Dalam tulisan ringkas ini kita kutip pernyataan
beberapa ulama dalam penjelasan dalil-dalil akal bahwa Allah tidak membutuhkan
tempat dan arah, sekaligus untuk menetapkan bahwa keyakinan Allah bersemayam di
ata arsy, atau bahwa Allah berada di arah atas, serta keyakinan-keyakinan
tasybih lainnya adalah keyakinan batil, berseberangan dengan akidah Rasulullah
dan para sahabatnya serta keyakinan yang sama sekali tidak dapat diterima oleh
akal sehat. Berikut ini kita kutip pernyataan mereka satu persatu.
• al-Imam Abu Sa’id al-Mutawalli asy-Syafi’i (w 478 H)
dalam kitab al-Ghunyah Fi Ushuliddin menuliskan sebagai berikut:
“Tujuan penulisan dari pasal ini adalah untuk
menetapkan bahwa Allah tidak membutuhkan tempat dan arah. Berbeda dengan kaum
Karramiyyah, Hasyawiyyah dan Musyabbihah yang mengatakan bahwa Allah berada di
arah atas. Bahkan sebagian dari kelompok-kelompok tersebut mengatakan bahwa
Allah bertempat atau bersemayam di atas arsy. Jelas mereka kaum yang sesat.
Allah Maha Suci dari keyakinan kelompok-kelompok tersebut.
Dalil akal bahwa Allah Maha Suci dari tempat adalah
karena apabila ia membutuhkan kepada tempat maka berarti tempat tersebut adalah
qadim sebagaimana Allah Qadim. Atau sebaliknya, bila Allah membutkan tempat
maka berarti Allah baharu sebagaimana tempat itu sendiri baharu. Dan kedua
pendapat semacam ini adalah keyakinan kufur.
Kemudian bila Allah bertempat atau bersemayam di atas
arsy, seperti yang diyakini mereka, maka berarti tidak lepas dari tiga keadaan.
Bisa sama besar dengan arsy, atau lebih kecil, dan atau lebih besar dari arsy.
Dan semua pendapat semacam ini adalah kufur, karena telah menetapkan adanya
ukuran, batasan dan bentuk bagi Allah.
Dalil akal lain bahwa Allah ada tanpa tempat dan tanpa
arah ialah jika kita umpamakan sewaktu-waktu seseorang telah diberi kekuatan
besar oleh Allah untuk dapat naik terus menerus ke arah atas maka -sesuai
keyakinan golongan sesat di atas- ia memiliki dua kemungkinan; bisa jadi ia
sampai kepada-Nya atau bisa jadi ia tidak sampai. Jika mereka mengatakan tidak
sampai maka berarti mereka telah menafikan adanya Allah. Karena setiap dua
sesuatu yang ada antara keduanya pasti memiliki arah dan jarak.
Dan seandainya
salah satunya memotng jarak tersebut dengan terus menerus mendekatinya namun
ternyata tidak juga sampai maka berati sesuatu tersebut adalah nihil; tidak
ada.
Kemudian jika mereka mengatakan bahwa orang yang naik tersebut bisa sampai
kepada-Nya maka berarti dalam keyakinan mereka Allah dapat menempel dan dapat
disentuh, dan ini jelas keyakinan kufur. Kemudian dari pada itu, keyakinan
semacam ini juga menetapkan adanya dua kekufuran lain.
Pertama; berkeyakinan
bahwa alam ini qadim, tidak memiliki permulaan. Karena -dalam keyaikinan kita- salah
satu bukti yang menunjukan bahwa alam ini baharu ialah adanya sifat berpisah
dan bersatu padanya.
Kedua; keyakinan tersebut sama juga dengan menetapkan
kebolehan adanya anak dan isteri bagi Allah” .
• al-Imam Abu Hamid al-Ghazali asy-Syafi’i (w 505 H)
dalam kitab Ihya ‘Ulumiddin menuliskan sebagai berikut:
“Dasar ke empat; ialah berkeyakinan bahwa Allah bukan
benda yang memiliki tempat dan arah. Dia Maha Suci dari mamiliki arah. Dalil
akal atas ini adalah bahwa segala benda pasti memiliki arah khusus baginya, dan
bedan tersebut tidak lepas dari dua keadaan; dalam keadaan diam pada tempatnya
atau dalam keadaan bergerak dari tempatnya tersebut. Artinya setiap benda tidak
lepas dari sifat gerak dan diam, dan keduanya jelas baharu. Dan segala sesuatu
yang tidak lepas dari sifat baharu maka hal tersebut menjukan bahwa sesuatu
tersebut adalah baharu” .
• al-Imam Abu al-Mu’ain an-Nasafi al-Hanafi (w 508 H)
dalam kitab Tabshirah al-Adillah telah menuliskan penjelasan yang logis dan
dalil-dalil yang sangat kuat dalam bantahan beliau atas kaum Musyabbihah. Di
antaranya beliau menuliskan sebagai berikut:
“Kaum Mujassimah memiliki tiga kerancuan: Pertama;
Pernyataan mereka bahwa setiap dua sesuatu yang ada pasti keduanya memiliki
jarak dan arah satu dari lainnya. Kita jawab kesesatan mereka ini; Kalian
menetapkan bahwa dua sesuatu pasti memiliki jarak dan arah satu dari lainnya
bagi orang yang melihatnya, apakah kalian membolehkan sifat arah semacam ini
atas Allah? Jika mereka menjawab iya maka mereka telah membatalkan keyakinan
mereka sendiri. Karena dalam keyakinan mereka Allah tidak boleh disifati berada
di bawah alam. Dan jika mereka menjawab tidak maka mereka juga telah
membatalkan argumen mereka sendiri bahwa dua sesuatu pasti memiliki arah satu
dari lainnya. Jika mereka berkata; Kita tidak membolehkan arah bawah bagi Allah
karena arah ini sifat kurang dan merupakan cacian, dan Allah tidak disifati
dengan sifat kurang semacam itu. Jawab; Jika demikian berarti kalian telah
menetapkan adanya argumen perbedaan (at-tafriqah) antara Allah dengan
makhluk-Nya."
• Seorang ahli tafsir terkemuka; al-Imam al-Fakhr
ar-Razi ( w 606 H) dalam kitab tafsirnya menuliskan sebagai berikut:
“Jika keagungan Allah disebabkan dengan tempat atau
arah atas maka tentunya tempat dan arah atas tersebut menjadi sifat bagi
Dzat-Nya. Kemudian itu berarti bahwa keagungan Allah terhasilkan dari sesuatu
yang lain; yaitu tempat. Dan jika demikian berarti arah atas lebih sempurna dan
lebih agung dari pada Allah sendiri, karena Allah mengambil kemuliaan dari arah
tersebut. Dan ini berarti Allah tidak memiliki kesempurnaan sementara selain
Allah memiliki kesempurnaan. Tentu saja ini adalah suatu yang mustahil” .
Di bagian lain dari tafsirnya dalam penafsiran firman
Allah QS. Thaha: 5 menuliskan sebagai berikut:
“Masalah kedua; Kaum Musyabbihah menjadikan ayat ini
sebagai rujukan dalam menetapkan keyakinan mereka bahwa tuhan mereka duduk,
bertempat atau bersemayam di atas arsy. Pendapat mereka ini jelas batil,
terbantahkan dengan dalil akal dan dalil naql dari berbagai segi;
Pertama: Bahwa Allah ada tanpa permulaan. Dia ada
sebelum menciptakan arsy dan tempat. Dan setelah Dia menciptakan segala makhluk
Dia tidak membutuhkan kepada makhluk-Nya, tidak butuh kepada tempat, Dia Maha
Kaya dari segala makhluk-Nya. Artinya bahwa Allah Azali -tanpa permulaan- dengan
segala sifat-sifat-Nya, Dia tidak berubah. Kecuali bila ada orang berkeyakinan
bahwa arsy sama azali seperti Allah. -Dan jelas ini kekufuran karena menetapkan
sesuatu yang azali kepada selain Allah-”.
Kedua: Bahwa sesuatu yang duduk di atas arsy dipastikan
terjadinya bagian-bagian pada dzatnya. Bagian dzatnya yang berada di sebelah
kanan arsy jelas bukan bagian dzatnya yang berada di sebelah kiri arsy.
Dengan
demikian maka jelas bahwa sesuatu itu adalah merupakan benda yang memiliki
bagian-bagian yang tersusun. Dan segala sesuatu yang memiliki bagian-bagian dan
tersusun maka ia pasti membutuhkan kepada yang menjadikannya dalam susunannya
tersebut. Dan hal itu jelas mustahil atas Allah.
Ketiga: Bahwa sesuatu yang duduk di atas arsy
dipastikan ia berada di antara dua keadaan; dalam keadaan bergerak dan
berpindah-pindah atau dalam keadaan diam sama sekali tidak bergerak. Jika dalam
keadaan pertama maka berarti arsy menjadi tempat bergerak dan diam, dan dengan
demikian maka arsy berarti jelas baharu.
Jika dalam keadaan kedua maka berarti
ia seperti sesuatu yang terikat, bahkan seperti seorang yang lumpuh, atau
bahkan lebih buruk lagi dari pada orang yang lumpuh. Karena seorang yang lumpuh
jika ia berkehendak terhadap sesuatu ia masih dapat menggerakan kepada atau
kelopak matanya. Sementara tuhan dalam keyakinan mereka yang berada di atas
arsya tersebut diam saja.
Keempat: Jika demikian berarti tuhan dalam keyakinan
mereka ada kalanya berada pada semua tempat atau hanya pada satu tempat saja
tidak pada tempat lain.
Jika mereka berkeyakinan pertama maka berarti menurut
mereka tuhan berada di tempat-tempat najis dan menjijikan. Pendapat semacam ini
jelas tidak akan diungkapkan oleh seorang yang memiliki akal sehat.
Kemudian
jika mereka berkeyakinan kedua maka berarti menurut mereka tuhan membutuhkan
kepada yang menjadikannya dalam kekhususan tempat dan arah tersebut. Dan
semacam ini semua mustahil atas Allah” .
Bersambung . . .
Komentar:
0 comments: