia embank. Waktunya disibukkan dengan mengajar, memberi fatwa,
mengarang kitab dan mengimla hadits di beberapan tempat pengajian.
Ia juga
menjabat sebagai direktur di bebagai madrasah.
Ibnu Hajar mengajar tafsir
di madrasah al-Husainiyah dan al-Qubbah al-Mansuriyah. Mengajar hadits di
asy-Syaikhuniyah, jami’ Ibnu Thulun dan beberapa tempat lain. Fikih di
ajarkannya di al-kharrubiyah, as-Shalahiyah dan Akademi pendidikan lain. Ibnu
Hajar juga menjadi khatib di masjid Jai’ al-Azhar dan masjid jami’ Amar bin
Ash.
Selama 41 tahun Ibnu Hajar
yang bekulit putih ini memberi fatwa di Dar al-Adl. Jabatan mufti ini di melai
pada tahun 811 sampai ia meninggal (852). Farwa-fatwanya ringkas dan menyasar
pada pokok permasalahan.
Biasanya, dalam satu hari
ia menulis fatwa lebih dari 30 buah. Ibnu Hajar adalah ulama terbaik dimasanya
dalam mengeluarkan fatwa berdasarkan pada dalil-dalil mu’tabarah.
Mungkin ini adalah
realisasi dar ketiga niatnya ketika meminum air Zamzam. Salah satunya, seperti
yang di ucapkan Ibnu Hajar sendiri, “semoga Allah memberiku kemudahan dalam
menulis fatwa-fatwa seperti guruku, as-Siraj al-Bulqini.
Biasanya, ia menulis fatwa
dari pucuk pena tanpa merujuk pada kitab-kitab. Maka Allah memberiku kemudahan
untuk itu.”
Pada 27 Muharram 827 H,
Ibnu Hajar yang berjenggotputih dan tebal ini ditunjuk oleh Malik al-Asyraf
Barisbay sebagai Qodhi al-Qudhah (Hakim Agung) Mazhab Syafi’I
Ibnu Hajar di Mesir. Ketika itulah keadilah di tegakkan dan kebenaran
mendapatkan perlakuan yang sebenarnya dari Ibnu Hajar al-Asqalani. Kerap kali
keputusannya menyakiti dan merugikan penguasa. Hal ini menunjukkah betapa
teguhnya ia memegang kebenaran.
Ibnu Hajar tidak berambisi
untuk mempertahankan kedudukannya sebagai Qodhi al-Qudhah walaupun
jabatan itu sangat cocok di pegangnya. Berulang kali ia didepak dari jabatan
setrategis itu.
Tapi kemudian Ibnu Hajar di
angkat lagi. Hal ini terjadi enam kali. Sehingga pada akhir Jumadas Tsaniyah
852 H, ia mengundurkan diri setelah sekitar 20 tahun dia melaksanakan tugas itu
dengan baik.
Walau ilmu menggunung dan
berbagai jabatan penting dipikul, namun Ibnu Hajar tetap tawadhu’. Al-Biqa’I
(809-885), salah seorang murid Ibnu Hajar berkata: “setiap tahun tawadlu’nya
semakin bertambah.” Termasuk contoh ketawadlu’annya yang dalam adalah rasa
hormatnya pada ahl al-ilm dan orang-orang mulia.
Ketika Aisyah binti Ibrahim
as-Syara’ihi, salah seorang guru Ibnu Hajar, datang kepadanya Ibnu Hajar
memuliakannya. Ia mempersilahkan guru wanitanya itu duduk ditikar yang biasa
dibuatnya shalat.
Ibnu Hajar yang suka tebu
ini dikenal sebagai figure yang wara’. Ia sangata hati-hati terutama dalam soal
makan. Ibnu Hajar tidak pernah memakan hadiah yang dikirim kepadanya. Bila
Ibnu Hajar terpaksa datang ke sebuah walimah atau pertemuan maka ia pura-pura
makan.
Terkadang ia memberikannya
kepada orang yang disampingnya makanan yang di suguhkan kepadanya. Sehingga
orang yang mempunyai hajat menyangkanya memakan hidangan itu. Hal itu ia
lakukan untuk membahagiakan tuan rumah. Padahal tak satupun makanan yang masuk
ke perutnya.
Dalam ibadah, Ibnu Hajar
patut ditiru. Ia banyak beribadah dimalam hari. Jum’ar dan jamaah tidak
ditinggalka. Ia juga rutin melakukan puasa nabi dawud. Al-Qur’an adalah teman
setianya di malam hari dan teman duduknya di kala sepi.
Ia membacanya dengan mata
berlinang. Ibnu Hajarselalu berusaha waktunya terisi dengan ibadah . mulutnya
banyak mengucapkan dzikir, tasbih dan istighfar.
Ketika duduk bersama
sekelompok orang , setelah isya’ atau di waktu lain, alat tasbih selalu di
genggaman Ibnu Hajar. Ia membunyikannya di balik lengan bajunya. Ibnu Hajar
terus memutar alat bundar itu sedang mulutnya membaca tasbih (Subhanallah).
Terkadang tasbih itu terjatuh dari lengan bajunya. Secepatnya Ibnu Hajar
mengmbil tasbih itu. Ini menunjukkah bahwa ia tidak ingin orang lain
mengtahuinya.
Obyektifitas Ibnu Hajar
dalam menilai seorang ulama dan karyanya sangat tinggi. Ibnu Hajar senang dan
menghormati Ibnu Taimiyah (w.728).
Hal ini menyebabkan banyak
kalangan ulama mazhab syafi’I Ibnu Hajar memangkas haknya, seperti yang mereka
lakukan kepada Ibnu Nashiruddin.
Tetapi bukan berarti Ibnu
Hajar selalu sejalan dengan Ibnu Taimiyah dalam setiap terminology yang ia
ungkapkan.
Dalam hal ini Ibnu Hajar
berkata; “seharusnya bagi orang yang berilmu dan memiliki akal
memikirkan perkataan seseorang dari karya-karyanya yang di kenal. Atau dari
mulut-mulut ahl an-Naql (pembawa berita) yang bisa dipercaya. Kemudian
dari hasil pemikiran itu, ia menetapkan apa yang menyeleweng. Maka hal itu
dijadikan perhatian dan diwaspadai dengan tujuan memberi nasehat. Dan tetap
memuji keutamaan-keutamaan orang itu tentang pendapatnya yang benar seperti
ulama yang lain.”
Pada malam sabtu 28 Dzul
Hijjah 852 H, Ibnu Hajar menghadap kehadirat tuhan. Kairo menjadi gempar.
Toko-toko tutup. Pasar libur. Jenazahnya diantar lautan manusia. Sultan dan
para pembesar ikut memanggul keranda Ibnu Hajar. Umat Islam berdukal. Ahl
ad-dzimmah ikut berlinang air mata.
Di seantero dunia diadakan
shalat ghaib. Jasadnya dimakamkan di kompleks pemakaman Bani al-Kharrubi,
Qarafah, Kairo.
Ibnu Hajar meninggalkan
buah karya yang tidak sedikit. Jumlahnya mencapai 289 judul. Karya-karya itu
mendapat sambutan yang hangat dari umat Islam. Sampai sekarang karya Ibnu Hajar
masih aktif dikaji.
Di antara karyanya Fath
al-Bari bi Syarh Shahih al-Bukhari, al-Ishabah fi Tamyiz as-Shahabah, Lisan
al-Mizan, Nukhbah al-Fikar fi Musthalah ahl al-Atsar dan Bulugh al-Maram.
(Ditulis kembali dari buku
Guruku Di Pesantren karya LPSI Pondok Pesantren Sidogiri yng diterbitkan tahun
1420 H)
Komentar:
0 comments: