Diterjemahkan dari buku,
Sirah As-Salaf min Bani ‘Alawy Al-Husainiyin,
oleh Sayid Muhammad Ahmad Assyathiri,
terbitan ‘Alam AI-Ma’rifah, Cetakan I, 1405 H,
Jeddah, Saudi Arabia
PENGANTAR PENERJEMAH
Dengan Nama Allah Yang Maha Pengasih Maha Penyayang
Sedikit sekali di antara putra-putra Alawiyin yang mengenal sejarah
perjalanan hidup pendahulu-pendahulu mereka yang biasa disebut dengan
“Assalaf Asshaleh”.
Sesungguhnya, perjalanan dan riwayat hidup salaf penuh dengan
pelajaran tuntunan dan keteladanan yang patut menjadi pelita, untuk
menerangi perjalanan hidup generasi demi generasi hingga generasi kita
sekarang, karena surnbernya adalah kitab Allah (Alqur’an) dan
petunjuk-petunjuk yang termaktub di dalam Sunnah Nabi Muhammad saw.
Petunjuk, tuntunan, dan keteladanan itu terasa sangat penting sekali
untuk dikaji dan dipelajari, terutama sekali pada saat-saat seperti
sekarang ini, di mana dunia sedang dilanda berbagai ajaran, faham dan
ideologi yang akan membawa manusia ke arah jalan yang sesat dan sangat
berbahaya.
Namun, untuk melakukan pembahasan dan penyelidikan, menimba dari
sumber-sumber rujukan berupa kitab-kitab besar, serta biografi yang
kadang berjilid-jilid, baik hasil karya ulama Alawiyin sendiri maupun
ulama-ulama lain, baik dahulu maupun yang datang kemudian, adalah cukup
berat dan sulit, apalagi menyusunnya secara ringkas, padat, berisi dan
meliputi segala segi.
Oleh karena itu, ketika membaca buku kecil berisikan ceramah yang
disampaikan oleh Sayid Muhammad Ahmad Assyathiri, kami merasa
terpanggil untuk menerjemahkannya ke dalam bahasa Indonesia, dengan
harapan semoga akan bermanfaat bagi mereka yang. kurang atau belum
mengenal sejarah perjalanan hidup para salaf – pendahulu-pendahulu kita –
seperti dini kami atau yang setingkat dengan kami.
Sebagai seorang tokoh Alawiyin yang hidup dewasa ini – terkenal
dengan perilakunya yang baik, ilmunya yang luas, serta pengertian yang
mendalam tentang masa di mana kita semua hidup. Penceramah telah
menyampaikan ceramahnya dengan gaya bahasa yang cemerlang, ringkas,
padat dan berisi. Dengan pengamatannya yang cerdas, telah mampu pula
rnemberikan gambaran umum yang meliputi semua segi, yang pada akhirnya
pembaca akan sampai kepada suatu kesimpulan sehuhungan dengan perilaku
salaf Al-Alawiyin ini, yang akan memberi keteladanan dan dapat
diandalkan untuk menjadi panutan dalam menempuh hidup ini.
Berhubung ceramah tersebut disampaikan di tengah para pemuda kota
Tarim, Hadramaut, maka penceramah cukup menyebut nama tokoh-tokoh
Alawiyin yang telah cukup dikenal oleh para pendengar. Namun demikian,
hal itu jauh berbeda dengan keadaan kita, di mana pengetahuan kita
tentang tokoh-tokoh yang disebutkan itu sangat kurang jika tidak hendak
dikatakan kosong sama sekali. Demi melengkapi kekurangan itu,
penerjemah berusaha menambahkan beberapa “catatan kaki” tentang
biografi beberapa tokoh penting yang disebutkan secara ringkas, yang
disarikan dari sumber rujukan yang menghimpun sejarah dan biografi para
salaf itu, yaitu dari kitab Al-Masyra ‘Arrawiy fi Managib Assadah
Al-Kirarn Ali Abi A’lawiy, karya Muhammad bin Abubakar Assyilliy dan
kitab Al-Imam Al-Muhajir, karya Muhammad Dhia bin Ali bin Ahmad Syahab
dan Abdullah bin Nuh.
Akhirnya, penerjemah akan sangat berterima kasih atas segala teguran
pembetulan dan kritik, karena memang tak pernah ada gading yang tak
retak, sedang kesempurnaan hanyalah bagi Allah yang Maha sempurna.
Dengan harapan semoga menjadi usaha yang ikhlas dan diterima oleh
yang Maha Kuasa, kami haturkan buku kecil ini kepada para pembaca
budiman.
20 Rabiul Akhir 1406/ 1 Januari 1986
PENGANTAR PENERBIT ‘ALAM ALMA’RIFAH JEDDAH
“Perjalanan Hidup Para Salaf dari Bani Alawi Keturunan Sayidina
Hussein”, adalah judul sebuah ceramah yang disampaikan oleh Sayid
Muhammad Ahmad Assyathiri di tengah sejumlah pemuda, di rumah Al Faqih
Al Muqaddam, di kota Tarim, pada tahun 1367 H./1947 M., sesuai waktu
ceramah yang telah ditetapkan.
Meskipun demikian, ceramah tersebut cukup memberi gambaran umum
tentang perilaku para salaf yang saleh keturunan Alawi bin Ubaidillah
bin Ahmad Al Muhajir bin Isa Ar Rumi bin Muhammad An-Naqib bin Ali
Al-Uraidhi bin Ja’far Asshadiq bin Muhammad Al Bagir bin Ali Zainal
Abidin bin Husein putra Imam Ali bin Abi Thalib, dan putra Sayidah
Fatimah AzZahra rah. putri Rasulullah Muhammad SAW.
PERSEMBAHAN
Kepada mereka yang mendambakan untuk mengetahui perjalanan hidup para
salaf Alawiyin keturunan Sayidina Husein, namun tidak mempunyai cukup
waktu, sementara suasana tidak memungkinkan mereka menelusuri
kitab-kitab besar yang menyebarluaskan sejarah para salaf tersebut,
saya persembahkan ceramah yang telah disampaikan sekitar 37 tahun lalu
kepada para pemuda yang telah meminta saya untuk menyampaikan ceramah
itu. (Webmaster : 56 tahun terhitung hingga saat ini tahun 2003).
Namun menurut pandangan kami, saat sekaranglah saat yang paling
tepat untuk menyebar luaskannya lebih dari wakt-u-waktu yang lampau.
Sebab ia menggambarkan kehidupan salaf dari semua segi yang telah
dinukil dengan teliti dari sumber-sumber yang dapa: dipercaya, sehingga
dengan demikian para peminat tidak perlu lagi bersusah payah membahas
dalam menyelidiki tentang hakikat perjalanan hidup para salaf melalui
kitab-kitab yang membahas tentang mereka, baik kitab-kitab sejarah,
biografi atau kumpulan ceramah, yang kini telah tersebar luas melalui
percetakan atau foto-copy, yang sebagian besar hanya memusatkan pada
segi-segi tasawuf, tanpa memperhatikan bidang-bidang kehidupan yang
lain. Hal ini dikhawatirkan akan memberi gambaran yang tidak sesuai
dengan kenyataan hidup mereka.
Kami berharap pembaca akan mengkajinya dengan penuh kesadaran dan
keikhlasan, serta membulatkan tekad untuk melaksanakan ajaran yang
terkandung di dalamnya, mendidik generasi penerus dengan akhlak dan budi
luhur para salaf yang mirip sekali dengan perilaku Nabi dan para
Sahabat, sehingga mereka benar-benar menjadi orang yang mengabdi kepada
ilmu, keluhuran budi, Islam dan kaum Muslimin.
Itulah tujuan utama ceramah ini. Terutama, apabila mereka benar-benar mencintai para salaf.
“Katakanlah, jika kamu benar-benar mencintai Allah, ikutilah aku
(Rasul) niscaya Allah akan mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu dan
Allah adalah maha pengampun maha penyayang”.
Muhammad Ahmad Assyathiri
======================= O ll O ========================
MUKADIMAH
Dengan Nama Allah Yang Maha Pengasih Maha Penyayang
Dengan nama Allah kami mohon pertolongan. Shalawat dan salam
sejahtera atas junjungan kita Nabi Muhammad, keluarga dan para Sahabat.
Pokok pembahasan ceramah ini adalah perjalanan hidup para salaf
pendahulu kita keturunan Alawiyin dan Sayidina Husein, serta siapa-siapa
yang mengikuti jejak mereka. Semoga Allah mencurahkan rahmat atas
semua.
Saya pilih bidang bahasan ini karena disamping mengandung banyak
pengetahuan tentang sejarah kita – ia merupakan bidang perselisihan
dalam pemahamannya. Berbagai macam visi telah timbul, disebabkan tidak
adanya, di antara kita dewasa ini, orang-orang yang melakukan
penyelidikan secara teliti dengan cara penulisan yang memuaskan,
sampaipun mereka yang merasa dirinya sangat antusias terhadap sejarah
perjalanan hidup para salaf tersebut.
Kendati demikian, kami tidak menyampaikan kecuali hal-hal yang
benar-benar jelas dan terang laksana matahari di waktu siang, tersurat
di dalam kitab-kitab Alawiyin, baik yang lama maupun yang baru sehingga
dapat dimengerti secara jernih dan mudah dicerna.
Memang, kesalahpahaman dalam memahami perjalanan hidup salaf tidak
ditimbulkan karena samar dan tidak jelasnya sejarah itu, melainkan
karena keengganan kita dan tidak adanya usaha yang sungguh-sungguh dalam
menjalankan kewajiban itu.
Barangkali kelak akan datang suatu saat, di mana menyatakan pendapat
atau membahas, persoalan-persoalan semacam ini, atau fakta-fakta
historis yang lain akan mempunyai arti yang sangat penting di mana orang
sangat mendambakan untuk memperoleh, meskipun hanya sekilas cahaya dari
padanya agar dapat menerangi mereka menuju jalan yang lurus.
Kata Salaf mempunyai beberapa penggunaan. Penggunaan secara umum,
yaitu sebagai istilah yang dipakai oleh ahli-ahli ilmu agama sebagai
sebutan khusus bagi mereka yang hidup pada abad-abad pertama, kedua,
dan ketiga Hijrah, atau dengan kata lain sebagai sebutan bagi para
sahahat Nabi, tabi’in dan tabi’it-tabi’in.
Namun ulama Hadramaut (dari golongan Alawiyin) menggunakan sebutan
itu selain bagi mereka yang tersebut di atas juga bagi
pendahulu-pendahulu mereka (kaum Alawiyin) yang saleh. Habib Abdullah
Al-Haddad [1] membatasi penggunaan sebutan itu mulai dari Syekh Ali bin
Abubakar As-Sakran [2] ke atas “Mereka,” kata Al-Haddad, “adalah
orang-orang di mana kita tunduk sepenuhnya (dalam segala hal) yang
mereka lakukan. Adapun yang datang kemudian, mereka ’laki-laki’ dan kita
‘laki-laki’ (yakni kita herhak mengikuti atau menolak sesuai dengan
dalil).”
Kendati demikian, ucapan Al Haddad ini tidak menghalangi mereka yang
datang sesudah Syekh Ali Abubakar As-Sakran , bahkan Al Haddad sendiri
dan murid-muridnya, untuk digolongkan sebagai salaf. Sebab telah menjadi
istilah ulama Hadramaut terdahulu – sampaipun mereka yang akhir-akhir
ini masih bisa kita jumpai menggunakan kata salaf bagi pendahulu mereka
yang saleh. di mana kemudian akan kami jelaskan tahap-tahapnya
Abad ketiga Hijrah merupakan abad kegoncangan dan kekacauan,
khususnya di negeri Irak yang selalu terjadi pemberontakan dan huru-hara
(fitnah). Kerajaan Bani Abbas tidak mampu lagi mengekang dan mengatasi
pemberontakan dan huru-hara yang senantiasa timbul dan telah membuat
seluruh dunia Islam bergolak laksana periuk yang sedang mendidih, sedang
penguasa tak mampu menegakkan keamanan umum yang telah goyah selama
bertahun-tahun.
Semua itu membuat banyak orang – terutama tokoh-tokoh yang menonjol –
berhijrah meninggalkan kampung halamannya mencari kediaman yang aman.
Di antara orang yang hijrah dari Irak adalah Al-Iman Ahmad Al-Muhajir
Ilallah [3] (berhijrah mencari ridha ALLAH) Sebab Al Muhajir- seperti
tokoh-tokoh ahlul bait yang lainnya selalu merasa ketakutan dan
senantiasa menjadi sasaran pembunuhan dan penganiyaan. Hal demikian
makin terasa pada saat terjadi pemberontakan dan huru-hara, di mana
musuh-musuh Alawiyin rnenggunakannya sebagai kesempatan untuk menganiaya
dan membantai mereka. Hal ini terutarna akibat rasa khawatir bahwa di
dalam suasana kacau itu, kaum Alawlyin akan menampilkan diri untuk
memegang kendali kekuasaan di tengah umat Islam yang tetap berpendirian
bahwa kewajiban mereka adalah menyerahkan tongkat kepemimpinan kepada
Ahlulbait, keturunan Nabi pembawa agama ini serta bernaung di bawah
panjinya, betapapun secara lahir mereka (umat Islam) tunduk kepada
pemimpin yang lain. Atau demikianlah semestinya.
Namun banyak di antara tokoh Alawiyin berusaha menahan diri dan
menghindar untuk tidak terjebak ke dalam huru-hara itu serta berupaya
untuk tidak terlibat dalam pergolakan-pergolakan politik, disebabkan
pelajaran-pelajaran praktis yang mereka terima dari berbagai pengalaman
dalam bidang ini. Karena itu, bergerak di dalam lapangan politik –
menurut pandangan mereka – akan selalu berakhir dengan kegagalan.
Demikianlah pendirian segolongan Alawiyin. Namun ada segolongan lain
berpendirian, bahwa Alawiyin harus berkorban dalam segalanya untuk
menyelamatkan umat, yang harus terus menerus berjuang sehingga tujuan
tercapai, atau mati bergelimang darah di tengah medan pertempuran.
Imam Al Muhajir termasuk golongan pertama, sedang saudaranya Muhammad
bin Isa termasuk golongan kedua, dibuktikan dengan perlawanannya
terhadap kekuasaan Abbasiyah. Dalam hal ini, Al Muhajir selalu
memperingatkan dan memberi nasihat kepada saudaranya agar tidak
melakukan perlawanan. Peringatan dan nasihat diberikan secara terus
menerus, sehingga akhirnya merasa puas dan yakin akan kebenaran
pendirian Al Muhajir, lalu menghentikan perlawanannya.
Jadi jelaslah, Al Muhajir memilih tinggal di Hadramaut (Yaman
Selatan), negeri yang tandus gersang, hampir terputus hubungannya dengan
dunia luar, hanyalah sekadar dapat hidup aman dan damai bersama
keluarganya, serta dapat menunaikan kewajiban agama dan kegiatan
duniawi dalam suasana tenteram dan aman, setelah menyaksikan segala
pengalaman yang terjadi baik di negeri Irak maupun di daerah-daerah
lain, berupa pemberontakan, huru-hara dan peristiwa-peristiwa lain.
Semua itu menyebabkan hilangnya ketenangan dan menyusahkan hati.
Hendaknya kita tidak terburu untuk berprasangka bhahwa Al Muhajir
hanya bermaksud mengurung diri, serta beruzlah tanpa mempedulikan umat
dan masyarakat di sekitarnya. Tidak. Al Muhajir bertujuan mendirikan
suatu masyarakat baru, di negeri baru ini, sesuai cita-cita dan
keyakinannya.
Oleh karena itu setibanya di negeri ini Al Muhajir tak henti
hentinya berjuang melawan kaum Ibadhiah [4] yang merupakan mayoritas
penduduk Hadramaut. Yaitu setelah gagal berdialog dengan mereka secara
baik, sehingga terpaksa senjata harus berbicara. Al Muhajir dan
pengikutnya yang berjumlah kecil itu, telah mendapat dukungan dari
penduduk Jubail dari Wadi Dau’an yang bersimpati kepada Ahlulbait.
Cara hidup Al Muhajir (mencari kedamaian dan kebenaran ) diterima
kemudian oleh anak cucunya dan benar-benar mempengaruhi jiwa mereka,
yang akhirnya kehidupan mereka hampir sama di semua tahap-tahap sejarah,
sebagai akan dituturkan kemudian.
Sesungguhnya sejarah perkembangan Alawiyin, mengalami pasang-naik dan pasang-surat, sesuai dengan kehidupan mereka yang selalu berubah.
bagaimanapun juga, golongan Alawiyin selalu memelihara identitasnya,
yaitu berpegang teguh dengan KITAB ALLAH (Al Qur’an) dan SUNNAH
(ajaran-ajaran nabi Muhammad SAW dalam segala bidang kehidupan) luhur
yang padu dan utuh secara Islam.
Adapun sejarah perkembangan Alawiyin — menurut pandangan kami dapat dibagi menjadi empat tahap, sebagai berikut :
Tahap —- Abad (Hijriah) —- Zaman
Pertama — Ke-3 s/d Ke-7 —- Ahmad Al-Muhajir s/d M. Al-Faqih Al-Muqaddam
Kedua —- Ke-7 s/d Ke-11 — M. Al-Faqih Al-Muqaddam s/d Abdullah Al-Haddad
Ketiga —- Ke-11 s/d Ke-14
Keempat — Ke-14 s/d Kini
Tahap-tahap itu diikuti pula dengan perbedaan gelar dan sebutan bagi
tokoh tokoh Alawinyin, maka sebutan atau gelar setiap tahap berbeda
dengan gelar atau sebutan pada tahap yang lain. Sebagai berikut :
Tahap —————- Gelar
Pertama ————– Al-Imam
Kedua —————- As-Syech
Ketiga —————- Al-Habib
Keempat ————– As-Sayid
Sebutan demikian itulah yang digunakan orang bagi tokoh-tokoh Alawiyin pada masing-masing tahap.
Kendati demikian, saya tidak bermaksud mengatakan bahwa
sebutan-sebutan dan gelar-gelar itu khusus bagi tokoh-tokoh Alawiyin.
Hanya saja – seperti diketahui sebutan dan gelar-gelar itu lebih populer
penggunaannya bagi mereka.
TAHAP PERTAMA
Tahap pertama sejarah perjalanan hidup Alawiyin ini memiliki
keistimewaan sebagai tahap pembangunan kehidupan baru dan pembauran
dengan masyarakat baru di negeri baru. Pada tahap ini, tokoh-tokoh
Alawiyin telah berhasil mempengaruhi masyarakat Hadramaut serta
menyesuaikan diri dengan kehidupan mereka. Tokoh-Tokoh Alawiyin dalam
kehidupan sehari-hari benar-benar mirip dengan kehidupan tokoh-tokoh
sahabat Nabi di kurun Islam pertama, baik dalam ilmu, akhlak maupun
ibadah.
Ketika baru berada di tengah rnasyarakat Hadramaut. Al Muhajir
dihadapkan dengan suasana jihad yang tak terelakkan. Al Muhajir ketika
itu harus melawan golongan ibadhiah”, baik dengan lisan maupun dengan
senjata, sehingga Al Muhajir berhasil menyebar luas ajaran” Ahlus sunnah
seperti jelas di uraikan didalam kitab-kitab sejarah yang menerang
riwayat hidup (Biografi) Al Muhajir. Kemudian, putra-putranya dan
keturunannya meneruskan langkah itu, memimpin masyarakat hadramaut dalam
bidang ilmu, budaya dan ekonomi. Bahkan dalam bidang politik yang
bersifat mengawasi dan membimbing (para penguasa) demi tercapainya
kepentingan umum, tanpa berambisi memegang tampuk kekuasaan secara
praktis.
Tokoh-tokoh Alawiyin pada tahap ini, adalah Imam-Imam mujtahid
(dalam arti tidak mengikuti atau terikat dengan salah satu mazhab)
seperti diriwayatkan oleh beberapa ulama, yang masing-masing tokoh
terkenal dengan gelar “Imam” seperti Imam Al Muhajir, Imam Alawi bin
Ubaidillah dan lain-lain.
Namun, ijtihad mereka seringkali bersesuaian dengan Imam Assyafi’i
dalam bagian terbesar madzhabnya Adapun aspek-aspek aqidah mereka, sama
seperti para leluhur mereka sampai Imam Ali bin Abi Thalib r.a.
Tokoh-tokoh Alawiyin ini telah membawa sebagian kekayaan mereka dari
negeri asal, yaitu Bashrah (Irak). Kekayaan itu amat besar jumlahnya
sehingga mereka dapat membeli tanah-tanah, kebun-kebun,
bangunan-bangunan, dan sebagainya di negeri ini. Kekayaan itu juga
dikembangkan di dalam bidang pertanian yang menjadi usaha pokok dan
sumber utama Alawiyin tahap itu.
Dalam keadaan demikian, mereka senantiasa teringat karnpung halaman
dan sesekali timbul kerinduan ketika mengenang masa lampau di negeri
Irak, sehingga mereka rnembuat lambang-lambang dengan narna taman-taman,
kebun dan pesanggrahan yang telah ditinggalkannya itu.
Dalam tahap ini setiap Alawi menampilkan pribadi yang mulia dengan
beberapa keistimewaan berupa ilmu. akhlak. ibadah dan. wibawa, sehingga
keluarga ini dikenal dan dibedakan oleh masyarakat karena ciri-ciri
kemuliaan itu.
Ilmu yang dikuasai tokoh-tokoh Alawiyin tahap ini meliputi: Tafsir
Hadist, Fiqih, Sastra/ Bahasa, metode berdebat dan berdiskusi, serta
ilmu pengetahuan lain, yang telah berkembang pesat dewasa itu termasuk
tasawuf. Hanya saja ilmu tasawuf ini memperoleh perhatian lebih dalam
dan lebih khusus pada tokoh-tokoh tahap kemudian. Tokoh-tokoh tahap ini
memperhatikan tasawuf sebagai amalan praktis dan buhan sebagai teori
ilmiah semata.
Sifat yang paling menonjol bagi seorang Alawi tahap ini adalah:
kedermawanan, dan keberanian (sebagai ciri umum keturunan bani Hasyim).
Sifat ini diimbangi dengan tawadhu’ rendah hati), di samping tegas dan
tidak kenal kompromi dalam mempertahankan kebenaran. memperhatikan
bidang keperwiraan, menggunakan alat-alat perang dan menyandangnya dalam
kesempatan-kesempatan tertentu.
Sifat terakhir ini kernudian berubah pada tokoh-tokoh Alawiyin
generasi berikutnya, yang dalam menggunakan alat-alat perang dan
menyandangnya dianggap menyalahi tradisi dan bertentangan dengan sopan
santun hal ini berlaku sejak Alawiyyin mengikuti “Terakat Tasawwuf “
pada abad ketujuh ketika Imam Al Faqih Al Muqoddam menerima “Khirqah”
(Baju Tasawwuf) dan Syekh Abu Madyan, tokoh sufi dari negeri magrib
(Afrika utara) . Sejak itu Al Fagih Al Muqoddam menjauhi penggunaan
senjata untuk menekuni ilmu dalam suasana damai.
Adalah merupakan watak dan tabiat seorang Alawi, tidak pernah merasa
tentram di satu daerah tertentu, untuk kemudian tinggal selama hidup.
Hidup bebas dan pergi, kemana saja untuk mencari daerah-daerah baru
merupakan watak dan cirinya. Satu daerah saja dipandang sempit dan tidak
memberi kepuasan untuk mengembangkan cita-cita dan mencapai tujuannya.
Apalagi di negeri seperti Hadramaut, negeri ini akan memaksa
penduduknya berhijrah karena sempitnya bidang ke hidupan. di samping
terjadinya pergolakan dan pertumpahan darah antara kabilah-kabilah yang
selalu berkecamuk. akibat tidak adanya pemerintahan yang kuat dan
stabil.
OIeh karena itu, seorang Alawi – seperti halnya penduduk Hadramaut
pada umumnya – mengadakan perjalanan ke negeri-negeri tetangga,
seperti: Yaman, Hijaz, Syam dan. Irak, baik demi tujuan budaya, ekonomi,
maupun agama.
Pada mulanya, Alawiyin seringkaii hilir mudik mengunjungi Irak —
negeri asal mereka – untuk bertemu kembali dengan sanak keluarga.
memeriksa harta kekayaan yang ditinggalkan, bahkan hingga kini
keturunan Imam Muhammad bin Isa Ar Rumi (saudara sekandung Al Muhajir)
terus juga berkembang di negeri ini.
Sesuatu yang patut digarisbawahi di sini, ialah bahwa tokoh tokoh
Alawiyin yang menonjol pada tahap perkembangan, ini terdiri dari
keturunan Imam Ubaidillah bin Ahmad Al Muhajir bin Isa Ar Rumi, yakni
Bashri, Jadid dan Alawi. Kendali pimpinan dipegang oleh keturunan kedua
orang yang pertama, yaitu Bashri dan Jadid. Namun keturunan mereka
kemudian terhenti dan tidak berkelanjutan, yang pada abad ketujuh H.
tidak ada lagi seorang pun dari keturunan mereka. Sayang ahli-ahli
sejarah tidak menghidangkan untuk kita jasa dan peran yang pernah
dimainkan oleh keturunan Bashri dan Jadid, kecuali nama beberapa tokoh
saja yang dicatat, yang di antaranya adalah Imam Ahli Hadits Imam Abu
Hasan Ali bin Muhammad bin Jadid (wafat 620 H.) dan Imam Salim bin
Bashri (wafat 604 H.)
Adapun tokoh-tokoh sesudah waktu tahap ini hanyalah dari turunan
Alawi bin Ahmad bin Isa Ar Rumi (dari Alawi inilan datang sebutan
Alawiyin bagi keturunaannya). Meskipun demikian, silsilah keturunan
Alawiyin seluruhnya selalu melalui lima rangkaian nasab saja, yang
menunjukkan bahwa Alawiyin baru berkembang dan bercabang setelah abad ke
enam H. Rangkaian silsilah ke lima orang itu adalah: Muhammad bin Ali
bin Alawi bin Munammad bin Alawi (bin Ubaidillah bin Ahmad Al-Muhajir).
Di antara putra-putri Muhammad bin Ali bin Alawi (terkenal dengan
gelar Shahib Mirbath, wafat 556 H.) yang berketurunan hanyalah dua orang
putranya, yakni Imam Alawi, paman (saudara ayah) Al Faqih Al Mugaddam,
dan Imam Ali bin Muhammad, ayah Al Faqih Al Muqaddam. Pada kedua orang
inilah tercakup seluruh nasab Al-Alawiyin, seperti tercakupnya nasab
seluruh Al-Husainiyin pada Imam Ali Zainal Abidin, kemudian pada
putranya Muhammad Al Bagir.
Ubaidillah adalah putra Imam Al Muhajir Ahmad bin Isa Arrumi bin
Muhammad Annaqib bin Ali Al-Uraidhi bin Ja’far Asshadiq bin Muharnmad
Albaqir bin Ali Zainal Abidin bin Husein bin Ali bin Abi Thalib, suami
Siti Fatimah Azzahra’ putri Rasul Allah saw.
TAHAP KEDUA ( a )
Tahap ini bermula-seperti telah kami terangkan pada awal ceramah –
dari abad ketujuh H hingga menghampiri abad kesembilan H. Yakni dari
masa Al Fagih Al Muqaddam hingga mendekati zaman Al-Habib Abdullah Al
Haddad. Tokoh-tokoh tahap ini terkenal dengan gelar “Syekh”. Apabila
kita hendak membuat suatu perbandingan antara tokoh-tokoh masa ini,
yang di antara tokoh-tokohnya adalah para Imam seperti Al Faqih
Mugaddam[5] , Assegaf[6] , Al Muhdhar[7] , Al-A’idarus[8] , Zain
Al-A’bidin Al-A’idarus [9] dengannya tanpa di sini patut kita kemukakan
secara obyektif, bahwa tokoh-tokoh tahap ini, dalam kenyataannya yang
dibuktikan melalui karya dan hasil tulisan mereka, tidaklah mencapai
hasil atau kualitas puncak, baik dalam penulisan karya-karya ilmiah
maupun dalam syair. Bahkan tidak kita jumpai di antara karya mereka yang
menunjukkan kejeniusan dan kehebatan dalam bidang-bidang ilmu dan
kebudayaan yang dapat mengimbangi keunggulan mereka dalam bidang akhlak
dan pengamalan agama.
Hal itu, tampaknya, disebabkan oleh pengaruh tasawuf yang mendalam,
sehingga tokoh-tokoh tahap ini tidak begitu memperhatikan untuk
berkarya, baik dalam lapangan budaya maupun karya-karya ilmiah (sebab
tasawuf hanya memperhatikan segi-segi keruhanian tanpa memberikan
perhatian yang cukup besar terhadap segi-segi lahiriah – penerj.).
Kalaupun ada, hal itu tidak banyak di lakukan. Itu pun tanpa
memperhatikan penggunaan bahasa yang indah, terpilih dan tersusun rapi
dalam penampilan yang kuat. Dalam penulisan, tokoh-tokoh tahap ini
sering menggunakan bahasa sehari-hari (atau dialek setempat) dalam
mengungkapkan suatu hakikat, dan dengan cara apa adanya tanpa
mempedulikan susunan atau gaya bahasa.
Adapun dalam bidang ekonomi, maka tahap ini telah mengalami
peningkatan dibanding dengan tahap sebelumnya. Apabila tahap terdahulu
kegiatannya terbatas pada bidang pertanian saja, dengan
menginvestasikan kekayaan mereka hanya dalam bidang ini saja, maka
Alawiyin pada tahap ini – di samping pertanian – telah juga berinvestasi
di bidang perdagangan. Mereka mendirikan pusat-pusat perdagangan di
pesisir Hadramaut, Aden dan Yaman. Mereka juga mengadakan perjalanan
dagang ke India dan negara-negara lain, disertai dakwah menyiarkan agama
Islam. Adapun perjalanan ke Timur (negara-negara Asia Tenggara), untuk
kedua tujuan tersebut, maka hal itu baru mereka lakukan kemudian (yakni
sekitar abad kesebelas H. – penerj.). Dengan cara demikian mereka
perluas daerah perdagangan serta kegiatannya di dalam negeri dengan
mengalirya arus barang dan uang, yang sebelumnya kegiatan mereka hanya
terbatas pada bidang pertanian saja.
Perlu dikemukakan, meskipun tokoh-tokoh Alawiyin melakukan berbagai
kegiatan ekonomi, namun berkat disiplin ketat, kekuatan iman dan takwa,
mereka tetap tekun dalam menjalankan ibadah, membaca wirid-wirid khusus,
dan berdakwah. Allah telah berkenan memberikan berkah waktu dengan
membagi masing-masing kegiatan secara cermat, sehingga dapat melakukan
semua kegiatan itu dengan sempurna, sesuai keseimbangan yang digariskan
oleh syari’at.
Berbicara mengenai tingkat kesufian Alawiyin tahap ini, maka seperti
telah dikemukakan pada awal ceramah. bahwa “Tarekat Tasawuf” baru
dikenal di hadramaut pada awal abad ketujuh H. ketika Syekh Abu Madyan –
tokoh ahli Sufi dari negeri magrib (Afrika utara) mengutus muridnya
yang tepercaya ke negeri Hadramaut untuk menghubungi Alfagih Al Muqaddam
secara khusus dan beberapa ulama yang lain di negeri ini. Dalam pada
itu, Syekh Abu Madyan juga mengirim “khirqah” tasawuf, berupa sehelai
baju yang dipakaikan oleh seorang guru (tasawuf) kepada muridnya, yang
dengan demikian seorang guru berhak rnengarahkan pendidikan muridnya itu
(secara tasawuf ).
Melalui seorang muridnya, sebagai perantara, Syekh Abu Madyan
memakaikan “khirqah” itu kepada Al Faqih Al Muqaddam. Ketika Syekh Abu
Marwan, guru Al Faqih Al Muqaddam mengetahui hal itu, ia menjadi marah,
demikian juga dengan beberapa ulama Tarim yang tidak menyukai hal itu,
sebab mereka khawatir akan kehilangan citacita dan rencana mereka untuk
menokohkan Al Faqih Al Muqaddam sebagai pemimpin dan Imam. Ketika itu
Alfagih Almugaddam belajar beberapa cabang ilmu dari Syekh Abu Marwan
dengan acapkali menyandang senjata, bahkan kadang-kadang sambil belajar
ia meletakkan pedang menyilang di atas pahanya.
Orang-orang yang kurang senang dengan tidakan Al Faqih Al Muqaddam
itu, mengira apa yang kelak akan dilakukan oleh Al Faqih Al Muqaddam
merupakan salah satu tarekat yang hanya semata mata memperhatikan
segi-segi keruhanian tanpa menghiraukan urusan duniawi. Namun
sesungguhnya Alfagih lebih bijaksana serta berpandangan jauh dan luas.
Ia tidak menginginkanm pengikutnya mengenakan gombal bertambal
(muragga’at), mengembara tanpa arah sebagai “darwisy” (orang ‘fakir’)
yang melakukan cara-cara aneh dalam mendekatkan diri kepada Tuhan, atau
menjalankan latihan-latihan ruhani (yang berlebihan). Al Faqih Al
Muqaddam melarang pengikutnya bertaklid buta terhadap guru, khususnya
dalam hal-hal yang ada kemungkinan bertentangan dengan Alkitab dan
Sunnah.
Tarekat yang dianut oleh Alfagih Al Muqaddam dan pengikutnya adalah
“Atthariqah Al-Alawiyah” yang dasarnya adalah mengikuti apa yang
tersurat di dalam Alkitab (Alqur’an) dan Assunnah (ajaran Nabi),
meneladani tokoh-tokoh Islam kurun pertama (para sahabat dan tabi’in).
Itulah yang dinyatakan di dalam kitab-kitab mereka, ceramah dan nasihat
agama, dan surat menyurat mereka antara yang satu dengan yang lain,
serta dikuatkan pula oleh perilaku dan tindak tanduk Salaf Al alawiyin.
Hal ini diungkapkan oleh salah seorang tokoh Alawiyin yaitu Habib Abdullah Al Haddad dalam sebuah bait syair sebagai berikut :
Berpegang teguhlah engkau dengan Kitab Allah,ikutilah Sunnah nabi
Serta teladanilah para Salaf terdahulu Semoga Allah memberi engkau petunjuk-Nya
Demikian pula dinyatakan oleh Al Habib Ali bin Muhammad Al-Habsyi :
Demikian inilah amalan-amalan murni dari segala campuran
Ditambah ilmu dan keluhuran akhlak serta wirid-wirid yang cukup banyak
Dengan demikian jelaslah, golongan Alawiyin pengikut tarekat tasawuf,
tetapi tasawuf mereka tidak menghalangi untuk melakukan tugas-tugas
kehidupan, baik yang bersifat kemasyarakatan (sosial), keluarga maupun
pribadi. Dalam segi tasawuf ini, Alawiyin menyerupai sahabat Nabi dan
para tabi’in yang terkenal dengan kesufiannya namun tidak terhalang
untuk berjihad menyebarluaskan ilmu dan dakwah.
Kaum Alawiyin adalah penganut madzhab tasawuf yang berintikan sikap
zuhud. Namun zuhud tidak menghalangi mereka untuk mengumpulkan harta
yang amat besar jumlahnya asal diperoleh melalui jalan yang wajar dan
halal, yang kemudian disalurkan untuk kepentingan umum, menjamu tamu,
mendirikan masjid dengan mencadangkan wakaf untuk pembiayaannya,
menggali sumur untuk menyediakan air bersih yang sangat diperlukan,
membuka dapur-dapur umur, dan mendirikan pondok pesantren untuk
menyebarluaskan ilmu dan dakwah ke jalan Allah. Mengusahakan
perdamaian dan memperbaiki hubungan antara golongan-golongan yang
bersengketa, bersedekah dan membantu mereka yang memerlukan bantuan.
Kaum Alawiyin adalah orang-orang sufi penganut madzhab Syafi’i,
namun mereka tidak bertaklid kepada Syafi’i dalam segala hal. Dalam
soal-soal tertentu, mereka meninggalkan pendapat Syafi’i.
Kaum Alawiyin adalah penganut Al-Asy’ari (dalam soal-soal Tauhid),
namun mereka juga meninggalkan faham Al-Asy’ari dalam beberapa hal,
seperti mengenai sahnya taklid dalam soal iman.
Meskipun tokoh-tokoh Alawiyin sangat mengagumi karya-karya
Al-Ghazali serta falsafahnya dalam bidang akhlak dan tasawuf, namun
mereka tidak mengikutinya secara bertaklid buta, melainkan memperhatikan
kekurangan dan kelemahan AlGhazaIi, sehingga ada diantara tokoh mereka
yang mengatakan. “Di dalam kitab Ihya’ ada beberapa pernyataan
seandainya dapat dihapus dengan air mata kami, kami akan melakukannya”
[10].
Kaum Alawiyin adalah orang-orang sufi, sebagian mereka menyukai
nyanyi dan lagu yang sehat tanpa disertai tindakan yang melangar akhlak,
apalagi minum-minuman yang memabukan, seperti yang dilakukan oleh
beberapa penganut tarekat lainnya.
TAHAP KEDUA ( b )
Kaum Alawiyin adalah orang-orang sufi, sebagian mereka menyukai
nyanyi dan lagu yang sehat tanpa disertai tindakan yang melanggar
akhlak, apalagi minum-minuman yang memabukan, seperti yang dilakukan
oleh beberapa penganut tarekat lainnya.
Kaum Alawiyin adalah orang-orang sufi, namun mereka tidak berkhalwat
atau melakukan latihan latihan rohani secara berlebihan dan melampaui
batas. Kalaupun ada, sangatlah jarang, dan mereka melakukannya dengan
cara yang tidak merusak, baik fisik maupun mental, serta bertujuan
semata mata mendidik jiwa, menghilangkan sifat-sifat kelemahan dan
kekotoran rohani, sebagai usaha untuk menyucikan diri dari kungkungan
nafsu angkara murka dan syahwat.
Kaum Alawiyin adalah orang-orang sufi, namun tasawuf mereka tidak
melarang tokoh-tokoh besar dan ulama mereka menduduki jabatan-jabatan
penting: sebagai hakim, pemberi fatwa (Mufti), guru-guru besar, atau
usahawan dalam bidang pertanian, perdagangan atau pertukangan, baik
sebagai pimpinan maupun pelaksana lapangan.
Alfagih Al-Muqaddam – misalnya – bapak Alawiyin dalam tasawuf,
mungkin kita tidak pernah mengira bahwa Alfagih bertindak mengurusi
perkebunan dan sawah ladangnya sendiri, mengatur rumah tangga dan
keluarga, bahkan kadang-kadang berbelanja sendiri ke pasar. Kita mungkin
tidak pernah rnembayangkan bahwa perkebunan Alfagih ini terdiri dari
ribuan batang pohon kurma dan buah kurma hasil perkebunan itu – seperti
di riwayatkan di dalam Silsilah Al A’idarusiyah – adalah sekitar 360
guci (zier). setiap guci berisi sekitar 1800 rathl (kati).
Penulis kitab Almasyra’ Arrawiy bercerita tentang kekayaan Alhabib
Abdullah bin Alawi.[11] Putera Al-faqih Al-Muqaddam (wafat 731 H.)
Abdullah bin Alawi ini telah mewakafkan untuk masjid Bani Alawi di Tarim
seharga 90.000 dinar. Ia mempunyai daftar tetap yang didalamnya
tercatat nama orang-orang yang memerlukan bantuan, selain hadiah-hadiah
yang diberikan kepada para penyair. Kendati demikian, ditinjau dari segi
tasawuf dan ibadahnya, hampir tidak ada orang yang dapat menandinginya.
Sedang dari ilmu, telah dicatat bahwa dia pernah berguru kepada seribu
orang Syekh (guru) terdiri dari ulama-ulama Yarnan, Hadramaut, Hijaz,
Irak dan Maghrib(Afrika Utara).
Demikian pula dengan Habib Assagaf, betapapun banyak kegiatan dan
kesibukannya dalam rnengerjakan wirid, zikir dan rnengajar, namun
memiliki perkebunan dan sawah ladang yang luas sekali serta meminta
laporan tentang biaya-biaya yang dikeluarkan oleh, para pekerjanya, pada
waktu antara maghrib dan isya’, seperti diriwayatkan oleh Alkhathib,
penulis kitab Aljauhar. Pohonpohon kurmanya amatlah banyak, tidak
sedikit di antara pohon-pohon itu yang ditanam dengan tangannya sendiri,
sambil membaca surat YaSin pada setiap pohon yang ditanamnya.
Habib Al Muhdhar putra Assaqaf, adalah seorang ulama besar yang
diyakini sebagai seorang wali Allah, namun tergolong seorang yang cukup
kaya, yang kekayaannya di antaranya adalah kapal-kapal, tanah-tanah
pertanian, kebun kurma dan lain-lain, seperti diterangkan semua itu di
dalam surat wasiatnya.
Demikian pula dengan Imam Abubakar Al-A’dani, putra Habib Al-A’idarus
(yang makamnya cukup terkenal di kota Aden) tergolong seorang hartawan
di zamannya.Setiap hari memotong 30 ekor kambing untuk menjamu para tamu
dalam berbuka puasa seperti dicatat oleh penulis biografinya.
Al-A’dani telah melunasi hutang ayahnya setelah wafat sebanyak 30 ribu
dinar. Al-A’dani wafat 914 H.
Demikian pula halnya dengan keturunan Abdullah bin Syekh Al-A’idarus (
keponakan AlA’dani), yang banyak berhubungan dengan raja-raja India.
Kita akan kagum mempelajari riwayat hidup mereka, sebab di samping hasil
karya ilmiah yang mereka cipta dan perbaikan sosial yang mereka lakukan
serta ketekunan mereka di bidang ilmu dan ibadah, tokoh-tokoh ini mampu
memiliki kekayaan yang demikian besar, menandingi para raja dan
pangeran. Sedang sebagian besar kekayaan itu, dinafkahkan untuk
perbaikan sosial dan kepentingan umum.[12]
Jadi, faharn tasawuf yang dianut oleh golongan Alawiyin adalah ajaran
tasawuf yang wajar dan sehat, tidak membawa pengikutnya menjurus kepada
fanatisme dan jumud (kebekuan)atau menjurus kepada ekstrimisme dan
ingkar. Ajaran tasawuf mereka merupakan sikap tengah yang memelihara
keseimbangan dalam semua segi.
Perlu kiranya dicatat disini, bahwa apa yang dihubungkan kepada
tokoh-tokoh Alawiyin berupa latihan amat banyak secara umum tidak mampu
dilakukan manusia biasa serta bertentangan dengan naluri yang wajar,
baik itu berupa tidak tidur siang malam untuk beberapa tahun lamanya
berhenti makan dan minum berpuluh-puluh hari secara terus menerus,
maupun mengkhatamkan pembacaan Alqur’an beberapa kali di waktu siang dan
beberapa kali di waktu malam. Hal – hal semacarn itu hanyalah merupakan
tindakan-tindakan khusus yang hanya mampu dilakukan oleh orang-orang
tertentu saja yang memang diberi kemauan dan kemampuan oleh Allah, di
samping adanya kesediaan batin untuk melakukannya. Hal-hal semacarn ini
memang tidak dapat dilakukan oleh selain mereka sebab sifatnya yang
khusus dan merupakan pengecualian dan yang umum. Bahkan lingkungan
mereka sendiri memandang hal itu sebagai sesuatu yang aneh, sehingga
apabila ada yang menceritakannya, hanyalah sekadar menyatakan rasa kagum
terhadap sesuatu yang luar biasa.
Akan tetapi hal-hal semacarn itu boleh saja digolongkan sebagai
“karamah” yang telah diuraikan oleh ulama (tasawuf) secara jelas. Perlu
pula dicatat di sini, bahwa pernyataan-pernyataan yang kadang-kadang
diucapkan oleh beberapa tokoh Alawiyin tertentu – seperti dicatat oleh
sebagian penulis sejarah terdahulu yang pada lahirnya bertentangan
dengan prinsip-prinsip syara’, dan yang terkenal dengan sebutan
syathahat adalah bukan karena mereka telah meyakini faham “wahdatul
wujud” (panteisme), bukan pula untuk menyatakan kesombongan dan
membanggakan diri, seperti dituduhkan oleh sementara orang. Sebab
kebersihan pribadi dan kejujuran tokoh-tokoh itu cukup dikenal dalam
sejarah. Pada hakikatnya, pernyataan-pernyataan itu dilontarkan pada
saat mereka dalam keadaan ganjil dan luar biasa, di mana mereka berada
dalam suasana tak sadar (keadaan fana), sehingga apa yang diucapkan itu
dapatlah dimaafkan, dan tidak dapat dicatat sebagai pelanggaran yang
mengakibatkan dosa, apalagi kufur.
Betapa pun juga, tidaklah sepatutnya hal-hal seperti itu disiarkan, mengingat mereka sendiri pun tidak rnenyukainya.
Pada tahap pertama sejarah perkembangan Alawiyin, sebelurn
bercabang-cabang dan bersuku-suku, kaum Alawiyin tidak merasa perlu
untuk membuat suatu sistem sosial khusus sebagai pengatur kehidupan
mereka. Cukuplah bagi golongan ini untuk mempunyai seorang atau
beberapa orang pemimpin yang secara otomatis diakui sebagai pemimpin
keluarga atau marga.
Baru pada tahap kedua dalam sejarah perkembangan Alawiyin, setelah
rnenjadi banyak dan tersebar ke berbagai daerah terasalah bagi tokoh
Alawiyin guna membela dan memelihara kedudukan dan kepentingan mereka,
melindungi kehormatan serta memecahkan problema yang timbul, baik yang
bersifat intern maupun ekstern. Sistim ini dikenal dengan sebutan ”
Nagabah”.
Sistem ini baru diadakan pada zaman Al-Muhdhar, yakni pada akhir abad
kesembilan Hijriah, di mana Al Muhdhar sekaligus terpilih sebagai
Naqib. Dewan “Nagabah” ini terdiri dari sepuluh anggota yang dipilih.
Setiap anggota mewakili kelompok keluarga atau suku dan dikukuhkan oleh 5
orang sesepuh suku itu dan menjamin segala hak dan kewajiban yang
dibebankan atas wakil mereka, sebagai tersirat di dalam teks piagam yang
disetujui oleh tokoh-tokoh Alawiyin dan pernah dimuat di majalah
Al-Jam’iyah, nornor 8, tahun 1357 H.
Dewan yang terdiri atas 10 anggota ini rnengatur segala sesuatu yang
dipandang perlu sesuai kepentingan, dan bersesuaian pula dengan ajaran
syari’at Islam serta disetujui oleh pemimpin umum. Apabila keputusan
telah ditetapkan maka diajukanlah kepada pemimpin umum (atau Nagib)
untuk disahkan dan selanjutnya dilaksanakan.
Dengan demikian jelaslah, sepuluh orang anggota dewan masing-masing
merupakan wakil-wakil atau naqib-naqib dari setiap kelompok atau suku,
sedang wakil-wakil itu dipimpin oleh “Naqib Annagabah” [atau Naqib para
Naqib] yang kemudian dikenal pula dengan sebutan “Nagib Al-Asyraf”.
Setiap anggota dewan sangat patuh dan taat terhadapnya. Dan kepadanya
pula dikembalikan segala problema, serta pelaksanaan organisasi dan
perbaikan, di samping ia merupakan lambang kekuatan, kesepakatan, wibawa
dan pengaruh Alawiyin.
Dalam memecahkan persoalan yang dihadapi, lembaga ini akan menempuh
cara damai. Namun jika tidak berhasil, maka digunakanlah cara boikot,
yaitu Nagib memutuskan hubungan dengan orang-orang yang dianggap
melakukan pelanggaran atau membangkang, dengan cara menolak berjabat
tangan (bersalam-salaman) maupun dengan cara-cara lain. ‘Tindakan Naqib
akan diikuti semua Alawiyin, sehingga orang itu kembali kepada jalan
yang benar.
Apa yang kami tuturkan ini adalah bersumberkan piagam yang telah
kami sebutkan, di atas dan ditetapkan oleh Alawiyin pada zaman Al
Muhdhar, dan didukung dan dibubuhi tanda tangan Sultan Tarim ketika itu,
yaitu Sultan bin Duais bin Yamani. Sultan ini berjanji akan membantu
terlaksananya ketentuan-ketentuan yang termaktub di dalam piagam itu,
yang diikuti pula oleh tanda tangan seluruh naqib (anggota dewan)
beserta pendukungnya yang jumlah keseluruhan tidak kurang dari 50 orang.
Patut disayangkan bahwa teks piagam ini tidak rnenyebutkan tanggal
dan tahun penulisannya dan juga tidak menyebut urut-urutan nama (daftar)
para nagib yang pernah menduduki jabatan itu, namun dengan membaca
kembal kitab-kitab biografi Alawiyin, seperti kitah Al-Masyra ‘Arrawiy
dan lain-lain, menerangkan bahwa di antara para Naqib yang terkenal,
antara lain adalah Al-A’idarus Al-Akbar (wafat 865 H.). Sebab setelah Al
Muhdhar wafat, tokoh-tokoh Alawiyin telah sepakat untuk mengangkat
Muhammad bin Hasan bin Asad Allah, yang terkenal dengan gelar
Jamalullail untuk diangkat sebagai Nagib, namun ia menolak dan menunjuk
Al-A’idarus sebagai gantinya, yang dewasa itu masih berusia muda, tetapi
telah menunjukkan kemampuan untuk memangku jabatan tersebut. Akhirnya –
setelah pertamanya menolak juga – Al-A’idarus menerima. Pengganti
A1-A’idarus adalah Ahmad bin Alawi Bajahdab yang wafat tahun 973 H.
Berikutnya Abdullah bin Syekh bin Abubakar Al-A’idarus (wafat 1019 H.),
kemudian putranya bernama Zainal Abidin (wafat 1041 H.).
Adapun pada masa-masa setanjutnya saya tidak menemukan catatan
sejarah yang menegaskan adanya seorang Naqib yang dipilih, meskipun
kadang-kadang terjadi kepemimpinan seorang tokoh Alawiyin semata-mata
karena daya tarik karisma dan kekuatan pribadinya di samping memang
memenuhi persyaratan untuk jabatan sebagai Naqib.
Pada masa-masa selanjutnya telah timbul pula sistem “Manshabah”, yang
tersebar luas di beberapa daerah Hadramaut. Tugas “Munshib” pada
dasarnya adalah mendamaikan sengketa yang terjadi antara suku-suku yang
memanggul senjata, menyebarluaskan ilrnu dan dakwah, menjamu para tamu
yang datang berkunjung. Soal ini akan dibicarakan lebih luas lagi
kemudian.
Pernah pada masa akhir-akhir ini muncul seorang tokoh yang
mengugguli tokoh-tokoh Alawiyin yang lain dalam ilmu, pengaruh dan
kedermawanannya, yaitu pribadi Habib Muhammad bin Thahir Al-Haddad
(wafat 1316 H.) sehingga sepakatlah tokoh-tokoh Alawiyin untuk
mengangkatnya sebagai Nagib. Mereka telah menandatangani piagam untuk
pengangkatannya itu. namun ada seorang tokoh yang cukup terkenal dan
berpengaruh tidak menyetujui pengangkatan itu. Yaitu Habib Husein bin
Hamid Al-Muhdhar, sehingga rencana itu akhirnya gagal .
Ada pula riwayat yarg menerangkan, selain Habib Husein tersebut ada
dua tokoh lain yang tidak menyetujui. Dengan demikian maka yang bersikap
oposisi terhadap pengangkatan itu hanya tiga orang saja, namun mereka
orang-orang yang cukup kuat, sehingga golongan oposisi yang kecil itu
dapat rnengalahkan mayoritas yang menyetujui..
Barangkali, seandainya pengangkatan Al-Haddad sebagai Nagib ini
terlaksana, tokoh ini akan mampu menarik Alawiyin kembali kepada cara
hidup pendahu pendahunya, serta menghidupkan tradisi-tradisi mulia yang
hampir hilang.
TAHAP KETIGA
Tahap ini bermula dan abad kesebelas H. hingga abad keempat belas H.
Tokoh-tokoh abad ini dikenal dengan gelar ” Habib “, seperti Habib
Abdullah Al-Haddad, Habib Ahmad bin Zen Al-Habsyi, Habib Hasan bin
Shaleh Al-Bahr Al Jufrie dan lain lain.
Tingkat ilmiah dan tasawuf tahap ini – secara umum – berada di bawah
tingkat sebelumnya. Kendati demikian, telah muncul di atas pentas
tokoh-tokoh yang cukup menonjol serta pribadi-pribadi istimewa tidak
kurang peranannya dari tokoh-tokoh kedua tahap sebelumnya. Tokoh utarna
tahap ini adalah Habib Abdullah Al-Haddad (wafat 1132 H.) – sebagai
tokoh puncak golongan Alawiyin masa itu, dan Habib Abdurrahman bin
Abdullah Bilfagih (wafat 1163 H.).
Tahap ini ditandai dengan derasnya arus hijrah – melebihi masa-masa
sebelumnya – ke India, pada abad kesebelas dan keduabelas H. yang
kemudian berlanjut dengan hijrah ke negara-negara Asia Tenggara
(Indonesia dan Malaysia) pada abad-abad berikutnya.
Adapun faktor yang mendorong Alawiyin melakukan hijrah adalah seperti
telah disinggung pada pembahasan perkembangan alawiyin pada masa tahap
pertama ditambah pula dengan perkembangan alawiyin di Hadramaut melebihi
masa-masa sebelumnya. Sedemikian sehingga mereka yang berada di luar
lebih besar dari mereka yang berada di tanah air sendiri, di mana di
negeri mereka Hadramaut – kemungkinan yang tersedia tidak mampu memberi
kepuasan bagi perwujudan cita-cita mereka.
Oleh karena itu, wajarlah kiranya apabila mereka berhijrah, lalu
menjadikan daerah baru itu sebagai tanah airnya. Dan tidak aneh pula
apabila mereka kemudian menonjol, serta menunjukkan kemampuan-kemampuan
luar biasa sehingga dapat menduduki posisi-posisi penting, memegang
kendali perekonomian, kegiatan keagamaan bahkan kadang-kadang juga
kekuasaan eksekutif. Kaum Alawiyin dalam hal ini juga diikuti oleh
golongan-golongan lain yang hijrah dari Hadramaut, baik mereka yang
hijrah ke Timur Jauh, Afrika Timur, Hijaz (Saudi Arabia) dan lain-lain.
Bahkan ada di antara mereka yang kemudian mendirikan kerajaan atau
kesultanan yang peninggalannya masih dapat disaksikan hingga kini.
Seperti kerajaan Al ‘Aidarus di Surrat (India), Kesultanan Al-Qadri dan
Al-Syekh Abubakar di Kepulauan Komoro (Comores), Al-Syahab di Siak,
Al-Qadri di Pontianak dan Al-Bafagih di Pilipina.
Kerajaan-kerajaan tersebut mempunyai sejarah terinci, sebagian di
antaranya dimuat oleh majalah Arrabithah Al-Alawiyah dan majalah
Annahdhah Al Hadhramiyah. Kedua sumber ini bisa dijadikan bahan
penelitian bagi mereka yang berminat untuk rnengkajinya. Melalui kaum
Alawiyin, Islam tersebar luas di Indonesia, Malaysia dan Pilipina.
Hijrah kaum Alawiyin – dan saudara-saudara mereka lainnya dari
Hadramaut – ke negara-negara tetangga (negara-negara Arab di Timur
Tengah), tidak banyak mempengaruhi tradisi, juga bahasa mereka, yakni di
negara-negara yang berbahasa Arab, seperti Hijaz (Saudi Arabia),
negara-negara Teluk, Mesir, Syam (Suria) dan Sudan, kendati di tiga
negeri terakhir ini jumlah mereka tidak banyak.
Adapun di perantauan luar Arabia, seperti negara-negara Islam
tersebut di atas, maka dengan sendirinya mereka telah mengadakan
hubungan kekeluargaan melalui pernikahan untuk mempererat hubungan
dengan penduduk setempat, karena memang sulit bagi mereka memboyong
keluarga bersama mereka. Seandainya yang demikian terjadi (yakni
rnembawa isteri-isteri dan anak-anak mereka) maka bahasa Arab akan lebih
cepat dan lebih luas tersiar, sebagai bahasa Alqur’an yang dimuliakan
oleh kaum Muslimin.
Akan tetapi, meskipun telah melakukan pembauran di daerah-daerah yang
amat jauh itu, namun hingga waktu yang lama mereka masih rnemelihara
tradisi dan mengenang tanah air, terutama Tarim, sebagai pusat ilmu dan
pusat Alawiyin. Sekali-sekali mereka berkunjung ke negeri itu untuk
berziarah. Baru beberapa abad kemudian hubungan mereka dengan negeri
asal berkurang, sehingga dengan mudah dipengaruhi oleh lingkungan di
mana mereka hidup, untuk lanjutnya terlebur di dalam periuk acuannya,
walaupun agama dan adat istiadat yang hak tetap terpelihara.
Bahkan pada masa sementara Alawiyin masih mengunjungi negeri asal,
mereka telah mernbawa kebudayaan dan tradisi India, Jawa (Indonesia),
dan daerah atau negara lain di mana mereka hidup. Hal ini tampak jelas
pada awal abad ketigabelas H.
Adalah sangat aneh jika ada sementara tokoh Alawiyin yang menentang
hijrahnya Alawiyin ke luar dan menganjurkan dengan gigih agar mereka
tetap tinggal di negerinya (Hadramaut), terutama pada ketiga abad
terakhir ini – namun tidak ada di antara para pemikir atau sesepuh yang
berusaha secara sungguh-sungguh memberi jalan yang dapat menghalangi
laju arus hijrah ini. Yaitu dengan menyebarluaskan kesadaran,
menggalakkan pertanian, membuat mereka merasa puas untuk hidup
sederhana serta meninggalkan tradisi-tradisi yang merugikan. Kalau pun
ada, orang-orang yang cukup memperingatkan hal demikian itu, amatlah
sedikit. Di antara mereka adalah Habib Muhsin bin Alawi Assaqaf (wafat
1293 H.)
Adapun untuk tidak melakukan hijrah sama sekali dari Hadramaut – baik
bagi Alawiyin maupun penduduk Hadramaut secara keseluruhan – memanglah
merupakan hal yang tidak dimungkinkan oleh keadaan negeri itu sendiri
sejak dahulu kala.
Pada tahap perkembangan ini, lahirlah jabatan ” Munshib”. Jabatan itu
sendiri dikenal sebagai “Manshabah”. Sebagian besar Munshib Alawiyin
muncul pada abad kesebelas dan abad keduabelas H. Seperti Munshib
Al-Attas, Munshib Al ‘Aidarus, Munshib Al-Syekh Abubakar bin Salim,
Munshib Alhabsyi, Munshib Al Haddad, Al-Jufri, Al-Alawi bin Ali,
Al-Syathiri, Al-Abu Numay dan lain-lain.
Tugas yang dilakukan oleh lembaga ini adalah tugas yang mulia dan
bermanfaat, baik bagi agama maupun bagi sesama manusia. Pemangku jabatan
ini – yang menerimanya secara turun temurun – selalu berusaha
mendamaikan suku-suku yang bersengketa – khususnya sengketa antara
suku-suku yang bersenjaia – menjamu tamu yang datang berkunjung,
menolong orang-orang lemah, memberi petunjuk kepada mereka yang
memerlukan petunjuk dan bantuan bagi yang memerlukan bantuan.
Lembaga ini senantiasa memainkan perannya hingga kini (1948 M),
sesuai dengan tujuan “Manshabah” yang didirikan untuknya. Para Munshib
tidak jarang mengorbankan harta dan kepentingan pribadi demi tugas dan
jabatannya. Hanya saja generasi yang kernudian biasanya makin lemah bila
dibanding dengan pendahulunya, baik di bidang keahlian, kemampuan,
maupun kewibawaan, sehingga secara berangsur, lembaga ini makin lama
makin berkurang peranannya. Hal ini terutarna disebabkan kurangnya
perhatian terhadap pendidikan, baik ilrnu maupun keahlian, sesuai
dangan, apa yang dahulu dikuasai oleh bapak-bapak mereka.
Pada pasal-pasal lampau telah dibicarakan sejarah perkembangan
Alawiyin dalam berbagai bidang kehidupan pada ketiga tahap terdahulu.
Kini hanya tinggal bidang politik.
Adalah merupakan prinsip yang rnenjadi pegangan tokoh-tokoh Alawiyin,
mereka senantiasa menjauhkan diri dan tidak hendak mencampuri urusan
politik, kecuali dalam hal-hal yang erat hubungannya dengan kepentingan
dan maslahat umum. Yaitu dengan menggunakan pengaruh spiritual mereka,
dan hanya pada batas-batas tertentu.
Disebutkan dalam biografi bahwa Al Muhdhar, Al-A’idarus. Al-A’dani,
Zain Al-A’bidin Al-A’idarus, Al-Haddad dan lain-lain adakalanya mereka
bergaul dengan para raja dan penguasa negeri serta mengadakan surat
rnenyurat dengan mereka. Para penguasa itu pun sering meminta nasihat
dan petunjuk dari tokoh-tokoh tersebut serta mengharap doa mereka.
Namun, bila diteliti hubungan mereka dengan para penguasa nyatalah bahwa
hubungan mereka tidak lebih daripada mengarahkan para penguasa agar
melakukan kebijaksanaan yang sesuai dengan keadilan dan kepentingan
umum.
Meskipun tokoh-tokoh Alawiyin mempunyai pengaruh spiritual yang cukup
besar di kalangan suku-suku bersenjata, namun mereka tak pernah mengeksploitasi pengaruh itu untuk tujuan-tujuan yang tidak layak.
Jika sekiranya mereka mengarahkan minat, demi kepentingan pribadi,
atau berambisi meraih kekuasaan politis, dengan mudah mereka akan
mencapai apa yang dinginkannya. Pada masa-masa itu seringkali peluang
terbuka dan kesempatan ada, namun mereka tidak pernah memanfaatkannya,
seperti dapat diketahui oleh mereka yang mengkuti dan mengkaji sejarah
Hadramaut. Seperti pada peristiwa yang terjadi di antara Zain’ Al-Abidin
AI-A’idarus dengan Hasan bin Al-Qasim, Imam golongan Zaidiyah dari
Yaman, peristiwa Husein bin Sahl dengan Syekh Awadh Gharamah, semua itu
merupakan bukti-bukti nyata bagi apa yang dikemukakan tadi.”[13]
Dalam hal ini, dapatkah kiranya dikemukakan alasan seperti telah
disebutkan sebelum ini, tentang langkanya karya-karya tulis dalam bidang
ilmu pengetahuan, dan budaya, yaitu akibat sangat dalamnya pengaruh
ajaran tasawuf dalam jiwa rnereka? Atau mungkin juga ada alasan-alasan
lain yang hingga kini belum terungkap mengingat apa yang terjadi dalam
praktek seringkali jauh berbeda dengan dasar-dasar teori semata?
Bagaimana pun juga, jelaslah, bahwa Alawiyin tidak pernah berusaha,
apalagi berpetualang, untuk mencapai keberhasilan dalam bidang politik
baik untuk mendirikan kerajaan atau kesultanan, seperti dilakukan oleh
saudara-saudara sepupu mereka yaitu Syarif-Syarif Mekkah, para Sultan di
negeri Maghrib (Afrika Utara) dan para Imam di Yaman.
Adanya pribadi-pribadi tertentu dari kaum Alawiyin yang pernah
berhasil mendirikan kerajaan atau kesultanan, seperti disebutkan sebelum
ini, tidak dapat dijadikan dasar umum bagi cara hidup salaf dan tokoh
Alawiyin. Kadang-kadang pengaruh situasi dan kondisi begitu kuat untuk
menentukan sikap. Suasana demikian itulah yang membuat sementara
Alawiyin mernegang tampuk pimpinan dan tidak dapat mengelak untuk
menghindar dari jabatan.
TAHAP KEEMPAT
Tahap ini bermula dari abad keEmpatBelas H. hingga kini. Yakni, di
dalam pasal ini kita akan berbicara tentang keadaan kita sekarang, agar
dapat membuat perbandingan antara kita sendiri dengan perilaku dan
sejarah salaf kita yang terdahulu.
Adalah sangat disayangkan bahwa tahap ini – dibanding dengan
tahap-tahap sebelumnya – merupakan masa kemunduran dan kemerosotan di
hampir semua bidang kehidupan. Bahkan kemunduran dan kemerosotan ini
merupakan gejala umum yang menimpa seluruh dunia Islam.
Meskipun demikian, adanya perbedaan antara tahap pertama dengan
tahap-tahap berikutnya memang benar-benar terasa. Makin jauh kereta
sejarah berjalan, makin jauh kemunduran dan kemerosotan itu terasa,
makin surut sinar keagungan Alawiyin dan makin tenggelam ke dasar.
Keadaan demikian ini merupakan kebalikan bagi bangsa-bangsa yang ‘hidup’, yang makin lama makin maju (14)
Faktor utama yang menyebabkan kemunduran itu adalah tidak adanya
pendidikan yang benar dan tepat. Salaf kita dahulu adalah orang-orang
yang amat ahli dalam bidang ini. Melalui jalur itu, mereka mengarahkan
putra-putra mereka sesuai dengan apa yang mereka rencanakan dan mereka
kehendaki, untuk rnemuaskan hati mereka. Perguruan tinggi dan fakultas
kaum Alawiyin adalah alam terbuka dan lingkungan hidup itu sendiri.
Adalah keliru apabila kita beranggapan bahwa lingkungan kita,
sekolah-sekolah kita, majlis-majlis ta’lim kita sekarang merupakan
sarana pendidikan yang di dalamnya disalurkan ajaran-ajaran seperti yang
dahulu diajarkan oleh salaf kepada putra-putra mereka. Bahkan
kenyataan yang kita lihat adalah kebalikan dari apa yang dahulu
dikerjakan oleh para salaf itu.
Kemerosotan akhlak di kalangan sementara Alawiyin telah mencapai
derajat terendah, demikian pula surutnya ilmu pengetahuan, di samping
tersebarnya penyakit-penyakit sosial.
Alhasil, kini kita sedang mengalami kemunduran yang mengerikan,
padahal jalan untuk mengatasi semua itu adalah jelas, yaitu, kembali
mengikuti cara hidup para salaf dalam ilmu, akhlak dan amal, sehingga
semua tindakan yang kita lakukan sesuai dengan status kita di tengah
masyarakat. Demikian pula halnya dengan kaum Muslimin secara
keseluruhan. Sebab, “akhir umat ini tidak akan menjadi baik melainkan
dengan cara-cara yang dahulu memperbaiki pendahulunya “, demikian
ditegaskan oleh pemimpin besar umat ini, Rasul Allah saw.
Marilah kita usahakan. Dan Allah akan senantiasa menolong mereka yang membela dan menegakkan ajaran-Nya.
PENUTUP
Demikianlah ceramah yang kami sampaikan di tempat yang penuh berkah,
yaitu rumah kediaman Al Faqih AlMuqaddam di Tarim, pada saat yang penuh
berkah, yaitu dasawarsa keTujuh dari abad keEmpatBelas Hijrah, dengan
susunan yang diberkahi. Insya-Allah. Kami haturkan kepada siapa yang
bersedia menerbitkannya dengan beberapa catatan tambahan seperlunya.
Hanya kepada Allah kami bersandar dan berserah diri, serta mohon taufik demi mencapai kebenaran.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Nama Kitab / Pengarang
1. Aljauhar Assyaffaf fi Managib Assadah Al- Asyraf (Manuskrip) : Abdurrahman Al Khatib
2. Ghurar Albaha Addhawi fi Manaqib Assadah Bani Alawi (Manuskrip) : Muhammad Ali Kherid
3. Atthiraz Almu’lam – Assilsilah Al-A’idarusiyah (Manuskrip) : Syekh bin Abdullah AI-A’idarus
4. Catatan-Catatan Penceramah (Manuskrip) : Muhammad Ahmad Assyatthiri
5. Almasyra’ Arrawiy fi Manaqib Assadah Al-kiram Bani Alawiy : Muhammad Abubakar Syilliy
6. Syarhul Ainiyah : Ahmad bin Zen AlHabsyi
7. Majalah Arrabithah Al-Alawiyah : Ahmad Abdullah Assaqaf
CATATAN KAKI / FOOTNOTE
01. Abdullah bin Alwi bin Ahmad bin Abdullah bin Muhammad Al
-Haddad. Allah telah menganugerahkan kepada Al Haddad daya hafal yang
luar bisa, sehingga telah hafal Al-Qur’an seluruhnya dalam usia kecil.
Kendati telah mengalami penyakit sehingga menyebabkannya menjadi
seorang tunanetra, namun ketajaman hati dan kecerdasan fikirannya
melebihi mereka yang berpenglihatan sempurna. Al-Haddad telah mampu
menguasai berbagai ilmu yang diajarkan oleh guru-guru kepadanya, lalu
muncul sebagai seorang tokoh besar dalam ilmu-ilmu Syari’at, Tasawuf dan
Bahasa, maka berdatanganlah para murid dari segenap penjuru untuk
mereguk sumber ilmu yang deras ini. Di samping pelajaran yang
disampaikan secara langsung, Al Haddad telah pula mengarang beberapa
buku yang kemudian tersebar luas. Karya-karya Al Haddad ini antara lain :
Annasha’ih Addiniyah, Risalah Almu’awanah, sebuah Diwan (kumpulan
syair) dan lain-lain. Wafat di Tarim 1132 H.
02. Ali bin Abubakar As Sakran bin Abdurrahman Assagaf, bergelar
AsSakran (dimabuk cinta Ilahi). Terkenal dalam berbagai bidang ilmu,
khususnya tasawuf. Wirid As Sakran hingga kini masih banyak dibaca
orang. Wafat 895 H.
03. Ahmad bin Isa Ar Rumi bin Muhammad An Naqib bin Ali Al-Uraidhi
bin Ja’farAsshadiq bin Muhammad Al-Bagir bin Ali Zainal Abidin bin
Husin. Al Muhajir Ila Allah (orang yang berhijrah menuntut ridha Allah)
meninggalkan Basrah di Irak pada tahun 317 H. bersama keluarga dan
pengikutnya yang berjumlah 70 orang, menuju Hijaz (Saudi Arabia),
kemudian ke Yaman (Utara), dan selanjutnya Hadramaut (Yaman Selatan). Al
Muhajir sampai di Hadramaut pada tahun 318 H dan untuk pertama kali
mendirikan rumah di Hajrain, lalu pindah ke Husayisah tempat beliau
menetap hingga wafat pada tahun 345 H.
04. Ibadhiah adalah salah satu golongan Khawarij di bawah pimpinan
Abdullah bin Ibadh. Berkali-kali kelompok ini memberontak terhadap
kekuasaan Bani Umayyah dan yang paling terkenal adalah pemberontakan
mereka dibawah pimpinan Abdullah bin Yahya,sekitar tahun 129 H .
Golongan ini kemudian mengembangkan pengaruhnya di Oman, Yaman dan
Hadramaut.
05. Muhammad bin Ali bin Muhammad bin Ali bin Alawi bin Muhammad bin
Alawi bin Ubaidillah bin Ahmad AlMuhajir. Al-Fagih Al Muqaddam adalah
tokoh Alawiyin pertama yang menyebarluaskan ajaran tasawuf, setelah
mengenakan “khirgah” (baju tasawuf) dari seorang tokoh ahli sufi, ialah
Syekh Abu Madyan. Al Faqih Al Muqaddam menerima “khirgah” itu melalui
seorang perantara, Syekh Abdurrahman bin Muhammad Al Muq’ad, seorang
murid Syekh Abu Madyan. Syekh Abdurrahman diutus oleh gurunya khusus
untuk tugas itu, tapi ia telah wafat di Makkah sebelum sempat menemui Al
Fagih Al Muqaddam. Meski demikian, sebelum wafat ia telah melimpahkan
misi itu kepada kawan yang dapat dipercaya ialah Syekh Abdullah Al
Maghribi untuk menyampaikan “khirgah” kepada Al Fagih Al Muqaddam di
Tarim, Menurut kitab AlMasyra ‘Arrawiy, Al Fagih Al Mugaddam telah
mencapai derajat Al Mujtahid Al Muthlaq di dalam ilmu Syari’at, – makam
Al Quthbiyah di dalam bidang tasawuf. Gurunya ,Syech Muhammad Bamarwan
mengatakan Al Faqih Muqaddam telah memenuhi syarat untuk menduduki
jabatan AI-Imamah- Wafat 653 H.
06. Abdurrahman bin Muhammad (Maula Addawilah) bin Ali bin Alawiy bin
Muhammad Alfagih Al muqaddam. Ulama besar yang telah mencetak berpuluh
ulama, termasuk di antara mereka adalah putra-putranya sendiri,
saudaranya Al-Imam Alawi bin Muhammad, Imam Sa’ad bin Ali Madzhij, Syekh
Ali bin Muhammad Al-Khathib dan banyak lagi. Bergelar Assagaf karena
kedudukannya sebagai “pengayom”, serta tingginya derajat ulama ini baik
dalam ilmu maupun tasawuf. Sangat terkenal sebagai dermawan. Assagaf
telah mendirikan 10 mesjid disertai wakaf untuk mencukupi kebutuhan
mesjid-mesjid itu, Memiliki banyak kebunkebun kurma, namun segala
kekayaan itu tidak sedikit pun memberatkan atau merisaukan hatinya,
apalagi merintangi ketekunannya dalam ibadah. “Sehingga kalau seandainya
dikatakan kepadaku,” kata Assagaf, “kebun-kebun itu tidak ada yang
berbuah, aku akan menari kegirangan“. Di antara kata mutiara Assagaf
adalah sebagai berikut : “Manusia semua membutuhkan ilmu, ilmu
membutuhkan amal, amal membutuhkan akal dan akal membutuhkan taufik.
Semua ilmu tanpa amal tidak berguna. Ilmu dan amal tanpa niat adalah
sia-sia. Ilmu, amal dan niat tanpa mengikuti sunnah adalah tidak
diterima. Ilmu, amal, niat dan sunnah tanpa wara’ (sangat hati-hati
dalam menjalankan yang halal) adalah kerugian”. Assaqaf wafat pada
tahun 819 H.
07. Umar Al Muhdhar bin Abdurrahman Assagqaf. Imam zamannya dalam
ilmu, tokoh dalam tasawuf. Terkenal dengan kemurahan hatinya. Rumahnya
tidak pernab sunyi dari para tamu yang datang berkunjung baik untuk
kepentingan agama maupun kepentingan duniawi – Menjamin nafkah beberapa
keluarga yang tak mampu dan mendirikan tiga buah mesjid. Umar Al Muhdhar
terkenal dengan doanya yang amat mustajab. Wafat 833 H
08. Abdullah bin Abubakar bin Abdurrahman Assagaf terkenal dengan
gelar A1-A’idarus (AlAydrus), Ia berusia 10 tahun, ketika ayahnya wafat
dan langsung diasuh oleh pamannya, Umar Al Muhdhar, yang sekaligus
bertindak sebagai gurunya. Ia telah mempelajari ilmu-ilmu Syari’at,
Tasawuf dan Bahasa. Ketika AI-Muhdhar wafat, ia berusia 25 tahun.
Tokoh-tokoh Alawiyin telah sepakat untuk mengangkat Imam Muhammad bin
Hasan. Jamal Al-Lail sebagai Naqib, namun menolak dan menyarankan agar
mengangkat Abdullah Al-A’idarus ini untuk menggantikan pamannya. Ulama
besar yang bertindak menyebarluaskan ilmu dan dakwah, tekun dan mengisi
waktunya dengan ibadah, menyalurkan hartanya untuk kepentingan umum. Di
dalam kitab Almasyra’ dinyatakan: “Dalam kedermawanan bagaikan seorang
amir, namun dalam tawadhu’ bagaikan seorang fakir”. Sangat senang
menampakkan nikmat Allah atas dirinya dengan mengenakan pakaian-pakaian
indah, kendaraan yang megah dan rumah yang bagus. Wafat 865 H.
09. Ali Zain Al-Abidin bin Abdullah bin Syekh Al ‘Aidarus, adalah
seorang Imam yang terkenal dalam berbagai ilmu. Guru utamanya adalah
ayahnya sendiri. Ia bertindak sebagai murid dan pelayan ayahnya, tidak
pernah berpisah selama ayahnya hidup. Setelah ayahnya wafat, Zainal
Abidin menggantikan ayahnya itu sebagai Naqib, mencurahkan seluruh
tenaga dan pikiran demi kepentingan masyarakat umumnya, dan Alawiyin
khususnya. Zain Al-Abidin sangat dihormati dan disegani oleh Sultan, di
mana Sultan tidak memutuskan sesuatu sebelum terlebih dahulu meminta
pendapat Imam ini, bahkan tidak jarang Sultan datang ke rumahnya untuk
sesuatu kepentingan, baik yang bersifat pribadi maupun umum. Akibat
kedudukan yang tinggi ini, Zain Al-Abidin menghadapi banyak lawan, namun
selalu menghadapi mereka dengan cara yang bijaksana. sehingga akhirnya
lawan berubah menjadi kawan. di samping sebagai guru besar dalam
ilmu-ilmu Syariat, Tasawuf dan Bahasa, ia menguasai soal pertanian dan
bidang -bidang profesi lain; memberi petunjuk kepada mereka yang
memerlukan petunjuk, bahkan di penghujung hayatnya ia sering mengobati
mereka yang menderita penyakit, sebagai tabib. Wafat 1041 H
10. Ulama telah merasa puas dengan karya-karya Al-Ghazzali dan
Annawawi sehingga tidak merasa perlu untuk menyusun kitab-kitab sendiri
baik dalam ilmu Syari’at, Tasawuf maupun Akhlak. Mereka mencurahkan
tenaga dan fikiran untuk mengamalkan dan menyebarluaskan ajaran-ajaran
yang terkandung di dalam kitab-kitab itu.
11. Abdullah bin Alawi bin Muhammad Al Faqih Al Muqaddam. Setelah
menyelesaikan pendidikan pada ayah dan datuknya, Al Faqih Almugaddam, ia
meneruskan pendidikannya ke Yaman dan Hijaz untuk berguru kepada
ulama-ulama besar di kedua negeri itu Kemudian bermukim di tanah suci
untuk menyebarluaskan ilmu dan mengajarkanya. Karena mengajar dikedua
kota suci Makkah dan Madinah ia digelari Imam Al-Haramain dan Mujaddid
abad kedelapan Hijriah. Ketika itu datang berita wafatnya Imam Ali bin
Alwi (sudara kandungnya) dimana tokoh-tokoh Hadramaut telah menulis
sepucuk surat ta’ziah dan sekaligus memintanya kembali pulang ke kampung
halaman untuk memimpin umat dan menggantikan kedudukan Almarhum sebagai
da’i dan mengajarkan berbagai ilmu kepada mereka yang menuntutnya.
Berpuluh murid telah dicetak menjadi ulama besar termasuk di antara
mereka adalah putra-putranya sendiri, Ali, Ahmad dan Muhammad. Wafat di
Tarim, pada tahun 731 H
12. Alawiyin telah berjuang-bersama seluruh rakyat melawan portugis
yang datang menyerang pesisir Hadramaut dengan tujuan menduduki negeri
itu pada tahun 1097 H. Berkat kegigihan mereka telah berhasil mengusir
kaum kolonial , Kendati telah gugur para syuhada dalam peristiwa ini .
13. Salah satu bukti yang menguatkan hal di atas adalah peristiwa di
mana Sultan Badr bin Thuwairiq berniat mengundurkan diri dari jabatannya
dan menyerahkannya kepada Al-Imam Husein bin Syekh Abubakar bin Salim
(wafat 1044 H.). Namun Imam Husein menolak dan menekankan kepada Sultan
ini untuk tetap memangku jabatannya, serta dia pun akan selalu membantu
dan mendampinginya
14. Kendati suasana umum amat suram — pada tahap ini – namun ada
juga tokoh-tokoh yang sangat menonjol dalam ilmu dakwah dan perbaikan
sosial seperti Al-Imam Ali bin Muhammad Alhabsyi – Shohibul Maulid
Simtud Dhuror(wafat 1333 H.), Al-Imam Ahmad bin Hasan Al-Atthas – (wafat
1334 H.), Allamah Abubakar bin Abdurrahman Syahab (wafat 1341 H.),
Habib Muhammad bin Thahir Al Haddad (wafat 1319 H.), Habib Husein bin
Hamid Al Muhdhar (wafat 1341 H.), dan banyak lagi tokoh yang lain.
Kendati demikian hal ini sangat kurang memadai bila dibanding dengan
banyaknya Alawiyin secara keseluruhan yang memang cukup besar jumlahnya
dan tersebar di berbagai penjuru.
Komentar:
0 comments: